Konten dari Pengguna

Menyelami Kepribadian Manusia Melalui Kacamata Psikologi dan Filsafat

AMANDA CALLISTA EDWILYA PUTRI
Mahasiswa Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya
30 Maret 2025 8:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari AMANDA CALLISTA EDWILYA PUTRI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kepribadian (https://www.piqsels.com/id/public-domain-photo-feieg)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kepribadian (https://www.piqsels.com/id/public-domain-photo-feieg)
ADVERTISEMENT
Kepribadian manusia telah menjadi salah satu topik yang memiliki kompleksitas tinggi dan menarik untuk dipelajari selama berabad-abad. Sejak zaman dahulu kala, filsafat sudah menjadi sarana memahami aspek-aspek mendalam dari beragamnya sifat manusia, meliputi pikiran dan perilaku. Filsafat juga memiliki berbagai pandangan mengenai hakikat manusia, termasuk pertanyaan tentang siapa kita sebenarnya, apa yang menjadi latar belakang dari kepribadian, dan bagaimana cara kita memahami diri sendiri dalam konteks dunia yang lebih besar. Seiring berkembangnya zaman, psikologi hadir sebagai disiplin yang mempelajari perilaku manusia dengan lebih ilmiah dan melalui pendekatan empiris yang berusaha mengukur, menganalisis, dan memetakan perilaku manusia dengan lebih sistematis .
ADVERTISEMENT
Salah satu yang menjadi tantangan terbesar dalam menyatukan dua pandangan psikologi dan filsafat adalah adanya perbedaan mendalam terkait pendekatan metodologinya. Psikologi lebih bertumpu pada pengumpulan data yang objektif dan eksperimen yang dapat verifikasi, sedangkan filsafat memiliki fokus pada refleksi, analisis konsep, dan argumen yang logis. Hal ini membuat sering kali tidak dapat diuji melalui eksperimen. Meskipun kedua disiplin ini dapat saling melengkap, ada kecenderungan bagi psikologi untuk mengabaikan dimensi filosofis yang lebih rinci, sedangkan filsafat kadang dianggap terlalu spekulatif untuk diterapkan dalam praktik psikologis.
Dalam esai ini, kita akan membahas tuntas bagaimana kedua disiplin ini saling melengkapi satu sama lain dalam memahami kepribadian, serta apa yang dapat kita pelajari dari perpaduan keduanya. Dengan demikian, kita akan dapat melihat bagaimana psikologi dan filsafat dapat memberikan wawasan yang lebih komprehensif mengenai manusia, serta bagaimana pengetahuan ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari hari, dalam ranah pribadi maupun profesional.
ADVERTISEMENT
Secara terminologis, beberapa tokoh ahli merumuskan definisi kepribadian berdasarkan paradigma yang para tokoh tersebut tekuni. Hal ini menyebabkan adanya keberagaman definisi kepribadian. Berikut beberapa arti kepribadian menurut para ahli:
Gordon Willard Allport
Gordon W. Allport (https://psychology.fas.harvard.edu/people/gordon-w-allport)
Ia merumuskan definisi kepribadian adalah “Personality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical systems that determine his unique adjustments to his environment” (Dirgagunasa, 1998). Hal ini apabila diterjemahkan menjadi “Kepribadian merupakan gabungan yang dinamis dalam individu sebagai suatu sistem yang disebut sistem psikofisis yang menentukan cara yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
Sigismund Schlomo Freud
Sigmund Freud (https://www.gramedia.com/best-seller/biografi-sigmund-freud/)
Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005), ia berpendapat bahwa kepribadian merupakan suatu sistem yang melibatkan 3 unsur yaitu Id, Ego, dan Superego yang masing-masing memiliki fungsinya tersendiri. Ia juga mengatakan bahwa kematangan dan cara individu menghadapi ketegangan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian.
ADVERTISEMENT
Adolf Heuken, S.J.
