Konten dari Pengguna

Instant Gratification: Warisan Perkembangan Teknologi Komunikasi bagi Generasi Z

Amalia Vilistin
Mahasiswi Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17 Desember 2024 15:47 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amalia Vilistin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber. Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Sumber. Freepik
ADVERTISEMENT
Bayangkan seorang remaja yang tidak tahan menunggu video buffering lebih dari lima detik, langsung menutup aplikasi, dan beralih ke platform lain yang lebih cepat. Ia menghabiskan berjam-jam tanpa henti menggulir feed media sosial, tetapi merasa gelisah jika unggahannya tidak mendapatkan likes atau komentar dalam satu menit pertama. Dalam dunia yang serba instan ini, kesabaran seolah menjadi barang langka. Algoritma media sosial dirancang untuk memberikan kepuasan cepat, membuat kita terus terpaku pada layar, tetapi ironisnya, sering meninggalkan rasa hampa setelahnya. Bagaimana bisa?
ADVERTISEMENT
Penelitian Junawan dan Laungu (2020) menyatakan, bahwa di Indonesia terjadi peningkatan user media sosial dengan berbagai cara penggunaannya. Tawaran diterima baik oleh remaja Indonesia yang umurnya sekitar 18-24 tahun, dominan merupakan Generasi Z (Gen Z). Menurut survei APJII (2024), Gen Z menjadi kelompok usia dengan tingkat kontribusi paling banyak menggunakan internet dibandingkan kelompok usia lain, angkanya mencapai 34,4 persen. Faktanya, Gen Z menjadi digital native yang tumbuh bersama teknologi canggih layaknya internet, smartphone, dan media sosial.
Perkembangan teknologi komunikasi yang menawarkan segalanya dengan cepat dan instan telah mempengaruhi perilaku Gen Z secara signifikan. Hal ini memberikan mereka peluang yang besar untuk mahir dalam keterampilan digital, tetapi saking maraknya kemudahan yang ditawarkan, potensi negatif datang secara tidak sadar. Menurut Badan Pusat Statistik (2021), Gen Z mencakup 27,94% dari total populasi Indonesia, tumbuh dalam era digital yang didominasi oleh algoritma, real-time updates, dan kemudahan akses informasi. Teknologi memberikan keuntungan besar, seperti kemudahan dan penguasaan alat-alat digital, sebagaimana terlihat dari skor tinggi Gen Z dalam penggunaan dan pengetahuan teknologi (Limilia et al., 2022).
ADVERTISEMENT
Namun, di balik itu, generasi ini juga menunjukkan partisipasi yang rendah dalam literasi digital. Hal ini mengindikasikan kurangnya kesadaran dalam memilah dan menggunakan informasi secara bijak. Ketidakseimbangan ini menciptakan fenomena instant gratification, di mana Gen Z terbiasa dengan kepuasan cepat yang ditawarkan oleh teknologi. Meski kondisi ini tampak mempermudah hidup, nyatanya di lapangan hal ini berpotensi membentuk pola pikir yang tergesa-gesa dan mengikis kemampuan mereka untuk bersabar, berpikir kritis, dan mendalami suatu proses.
Instant gratification lahir dengan membawa banyak terobosan baru, bahkan dalam bentuk kasus yang terjadi secara positif maupun negatif. Salah satu aplikasi media sosial sebagai bagian dari aspek perkembangan teknologi komunikasi adalah TikTok. TikTok menjadi salah satu platform yang memfasilitasi fenomena ini. Instant gratification telah lahir berdasarkan algoritma yang dirancang untuk memberikan rekomendasi informasi berdasarkan konten tanpa henti, sehingga kerap memperkuat kebutuhan akan gratifikasi instan. Selain algoritma, TikTok juga membuka kesempatan bagi siapapun yang ingin memanfaatkannya guna meraih digital money, salah satunya dengan menjadi creator.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan hal tersebut, Gen Z sebagai mayoritas penduduk yang mendominasi di era bonus demografi (Badan Pusat Statistik, 2021), sehingga memiliki momentum emas yang dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial. Namun, generasi ini menghadapi persimpangan yang sulit. Di satu sisi, platform seperti TikTok membuka peluang ekonomi baru di tengah sulitnya lapangan kerja. Dengan kreativitas dan inovasi, banyak dari Gen Z yang menjadikan platform ini sebagai ajang untuk menghasilkan pendapatan, baik melalui endorsement, penjualan produk, hingga monetisasi konten. Di mana laporan dari Digital 2023 Global Overview Report menunjukkan, bahwa Indonesia memiliki salah satu tingkat penetrasi pengguna TikTok tertinggi di dunia yang menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi ekosistem ekonomi mereka tersendiri.
