Terjebak dalam Post-Concert Syndrome

Lia Riyadi
Random stories and else about interesting things in a life of silly girl who happen to be a K Pop enthusiast
Konten dari Pengguna
22 Juli 2018 12:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lia Riyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru dua hari sejak lampu panggung konser Wanna One “The One: World Tour in Jakarta” dimatikan dan lampu ruangan Hall 8 Indonesia Convention Exhibition (ICE) menyala kembali dengan benderang.
ADVERTISEMENT
Sebelas personel kelompok boyband asal Korea tersebut juga sudah meninggalkan Jakarta. Namun, rasa rindu yang saya rasakan terhadap mereka justru semakin membuncah, jauh lebih besar ketimbang sebelum menyaksikan aksi panggung mereka pada hari Minggu (15/7).
Walhasil, playlist iTunes saya belum berhenti memutar lagu-lagu Wanna One dari 5 album yang sudah mereka luncurkan. Hampir di setiap waktu luang saya sempatkan memonitor linimasa akun Twitter saya, mencari info mengenai mereka. Saya cek jadwal konser terdekat mereka berikutnya, hari Sabtu (21/7) di Kuala Lumpur.
“Sha, masih kangen Wanna One. Rasanya belum puas sama penampilan kemarin. Apalagi pertunjukan sempat berhenti 45 menit karena penonton rusuh. Mau nonton ke KL gak?” pesan saya ke Risha, adik perempuan saya, melalui Whatsapp. Kebetulan, Risha tidak ikut nonton konser Wanna One yang di Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Sebentar, gue cek. Masih available niy tiketnya. PEN 3 dan PEN 4. Rp 2,6 juta tiketnya,” balasnya.
“Gimana ya, Sha? Kok begini siy rasanya. Malah makin sayang banget. Gue mau lihat Yoon Jisung lagi. Terus, gue akhirnya ngulik terjemahan semua lagu-lagunya, semua foto-foto juga rekaman videonya dan akhirnya gue cuma bisa makin breakdown.”
Tidak puas ngobrol dengan Risha, saya pun menelepon Puti, teman yang bersama saya pergi nonton konser.
“Put, kangen Kang Daniel gak? Gue kangen banget sama Yoon Jisung. Masih kebayang kerennya dia nge-DJ.”
“Iya, kak. Kangen banget. Gak bisa move on niy. Gue mau nabung kak, nekat akhir tahun mau nonton konser akbarnya yang di Seoul. Semoga dapet tiketnya ya, kak.”
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan pulang, notifikasi mention Twitter saya berbunyi. Puti mengirim foto sebuah artikel dengan pesan singkat, “Kita kena post-concert syndrome, Kak!”
Ilustrasi penggemar musik K-Pop. (Foto: Unsplash/Pixabay)
Hah? Seriusan ini ada sindrom model begini? Ternyata, memang post-concert syndrome atau sindrom pasca-konser bukan hal yang mengada-ada, walau secara medis tidak ada yang pernah mendefinisikannya.
Menurut Urban Dictionary, post-concert syndrome adalah sebuah kondisi yang dialami oleh beberapa penonton konser setelah menyaksikan aksi panggung idolanya.
Kondisi di mana kita mengalami dorongan untuk lebih dekat dengan sang idola, sehingga selalu mendengarkan album atau bahkan mungkin membeli tiket konser selanjutnya. Di samping itu, kita juga terobsesi pada setiap detail dokumentasi yang sudah diambil sepanjang konser.
ADVERTISEMENT
Salah satu alasannya karena sebelum konser berlangsung kita seperti memiliki sebuah misi. Persiapan dan rencana dibuat sedemikian rupa, mulai dari menghafalkan lirik lagu, memilih baju yang mau dipakai, menjadwalkan kegiatan di hari konser, hingga menghimpun massa untuk nonton bareng.
Di hari konser, seperti sedang menjalankan misi tersebut, kita menikmati betul-betul setiap momen. Hentakan musik membuat adrenalin memenuhi tubuh. Teriakan dan goyangan badan gak berhenti selama berlangsungnya konser. Kita merasa terbebas dari segala beban pikiran hidup dan ini adalah pelarian tertinggi (ultimate escapism).
Belum lagi akhirnya kita seperti tersadarkan, bahwa idola yang selama ini seperti mimpi hanya bisa dilihat foto atau videonya di media massa dan layar handphone ternyata nyata. Kita dapat menyaksikannya berdiri di atas panggung dengan mata kepala sendiri.
ADVERTISEMENT
Kemudian apa yang terjadi? Setelah hampir seharian kita penuh dengan dorongan emosi bahagia maksimal, lantas sang idola menghilang di balik layar hitam. Konser berakhir dan kita seperti merasa terbangun dari mimpi indah.