Adolf Heiken SJ (Kabari News)
Menurut Adolf, kepribadian merupakan keseluruhan pola menyeluruh semua kemampuan, perbuatan dan juga kebiasaan-kebiasaan seseorang. Kebiasaan jasmani, rohani, emosional, maupun sosial ditata dengan cara yang khas. Pola ini nantinya tercermin dalam tingkah laku seseorang sebagaimana manusia mengkehendakinya (Adolf, 1989).
Berdasarkan pendapat tiga tokoh diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa kepribadian manusia adalah komponen yang sangat kompleks. Pertama, terdiri dari aspek-aspek psikis seperti: sifat, sikap, minat dan lain sebagainya. Selanjutnya, aspek-aspek tersebut berintegrasi dan berinteraksi dengan lingkungan dan diulang secara terus menerus membentuk pola tingkah laku yang unik. Kepribadian bersifat dinamis yang bisa diartikan selalu berubah, tetapi dalam proses perubahan tersebut bersifat tetap. Terakhir, kepribadian bisa terwujud sejalan dengan tujuan yang dicapai oleh individu.
ADVERTISEMENT
psikologi menggunakan pendekatan yang berbasis data untuk menganalisis kepribadian manusia. Cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data untuk menganalisis kepribadian antara lain penggunaan alat tes psikologi, eksperimen, dan observasi. Contohnya seperti alat ukur Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) atau Big Five Inventory (BFI) digunakan untuk mengidentifikasi pola perilaku dan sifat individu. Psikolog juga menggunakan teknik-teknik lain untuk mengevaluasi ciri-ciri kepribadian tertentu. Hal ini menunjukkan bagaimana psikologi berfokus pada aplikasi praktis dari pemahaman kepribadian.
Meskipun filsafat berfokus pada pemikiran spekulatif dan refleksi, hal inilah yang memberikan dimensi lebih dalam tentang kepribadian. Lalu, muncul banyak pertanyaan besar tentang makna hidup, eksistensi, dan kebebasan. Filsafat berusaha menjawab pertanyaan tentang “siapa kita sebenarnya” tidak hanya berlandaskan apa yang tampak, tetapi juga sifat esensi dari diri kita. Filsafat menitikberatkan pemikiran tentang ide-ide luas atau abstrak tentang kebebasan, kesadaran, identitas, serta kehendak yang kita inginkan. Filsafat melihat semua aspek ini dengan sudut pandang yang lebih filosofis.
ADVERTISEMENT
Filsafat juga membahas tentang konsep identitas dan kepribadian. Diperlukan tradisi yang panjang dalam rangka memikirkan konsep identitas dan kepribadian seorang manusia. Contohnya, René Descartes, seorang filsuf yang terkenal karena gagasannya “Cogito, ergo sum” yang jika diartikan “saya berpikir, maka saya ada”. Hal ini menegaskan bahwa kesadaran dan pemikiran menjadi kunci dari eksistensi manusia. Dari pandangan ini, dapat diartikan bahwa kepribadian berakar pada kesadaran diri sendiri dan cara individu merealisasikan pikiran dan perasaan. Ada pula pemikiran Aristotelian tentang eudaimonia atau yang bisa diartikan sebagai kebahagiaan atau kehidupan yang bermakna yang menunjukkan bahwa kepribadian individu berkembang dalam konteks pencapaian kebajikan dan keseimbangan antara keinginan dan alasan.
Dengan menghubungkan psikologi dan filsafat, kita dapat mendapatkan gambaran serta wawasan yang lebih holistik tentang kepribadian manusia. Psikologi menawarkan cara yang empiris dalam memahami pola perilaku individu, sementara filsafat menawarkan landasan berpikir yang menjadikan kita untuk bertanya terkait makna dari perilaku yang kita lakukan dan bagaimana kebebasan memilih ikut andil dalam proses membentuk diri suatu individu. Meskipun ada tantangan dalam menghubungkan kedua disiplin ini, banyak pemahaman yang lebih universal tentang manusia yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, gabungan antara psikologi dan filsafat tidak hanya memperkaya pengetahuan tentang kepribadian, tetapi juga memberikan panduan dalam menjalani kehidupan yang lebih bermakna.
ADVERTISEMENT