Konten dari Pengguna

Karya 'Rebirth': Mengabadikan Waktu dengan Kolase

15 Oktober 2019 13:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Ariawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi saya, mengunjungi art fair bukanlah cara yang paling menyenangkan untuk menikmati seni. Lautan pengunjung, hiruk pikuk, dan sensasi yang dirasakan saat berada di sebuah tempat yang dipenuhi begitu banyak ragam karya seni, memang bisa menjadi pengalaman yang mengasyikan. Sabaliknya, hal ini juga bisa membuat lelah mata; namun, bukan demikian yang saya rasakan di Art Jakarta 2019, tanggal 30 Augustus - 1 September 2019 lalu. Terlepas dari kekurang gemaran saya terhadap art fair secara luas, selama beberapa tahun terakhir, saya turut mengunjungi dan mengikuti perkembangan perhelatan ini. Harus saya akui, ada yang beda dari edisi 2019: bukan hanya pilihan tempat yang lebih leluasa dan tertata, namun saya juga terkesan dengan program VIP, diskusi, dan kurasi yang ditawarkannya.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi, saya juga berkesempatan untuk berjumpa kembali dengan sebuah karya yang saya apresiasi. Yaitu, sebuah lukisan yang telah berhasil menarik perhatian saya semenjak pertama kali dipamerkan di Balai Seni Negara Malaysia, Kuala Lumpur. Waktu itu, saya sedang mengunjungi pameran Teh Tarik with The Flag yang berlangsung pada tanggal 23 Juli - 31 Oktober 2018, dan lukisan yang terdiri dari dua kanvas ini, atau bisa juga disebut sebagai diptych, termasuk dari salah satu karya seni yang terpilih untuk dipajang. Terpancar aura positif dari karya yang memiliki karakter grafis yang kuat ini. Berwarna dasar merah, biru dan kuning, karya ini seakan sudah sepatutnya berada di dinding museum dan art fair yang saya kunjungi tersebut, ikut membaur di antara keramaian. Sebuah pengangkat suasana hati.
Choy Chun Wei, Rebirth (2018), Media campuran di atas kanvas, 91.5cm x 305cm. Foto: Wei-Ling Gallery
zoom-in-whitePerbesar
Choy Chun Wei, Rebirth (2018), Media campuran di atas kanvas, 91.5cm x 305cm. Foto: Wei-Ling Gallery
Sebenarnya, karya ini bukan sekedar lukisan. Pada pandangan pertama, permukaannya memang terkesan rata. Namun, saat didekati, barulah saya menyadari bahwa visual yang terlihat dinamis tersebut merupakan hasil dari tumpukan berbagai potongan kertas; karya ini merupakan kolase. Lapis demi lapis, potongan-potongan kertas yang dicat merangkai pola yang unik.
ADVERTISEMENT
Karya ini juga didominasi dengan lukisan lingkaran dan lekukan, Hal ini sebenarnya bertolak belakang dengan bentuk-bentuk yang biasa digunakan oleh senimannya, yaitu kotak, persegi empat, dan garis lurus. Elemen-elemen di kanvas ini justru tersusun secara organik, tidak sistematis, namun tetap harmonis. Jika diperhatikan dengan lebih seksama, terdapat juga ilustrasi bintang yang tersebar di antara komposisinya: sebuah simbol yang melambangkan harapan?
Yau Bee Ling, Explicitly Immersive Light I & II (2019) dan Choy Chun Wei, Rebirth (2018) di booth Wei-Ling Gallery, Art Jakarta 2019. Foto: Wei-Ling Gallery
Ketika saya telusuri lebih jauh, saya menemukan bahwa karya ini sebenarnya lahir dari sebuah respon terhadap konteks politik tertentu; sebuah pergantian kepemimpinan dan pemerintahan yang tentunya menjadi titik perubahan yang penting bagi suatu negara. Berjudulkan Rebirth (lahir kembali), sebuah kata yang juga distensil secara repetitif di permukaan kolase tersebut, karya ini direalisasikan oleh seniman asal Malaysia – sebuah negara yang pemilihan umum terbarunya (2018), menjadikan sosok berumur 92 tahun, Mahathir Mohamad, sebagai Perdana Menteri Malaysia, mengalahkan kandidat oposisinya, Najib Razak, yang dilaporkan terlibat berbagai kasus korupsi.
ADVERTISEMENT
Tentunya bukan hal mudah bagi saya sebagai orang Indonesia, sebuah negeri yang pemilihan umum kepresidenannya justru diwarnai oleh berbagi protes dan bentrok, untuk menggambarkan euforia yang gembira usai diumumkannya Perdana Menteri baru Malaysia. Di Jakarta, terdapat himbauan dari sekolah, kantor, dan berbagai pihak keamanan agar tetap waspada dan menghindari daerah-daerah tertentu. Sebaliknya, menurut laporan berbagai media, hanya keriaan-lah yang terlihat mewarnai Malaysia pada saat itu. Warna-warna ‘Jalur Gemilang’ (sebutan bagi bendera Malaysia) mendominasi karya Rebirth, sebagaimana warna-warna tersebut juga dapat terlihat memenuhi jalanan ibu kota Kuala Lumpur, saat masyarakat bersorak sorai sambil membawa bendera.
Hal ini mengingatkan saya pada sebuah kalimat yang ditulis oleh pemenang Nobel Prize tahun 1993, yaitu Toni Morrison:
ADVERTISEMENT
Hubungan antara seni, politik, dan masyarakat telah lama menjadi topik yang saya minati. Sangat mengesankan, bertemu dengan karya seorang seniman yang, sambil mengabadikan momen penting yang menandai sejarah, tetap setia pada teknik pembuatan kolase yang baik. Karya-karya lainnya seperti pada seri Tectonic Traces (2017) mempertanyakan identitas kita sebagai masyarakat kontemporer.
Choy Chun Wei, Future Stars (2017), Seri Tectonic Traces, Media campuran di atas medium kayu, 122cm x 122cm x 6cm. Foto: Wei-Ling Gallery.
Sebuah seni politik memang bisa berupa protes, aktivisme, atau, dalam kasus seniman Jerman Joseph Beuys katakanlah, sebuah “social sculpture”. Namun, karya Rebirth membuktikan bahwa sebuah karya bisa tergolong politik ketika mencatat sejarah - baik itu sebuah peristiwa yang damai maupun bukan. Seperti yang diusulkan Robert Rauschenberg, memang sudah seharusnya seniman menjadi saksi sejarah dari waktu di mana ia hidup.
ADVERTISEMENT