Keesokan hari, selain merasakan tubuh yang ngilu dan lelah luar biasa, kita pun merasa hidup menjadi kosong karena misi sudah selesai.
Tidak ada yang bisa menjawabnya. Bisa saja berlalu dengan singkat 1-2 minggu tetapi tidak jarang perlu waktu yang lebih lama hingga 1-2 bulan. Semua tergantung bagaimana kita dapat mengatasinya.
Sebelum berupaya mengatasinya, kita harus mengenal lebih dulu empat tahapan-tahapan sindrom pasca-konser, sebelum sampai ke tahap penerimaan. Tahapannya sebenarnya agak mirip dengan mengatasi perasaan duka pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Pertama adalah melewati tahap penolakan (denial). Dalam tahapan ini biasanya kita akan merasa sulit menerima bahwa konser sudah benar-benar berakhir, walau si artis juga sudah menyajikan dua lagu encore. Tahapan yang membuat kita kembali me-review foto-foto dan video dalam perjalanan pulang ke rumah, dan menangisi semua pengalaman di venue konser.
Cara mengatasi tahapan ini adalah dengan mencoba mencari pengalihan. Kembali ke rutinitas harian seperti cek email pekerjaan atau kembali ke materi matakuliah. Hentikan kegiatan yang dapat membawa ingatan kembali ke konser. Memutar lagu-lagu si idola jelas big NO.
Setelah tahap penolakan, biasanya kita akan melewati tahan kemarahan (anger). Tahapan ini biasanya muncul karena orang-orang sekeliling kita tidak membantu kita melewati masa penolakan.
ADVERTISEMENT
Di saat kita mencoba tidak sedih dan kembali fokus ke kehidupan nyata, teman-teman justru aktif menanyakan bagaimana konsernya. Ini seperti, “Guys, I am sad it’s over and I’m trying to get over it. So, please stop asking me how it went. It was definitely awesome of course!
Dalam tahapan ini, marah sama teman yang bertanya jelas tidak tepat. Teman kita nanti bingung, “Salah gue apa? Kan gue cuman tanya gimana konsernya?”. Untuk menentramkan hati, mendengarkan lagu-lagu lama dari si artis atau menonton beberapa video wawancara di Youtube boleh dijadikan obat penangkis, asal jangan terlalu banyak karena nanti sulit melewati tahap berikutnya.
Nah, tahap penawaran (bargaining) ini adalah tahap ketika kita cenderung ingin mengulang kembali pengalaman konser. Kita cari jadwal konser berikutnya, bahkan sampai rela jual ginjal buat beli tiket dari calo atau platform reseller seperti Stubhub atau Ticketbay, asal tiket yang harganya selangit itu terbeli.
ADVERTISEMENT
Untuk kali ini, pergilah mengurung diri. Teguhkan hati untuk tetap isi dompet terjaga. Bekukan sementara kartu kredit jika perlu. Sebagai pengalihan, coba belanja hal lain. Beli album yang belum punya atau barang di bucket list dan anggap sebagai hadiah untuk diri sendiri, asal bukan tiket konser lagi.
Setelah melewati tiga tahapan tersebut, biasanya secara emosi kita akan terkuras habis. Bagi yang masih sulit keluar dari perasaan sedih akan merasakan depresi pasca-konser.
Gejala depresi pun bisa terlihat bila kita mudah menangis, kehilangan nafsu makan, sering termenung sendiri dan menolak berbicara dengan orang lain.
Motivasi hidup perlahan hilang seiring kembalinya kenyataan hidup keseharian. Kenangan indah pada saat konser kembali menjadi fantasi yang terlalu indah untuk jadi nyata. Hidup terasa lebih membosankan dari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Jika sudah sampai di sini, maka kembali mendekatkan diri ke idola adalah satu-satunya cara. Dengarkan lagi lagu-lagunya. Kenakan kaos konser yang sudah dibeli di venue. Saksikan lagi semua video musiknya. Biarkan perasaan rindu kembali ke porsi sebelum melihat konser mereka.
Jika telah melewati semua tahapan sindrom pasca-konser, kamu akan tiba pada posisi di mana kamu menerima (acceptance) bahwa kenangan itu tidak akan berulang. Waktu akan terus bergerak maju, seperti seharusnya.
Ilustrasi Nonton Konser (Foto: Pixabay)
Meski kita menyadari bahwa konser dan euforianya sudah berakhir sekarang, akan tetapi selalu ada kesempatan untuk menyaksikan konser lain lagi dan merasakan kembali segala kebahagiaan dan kebebasan yang pernah dirasakan di dalam venue konser suatu hari nanti lagi.
ADVERTISEMENT