Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ruang Sejarah Indonesia: Lupa dan Penghapusan Memori
13 Mei 2025 17:49 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari KASMAN RENYAAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia yang ditargetkan selesai pada Agustus 2025, bertepatan dengan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, sebagaimana diungkapkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dengan melibatkan 100 sejarawan dari lintas perguruan tinggi di Tanah Air merupakan momentum penting untuk merefleksikan kembali narasi sejarah bangsa yang belum sepenuhnya terungkap.
ADVERTISEMENT
Sejarah memang sudah semestinya ditulis menyeluruh sesuai babakannya, juga tidak hanya dilihat dari perspektif kekuasaan (history from above), tetapi juga dari suara-suara yang terpinggirkan (history from below).
Pandangan ini sejalan dengan konsep yang sering dikemukakan oleh Susanto Zuhdi, juga Ketua Tim Penulis Ulang Sejarah Indonesia, mengenai pentingnya menghadirkan peristiwa-peristiwa lokal berdampak besar dalam narasi nasional.
Pada akhir 2024, dalam kunjungannya ke Banda Naira, Zuhdi berdiskusi dengan dosen Program Studi Sejarah Universitas Banda Naira dan menekankan perlunya mencatat suara-suara masa silam yang belum ditulis atau istilah yang sering digunakannya “sejarah yang terabaikan.” Sejarah kata Zuhdi, dalam pengertian sederhana adalah kisah yang dikomunikasikan secara lisan (orally communicated history).
Lebih lanjut, pakar sejarah maritim itu menjelaskan bahwa meskipun definisi sejarah tampak sederhana, cakupan kajiannya sangat luas. Inti dari sejarah terletak pada dimensi temporal, bukan sekadar urusan masa lampau, melainkan juga berkaitan erat dengan masa kini. Untuk memahami kondisi saat ini, kita perlu menengok kembali ke pelajaran dari masa lalu.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, sejarah adalah pengetahuan tentang masa silam yang memiliki nilai guna, setidaknya dalam empat aspek utama: edukatif, inspiratif, rekreatif, dan instruktif.
Penulisan sejarah yang mencakup dimensi ini diyakini akan berkembang seiring bertambahnya sumber lisan dari berbagai aspek kehidupan masyarakat, terutama sosial-ekonomi dan sosial-budaya. Oleh karena itu, penulisan ini disebut sebagai sejarah sosial keseharian (everyday life history), sejarah dari perspektif masyarakat lokal (tempatan), atau "sejarah dari bawah" (history from below) (Caatatan diskusi bersama Susanto Zuhdi di Grup Dispora Buton Banda untuk projek penulisan sejarah lokal).
Salah satu peristiwa yang masih absen dalam narasi besar sejarah nasional adalah Genosida Banda, tragedi kemanusiaan pada 1621, ketika ribuan warga Kepulauan Banda dibantai, diperbudak, dan diusir dari tanah leluhur mereka oleh VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen.
ADVERTISEMENT
Di ruang sejarah nasional Indonesia, Genosida Banda 1621 nyaris tak dibicarakan dalam kurikulum umum atau narasi arus utama. Ini menunjukkan bagaimana memori kolektif kita tentang kolonialisme masih selektif. Seperti ada proses deliberate forgetting (pelupaan disengaja) terhadap kekejaman kolonial.
Padahal sudah semestinya, peristiwa ini harusnya mendapatkan ruang dalam sejarah nasional untuk mengungkap kisah yang belum terdokumentasi dalam narasi besar bangsa ini, baik dari perspektif kolonial maupun lokal.
Dalam beberapa diskusi dengan sejarawan sosial Belanda-Maluku, Ron Habiboe, disebutkan bahwa pendirian kembali patung Jan Pieterszoon Coen di kota kelahirannya, Hoorn, utara Amsterdam, oleh pemerintah Belanda mendapat protes dari aktivis sosial di Belanda. Mereka menganggap Coen bukanlah pahlawan, melainkan pembunuh yang tidak berperikemanusiaan.