ADVERTISEMENT
Namun, mereka yang telah terwariskan secara implisit terkait fenomena instant gratification akan menangkap TikTok sebagai platform yang berbeda. Untuk menunjang popularitas, banyak dari mereka yang rela ‘numpang viral’ dengan membuat konten kontroversial yang tidak memerlukan keahlian yang berarti. Hanya mencari massa untuk meramaikan konten mereka agar viral dengan cepat. Baik konten informasi palsu, rasisme, atau lainnya yang dapat menjadi boomerang bagi mereka sendiri imbas tekanan sosial yang sangat besar. Namun, demi kepuasan instan mereka rela melakukannya tanpa memperhatikan dampak jangka panjang.
Dampak serius dari fenomena tersebut dekat dengan Gen Z yang menjadi kelompok rentan terhadap masalah mental. Berdasarkan laporan survei Gen Z Global 2022 yang dilakukan McKinsey Health Institute, lebih dari 42 ribu responden yang sepertiganya adalah Gen Z mengaku menghabiskan lebih dari dua jam untuk menggunakan media sosial. Mereka mengaku, bahwa media sosial sangat mempengaruhi kesehatan mental. Hasil survey menunjukkan bahwa Gen Z adalah generasi yang paling banyak memperoleh dampak negatif dari media sosial.
ADVERTISEMENT
Instant gratification telah mempengaruhi emosional Gen Z yang sekarang dominannya adalah remaja menuju dewasa, di mana masa ini adalah masa emas untuk membangun fondasi mental dan emosional yang kuat. Sayangnya, proses tersebut seing terabaikan imbas diwariskannya kepuasan instan. Berkaca dengan kasus popularitas instan Batsy Smoke yang kehilangan reputasi hingga trauma dan menonaktifkan akun TikToknya pasca memposting konten kontroversial demi views, dan akhirnya memicu serangan balik dari netizen yang banyak melahirkan komentar negatif.
Kondisi ini diperburuk oleh kebutuhan konstan akan validasi sosial yang diperoleh melalui like, share, atau komentar positif. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, mereka mudah merasa cemas atau depresi. Tak heran jika kasus gangguan mental seperti depresi meningkat di kalangan remaja yang sebagian besar diakibatkan oleh tekanan media sosial. Dalam konteks ini, kemampuan untuk menunda kepuasan atau delayed gratification menjadi sangat penting. Ini bukan hanya soal pengendalian diri, tetapi juga tentang belajar menghargai proses dan memahami bahwa hasil yang bermakna membutuhkan usaha dan waktu. Dengan ini, Gen Z dapat mengembangkan pola pikir yang lebih bijaksana, mampu menghadapi kegagalan, dan lebih siap dalam mengambil keputusan yang kompleks.
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi komunikasi menjadi pisau bermata dua bagi yang membuka peluang besar, tetapi melahirkan tantangan seperti instant gratification. Perkembangannya menghadirkan kemudahan, tetapi di balik kemudahan itu terdapat risiko yang tidak bisa diabaikan. Gen Z sebagai kelompok yang paling akrab dengan teknologi, justru menjadi salah satu yang paling rentan terhadap fenomena instant gratification. Tanpa literasi digital yang memadai, perkembangan teknologi ini dapat menciptakan pola pikir yang cenderung mengutamakan hasil instan, mengorbankan proses, dan bahkan mengabaikan konsekuensi jangka panjang.
Namun, Gen Z memiliki potensi besar untuk membalikkan keadaan. Instant gratification yang mengancam kecerdasan emosional dan intelektual dapat diancam dengan menguasai delayed gratification. Hal ini dapat dimulai berdasarkan hal kecil, seperti menerapkan self control, memfokuskan penggunaan teknologi pada aktivitas produktif, membiasakan refleksi dan evaluasi terhadap pribadi masing-masing, hingga membuat sistem reward yang berbasis proses untuk mencapai kepuasan tertentu.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, semua kembali pada bagaimana tidak hanya Gen Z, tetapi semua pengguna teknologi memilih cara untuk mengimplementasikan teknologi. Apakah mereka akan menjadikannya alat untuk memperkuat diri, atau justru menjadi korban dari kemajuan itu sendiri?. Hal yang paling penting diketahui bahwa teknologi adalah alat, bukan tujuan. Tapi, jika kita terus menggunakannya tanpa kendali, siapa yang sebenarnya dikendalikan?. Dengan itu, instant gratification tidak berakhir sebagai dampak, melainkan menjadi pengingat bahwa kontrol atas teknologi dimulai dari masing-masing individu.