Masa Depan Hukum Progresif dalam Perkembangan Filsafat Ilmu di Indonesia

Amanda Dea Lestari
Akademisi Universitas Adiwangsa Jambi
Konten dari Pengguna
2 September 2021 12:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Dea Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Satjipto Rahardjo, begawan hukum yang menggagas teori hukum progresif. Foto by Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Satjipto Rahardjo, begawan hukum yang menggagas teori hukum progresif. Foto by Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penegakan hukum di Indonesia acap kali dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan hanya mengedepankan kepentingan kelompok tertentu, padahal seharusnya penegakan hukum merupakan ujung tombak terciptanya tatanan hukum yang baik dalam masyarakat. Seperti drama panjang proses hukum penyiraman air keras kasus high profile terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan yang terus menjadi polemik. Tiga tahun berlalu, akhirnya Kepolisian berhasil mengungkap pelaku yang merupakan dua orang anggota aktif “Korps Bhayangkara”. Sorotan tajam ditunjukkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut kedua terdakwa dengan tuntutan 1 tahun pidana penjara. Sangat disayangkan, dengan berat hati penulis menilai hal ini begitu menciderai keadilan dan melukai hati masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hakikat Keadilan dalam Filsafat Ilmu
Di Indonesia, keadilan merupakan hak konstitusional warga negara, hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 yang dirumuskan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Sehubungan dengan hal ini, maka keadilan selalu berada pada garis terdepan dalam setiap perjuangan penegakan hak-hak masyarakat. Penegakan keadilan sebagai upaya membangun peradaban bangsa yang tinggi dan bermartabat. Tidak akan maju peradaban dari suatu bangsa apabila tidak didasarkan atas kehidupan yang berkeadilan.
Jelas bahwa keadilan masuk dalam kajian ilmu filsafat. Dalam kajian filsafat, keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya filsafat Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada kekuatan dan kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT
Keadilan sebagai cita dan tujuan hukum yang menjangkau wilayah filsafat ilmu hukum dengan memberikan perspektif bahwa keadilan diwujudkan melalui hukum.
Progresivitas Hakim dan Penegakan Keadilan Novel Baswedan
Melihat keadilan dalam kasus Novel Baswedan, ada faktor empiris yang tidak dapat diabaikan. Pertama, korban dalam kasus ini merupakan seorang aparat penegak hukum yang bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sehingga seharusnya negara turut memberikan rasa aman bagi para penegak hukum itu sendiri melalui proses penuntutan. Kedua, korban, yakni Novel Baswedan mengalami cacat permanen yaitu kebutaan dan harus menjalani pengobatan menahun sehingga aktivitas beliau dalam melakukan penegakan hukum menjadi terganggu. Ketiga, terdakwa merupakan bagian dari aparat penegakan hukum di Kepolisian yang seharusnya memberi teladan dan melindungi warga negara.
ADVERTISEMENT
Sudah seyogyanya, penuntutan itu benar-benar memperhatikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dakwaan Jaksa seakan berupaya untuk menafikan fakta kejadian yang sebenarnya, padahal esensi dari hukum pidana adalah untuk menggali kebenaran materiil. Tuntutan rendah telah memberikan preseden yang kontraproduktif terhadap perlindungan aparat penegak hukum Indonesia, yang berpotensi melahirkan kekerasan-kekerasan lainnya bagi aparat penegak hukum dan mengancam proses pemberantasan korupsi yang lebih luas. Semestinya, Jaksa sebagai representasi negara dan juga korban dapat melihat kejadian ini secara lebih utuh, tidak hanya mengedepankan keadilan prosedural namun juga keadilan substantif. Keadilan substantif, adalah keadilan yang substansial, hakiki dan dirasakan publik sebagai keadilan yang sesungguhnya yang diakui dan hidup dalam masyarakat.
Hukum Progresif – Satjipto Rahardjo
ADVERTISEMENT
Bermula dari hal di atas, timbul sebuah ide akan suatu gagasan untuk memilih cara berhukum yang lebih progresif, bertujuan untuk mengatasi keterpurukan hukum di Indonesia secara lebih bermakna (significant). Adalah hukum progresif, yang menyoroti keprihatinan terhadap kehidupan masyarakat dan keadaan penegakan hukum di Indonesia saat ini yang dinilai tidak mencerminkan keadilan dan tidak pula berpihak pada masyarakat luas. Hukum progresif tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan sebagai suatu institusi yang bermoral, mengikuti perkembangan zaman, sehingga hukum dapat mengakses berbagai kepentingan manusia. Tujuan utamanya adalah mensejahterakan dan membahagiakan manusia lewat putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, hukum harus dikendalikan dan digerakkan oleh aparat penegak hukum, khususnya hakim sebagai penegak keadilan. Dengan demikian hukum selalu berada pada status law in making. Lewat sistem inilah hukum progresif selalu melakukan introspeksi dan berusaha memperbaiki diri demi penyempurnaan. Mau tidak mau hakim pun harus mengikuti cara pandang hukum progresif yang selalu dinamis dan proaktif untuk melakukan penemuan hukum yang berkembang demi penegakan hukum yang berkeadilan.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan teori peran dan tugas hakim, bahwa dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, hakim dapat menemukan hukum (rechtsvinding) dengan cara menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim sebagai unsur inti dalam sistem kekuasaan kehakiman merupakan representasi dari penegakan keadilan dalam sebuah negara hukum. Tuntutan pidana JPU atau requisitoir kepada terdakwa bukanlah tahapan akhir suatu proses persidangan.
Hakimlah sebagai the last resort yang dapat menggunakan penafsiran hukumnya untuk lebih mempertimbangkan aspek keadilan dan kemanfaatan dari pada aspek kepastian hukumnya. Merupakan kewenangan hakim memutus sesuai fakta persidangan dan keyakinannya dalam memberi pemidanaan melebihi tuntutan JPU bila dirasa adil dan rasional.
Majelis hakim dapat memutus lebih tinggi dari tuntutan JPU, dengan catatan tidak boleh melebihi batas maksimum ancaman pidana yang ditentukan Undang-Undang. Putusan ini lazim disebut ultra petita yang berarti vonis yang dijatuhkan hakim melebihi apa yang didakwakan JPU.
ADVERTISEMENT
Hal ini merujuk pada prinsip hukum dalam dunia kekuasaan kehakiman yaitu dominus litis, yang menuntut hakim untuk secara aktif mencari, menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (living law) sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Jika nanti hakim mengeluarkan putusan yang bernuansa ultra petita, itu merupakan bentuk penemuan hukum (rechtsvinding) yang dilakukan oleh hakim dalam berpikir progresif. Hal itu bukanlah suatu larangan tetapi suatu keniscayaan dan kewajaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan selaras dengan konstitusi dan hukum negara (state law), karena prinsip yang dirujuk adalah menyelengarakan peradilan tidak saja untuk menegakkan hukum tetapi juga menegakkan keadilan.
ADVERTISEMENT
Amanda Dea Lestari, S.H., M.H. (Penulis merupakan Mahasiswi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jambi)