Menghidupkan Ingatan Kolektif
ADVERTISEMENT
Peringatan 404 Tahun Genosida Banda 1621 yang diselenggarakan oleh civitas akademika Universitas Banda Naira (UBN) pada 8 Mei 2025 bukan sekadar seremoni tahunan. Ini adalah bentuk nyata dari kesadaran sejarah yang mendalam dan tanggung jawab moral atas tragedi kemanusiaan yang menodai tanah Banda di masa lampau. Melalui refleksi ini, UBN berkomitmen menyalakan kembali ingatan kolektif di benak generasi muda, agar luka sejarah tak terhapus dan nilai-nilai kemanusiaan tetap dijunjung tinggi.
Banda bukan sekadar gugusan pulau kecil di timur Nusantara. Tanah Andan ini adalah tapal batas sejarah, tempat di mana kekayaan alam, terutama pala menjadikannya pusat perebutan kekuasaan global dan panggung kekejaman kolonialisme awal. Tanpa Banda dan Maluku, tanpa pala, fuli, dan cengkeh, jalannya sejarah kolonialisme di Nusantara mungkin akan berbeda. Dan tanpa penjajahan itu, perjuangan kemerdekaan yang melahirkan bangsa Indonesia tak akan menemukan bentuknya seperti yang kita kenal hari ini.
ADVERTISEMENT
Monumen Parigi Rante menjadi saksi bisu atas perjalanan panjang itu. Di sana, nama-nama pejuang yang gugur mempertahankan tanah leluhur diabadikan sebagai penghormatan atas keberanian mereka yang menolak tunduk pada kekuasaan imperialisme.
Bersama mereka, nama-nama tokoh pergerakan nasional seperti Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusuma Sumantri, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir terpahat abadi—mewakili babak lain dari perjuangan bangsa yang juga pernah menyentuh tanah ini sebagai tempat pengasingan sekaligus pembentukan kesadaran kebangsaan.
Kontribusi Des Alwi dan Prof. Hamadi dalam merawat memori sejarah Banda tak bisa dilepaskan dari semangat peringatan ini. Lewat penelitian dan dokumentasi yang mereka lakukan, mereka membangun jembatan penghubung antara masa silam dan masa kini. Narasi mereka menjaga Banda agar tak sekadar menjadi catatan kaki dalam sejarah, melainkan tetap hidup sebagai cermin luka sekaligus sumber kekuatan kolektif.
ADVERTISEMENT
Banda Naira adalah tanah perjuangan. Di sinilah harga diri dan cita-cita kemerdekaan tumbuh, bahkan jauh sebelum nama “Indonesia” mengemuka di panggung internasional. Setiap langkah di tanah ini, dari Parigi Rante hingga Benteng Belgica dan Benteng Nassau, menggaungkan suara masa lalu yang tak kunjung padam, sebuah panggilan untuk tidak melupakan sejarah, melainkan menjadikannya bagian utuh dari jati diri bangsa.
Genosida Banda tahun 1621 adalah salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah kolonialisme di Nusantara. Namun dari kedalaman luka itu pula, tumbuh semangat perlawanan dan kesadaran akan kemerdekaan yang terus diwariskan lintas generasi.
Genosida Banda: Luka Sejarah yang Terlupakan
Genosida Banda pada 1621 merupakan kejahatan kemanusiaan dalam sejarah kolonialisme di Nusantara. Peristiwa itu didorong oleh hasrat ingin menguasai Banda, sebagai pusat rempah.
ADVERTISEMENT
Dendam Coen tidak tumbuh dalam semalam. Ia berakar dari peristiwa memalukan yang hampir merenggut nyawanya sendiri. Saat itu, Coen masih menjabat sebagai juru tulis bagi Laksamana Verhoeven. Dalam sebuah perundingan dengan pemimpinpemimpin Banda, Verhoeven memaksakan kehendaknya untuk melanjutkan pembangunan Benteng Nassau, pos militer warisan Portugis dibangun pada 1529, tetapi tak seleseai karena ditolak tegas oleh rakyat Banda.
