Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tintin Wulia: Mengenang yang Kembali dan Belum Kembali
7 Februari 2019 10:06 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
Tulisan dari Amanda Ariawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tintin Wulia, seniman muda asal Denpasar, kembali menghantar perhatian ke Mars dan kegetiran tragedi '65 di Indonesia melalui A Thousand and One Martian Nights. Karya multimedia ini pertama kali diperkenalkannya ke mata dunia di tahun 2017, pada ajang seni internasional 'Biennale' ke-57 di Venezia, di mana ia menjadi satu-satunya seniman yang mewakili Pavilion Indonesia.
Kali ini, karya yang menggabungkan instalasi video dan kamera web tersebut hadir dalam konteks yang sedikit berbeda. Bersama enam seniman terpancang lainnya, karya Tintin menjadi bagian dari pameran ‘Paralogical Machines’ di galeri Wei-Ling Contemporary, Kuala Lumpur, pada 10 Januari-17 Februari 2019. Sebuah pameran yang menggiatkan interaksi antara seni dan publik dengan memanfaatkan media baru.
ADVERTISEMENT
Selain Tintin, terdapat seniman internasional lainnya: AWNJS (All Women’s Networked Jam Session) (Norwegia), Charles Lim (Singapura), Erika Tan (Singapura dan Inggris), Nye Thompseon vs. UBERMORGEN (Austria), Rajinder Singh (Malaysia dan Irlandia), dan Kenneth Feinstein (Amerika) yang sekaligus berperan sebagai kurator.
A Thousand and One Martian Nights merupakan gabungan antara fiksi dan realita. Berbagai elemen yang berbeda digabungkan menjadi sebuah video yang membawa pengunjung paling sedikit ke satu abad kemudian, yaitu tahun 2165 (dalam video ini, tragedi '65 diimajinasikan terjadi di tahun 2065) dan 560 kilometer dari muka bumi, yaitu ke planet Mars.
Terdapat kesaksian korban yang selamat serta komentar dari anggota keluarganya, potongan dokumenter mengenai misi NASA ke Mars (Highlights 1965: A Progress Report [1966]), cuplikan Tintin yang sedang berlatih piano dengan ibunya, rekaman dari pembuatan karya instalasi di Venezia dan Jakarta, dan streaming langsung dari kamera web yang mengambil gambar pengunjung saat mereka sedang menyaksikan video ini.
ADVERTISEMENT
Masa lampau, sekarang, dan masa depan ditambal sulam dengan menarik. Pengunjung menjadi bagian dari karya ini, baik secara fisik maupun konsep.
Pilihan medium yang digunakan (video) mengambil refrensi dari film Pengkhianatan G30S/PKI (Arifin C Noer, 1984) yang diwajibkan di kurikulum negara. Cerita-cerita yang disampaikan oleh para aktor sebagai korban atau keluarga korban merupakan gabungan adaptasi dari pengalaman pribadi mereka dan seniman, serta tulisan Hersri Setiawan dan Tedjabayu.
Sebagian besar dari bahan-bahan tersebut dikumpulkan melalui proyek '1965 Setiap Hari', sebuah proyek yang dimulai oleh aktivis hak asasi manusia, Ken Setiawan, sejak 2015. Ayahnya, Hersri Setiawan, merupakan salah satu yang selamat dari penahanan tanpa pengadilan di Pulau Buru.
Putra dari Tedjabayu, Ratrikala Bhre Aditya, menyampaikan imajinasi ulang dari cerita ayahnya. Sedangkan Tedjabayu sendiri bercerita mengenai tes kewarasan yang ia ciptakan di kamp, atau, menurut video ini, di Mars.
ADVERTISEMENT
Hal ini dilakukannya untuk menguji diri sendiri–apakah ingatannya masih utuh dan pikirannya masuk akal? Caranya adalah dengan mengingat dan menyebutkan indeks yang menjadi pembagi jilid-jilid ensiklopedia; dimulai dari Chicago-Delos dan seterusnya.
Mengerikan, mengharukan, namun juga indah, di video ini Tintin dan ibunya memainkan music Venus, The Bringer of Peace (1914) dari The Panets, Op. 32 oleh Gustav Holst.
“Masalahnya adalah, kamu melihat, tapi kamu tidak benar-benar melihat,” ucap ibunya saat Tintin melakukan kesalahan dalam latihannya.
Apakah, sebagai orang Indonesia kita sudah benar-benar melihat? Lantas, ke mana kah mereka yang belum kembali? Sebuah sentilan untuk menanamkan perhatian terhadap sejarah yang tidak terungkap.