Ketegangan meletus menjadi kekerasan. Merasa terhina dan terancam, rakyat Banda melancarkan serangan dengan cara menjebak Verhoven dalam sebuah negosiasi perundingan damai yang tersembunyi di hutan pala Pulau Naira. Verhoeven terbunuh dalam peristiwa itu, sementara Coen lolos dengan luka dan dendam yang membara. Insiden itu tertanam dalam benaknya sebagai aib yang harus dibayar lunas.
ADVERTISEMENT
Ketika Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pada 1618, kesempatan membalas dendam itu akhirnya tiba. Ambisi dan dendam lama terhadap rakyat Banda menemukan momentumnya. Situasi memanas ketika Coen menerima laporan dari T’Sionck, Gubernur VOC di Banda, yang menuduh masyarakat Selamon merencanakan konspirasi melawan Kompeni. Padahal sebelumnya, T’Sionck telah mengubah Masjid Selamon menjadi markas militer dan penginapan tentara, serta melarang warga setempat beribadah di sana.
Rakyat Selamon mencoba berunding. Mereka memohon agar diizinkan melaksanakan salat terakhir di masjid, dan menuntut agar agama, adat, dan kehormatan perempuan mereka dihormati. Namun, permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh pihak Belanda.
Ketegangan mencapai puncaknya pada malam 21 April 1621. Saat para tentara VOC dan T’Sionck sedang tidur di dalam masjid, sebuah lampu gantung tiba-tiba jatuh dari langit-langit. Peristiwa itu memicu kepanikan. Para serdadu menganggapnya sebagai serangan mendadak. Warga Selamon yang melihat kegaduhan itu panik dan melarikan diri ke pegunungan (Puasa, 2023).
ADVERTISEMENT
Melihat ini sebagai bukti perlawanan, Coen segera bertindak. Sebelumnya pada 11 Maret 1621, Ceon telalah mengirim pasukan ke Pulau Lontor, sisi barat Pulau Banda. Serangan besar-besaran pun dilancarkan. Titik-titik strategis direbut, dan ribuan warga Banda terpaksa mengungsi ke pegunungan dalam kondisi penuh ketakutan dan keputusasaan.
Pada bulan Mei tahun itu, atas perintah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, armada VOC melancarkan serangan brutal ke Kepulauan Banda. Mereka tidak datang untuk berdiplomasi, tetapi untuk membalas dendam dan menghapus perlawanan rakyat Banda dari muka bumi.
Seperti dilukiskan sejarah, bahwa pada bulan Mei tahun itu, operasi pemusnahan dimulai. VOC mengerahkan kekuatan yang mencengangkan: 13 kapal besar, 3 kapal kecil, 6 perahu layar, 1.665 serdadu Eropa, 100 samurai bayaran asal Jepang, dan 286 tawanan dari Jawa. Mereka tidak datang untuk berdiplomasi, tetapi untuk membalas dendam dan menghapus perlawanan rakyat Banda dari muka bumi (Abidin, 2024).
ADVERTISEMENT
Diperkirakan sekitar 6.000 jiwa—lebih dari separuh populasi Kepulauan Banda—tewas dalam pembantaian sistematis yang digerakkan oleh VOC. Hanya sekitar seribu orang yang selamat. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan orang tua yang tak lagi mampu melawan. Mereka pun dideportasi ke Batavia, dibawa sebagai tawanan dalam pengasingan yang jauh dari tanah kelahiran mereka.
Meneguhkan Identitas dan Keadilan Sejarah
Peristiwa Genosida Banda menjadi luka kolektif yang membentuk kesadaran orang Banda hari ini. Tragedi itu menjadi pengingat bahwa kolonialisme bukan hanya soal penguasaan tanah, tapi juga perampasan martabat dan kehancuran peradaban.
Peristiwa sepenting ini belum memperoleh ruang yang layak dalam narasi sejarah nasional maupun dalam kurikulum lokal. Banyak generasi muda hanya mengenal Banda sebagai “penghasil rempah,” tanpa mengetahui kisah pahit di balik kejayaannya.
ADVERTISEMENT
Sebagai dosen Pendidikan Sejarah, penulis memandang Genosida Banda bukan semata tragedi masa lalu, melainkan bentuk kolonialisme yang sistematis dan terencana dalam melenyapkan eksistensi suatu peradaban.
Mengingatnya bukan hanya tindakan memelihara memori, tetapi juga langkah kritis dalam merespons dominasi narasi sejarah nasional yang kerap meminggirkan kisah-kisah dari wilayah timur Indonesia.
Menuju Sejarah Nasional yang Inklusif
Memasukkan sejarah lokal seperti Genosida Banda ke dalam kesadaran publik nasional adalah langkah penting untuk memperkaya sekaligus meluruskan narasi kebangsaan yang selama ini terlalu Jawa-sentris. Dalam bingkai Indonesia yang majemuk, pengakuan atas pengalaman sejarah tiap daerah bukan sekadar pelengkap, tetapi bentuk keadilan kultural yang tak bisa ditawar.
Setiap daerah memiliki memori kolektif, luka sejarah, dan kontribusi terhadap pembentukan identitas bangsa. Mengabaikannya berarti mengingkari keberagaman yang menjadi fondasi Indonesia. Karena itu, perspektif Indonesia-sentris yang utuh perlu dihadirkan secara sadar dalam ruang-ruang pembelajaran sejarah, bukan hanya di ruang kelas, tapi juga dalam wacana publik, kebijakan budaya, dan produksi pengetahuan.
Merawat Ingatan, Menata Masa Depan
ADVERTISEMENT
Sejarah bukan hanya milik masa lalu. Sejarah adalah cermin masa kini dan kompas bagi masa depan.
Dari Banda, bangsa ini dapat belajar makna keberanian, keteguhan, dan harga diri dalam menghadapi ketidakadilan. Tanah adat yang dirampas melalui sistem perkenierschap adalah simbol nyata perampasan martabat. Namun meski disisihkan dari panggung utama sejarah, ingatan itu tetap hidup dalam nyanyian duka, dalam doa leluhur, dan dalam kisah-kisah yang diwariskan lintas generasi.
Peringatan 404 tahun yang digelar oleh civitas akademika dan masyarakat Banda adalah pernyataan tentang kebangkitan kesadaran sejarah. Kepada anak-anak dan generasi penerus, bukan hanya kisah luka yang diwariskan, melainkan pelajaran tentang keberanian dan kemampuan bangkit dari kehancuran.
Acara ini terlaksana berkat inisiatif dan semangat para pemuda, mahasiswa, civitas akademika, masyarakat adat, pemerintah kecamatan, para dermawan, dan tokoh-tokoh yang menjaga nyala perjuangan orang Banda.
ADVERTISEMENT
Semoga peringatan ini menjadi ruang refleksi bersama, tempat kita merawat ingatan, memperkuat solidaritas, dan meneguhkan komitmen terhadap keadilan sejarah. Demi Banda yang lebih bermartabat, dan Indonesia yang lebih beradab serta berpihak pada nilai-nilai keadilan. Jangan lupakan sejarah. Mari berdamai dengan masa lalu, bukan untuk melupakan luka, tetapi untuk menata masa depan yang lebih bijak.
Dengan menghadirkan kembali kisah-kisah ini, upaya membuka jalan bagi Banda untuk tumbuh sebagai destinasi wisata sejarah dan budaya yang bukan hanya indah, tetapi juga sarat makna semakin terbuka. Oleh karena itu, narasi tentang Banda perlu mendapat ruang khusus dalam sejarah Indonesia.
Di negeri kecil ini, babak-babak penting sejarah Indonesia hadir nyaris lengkap—mulai dari masa prasejarah, proses Islamisasi, era Kerajaan Nusantara, kolonialisme VOC, masa Hindia Belanda, arus pergerakan nasional, pendudukan Jepang, hingga kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Semua jejak peninggalannya masih dapat ditemukan di Pulau Rempah ini. Semoga melalui penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia, kisah Banda menjadi bagian yang tak terpisahkan dari narasi besar sejarah bangsa.