Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Progresivitas Hakim dalam Penegakan Keadilan Novel Baswedan
24 Juni 2020 12:52 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Amanda Dea Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penegakan hukum di Indonesia acap kali dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan hanya mengedepankan kepentingan kelompok tertentu, padahal seharusnya penegakan hukum merupakan ujung tombak terciptanya tatanan hukum yang baik dalam masyarakat. Seperti drama panjang proses hukum penyiraman air keras kasus high profile terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan yang terus menjadi polemik. Tiga tahun berlalu, akhirnya Kepolisian berhasil mengungkap pelaku yang merupakan dua orang anggota aktif “Korps Bhayangkara”. Sorotan tajam ditunjukan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut kedua terdakwa dengan tuntutan 1 tahun pidana penjara. Sangat disayangkan, dengan berat hati penulis menilai hal ini begitu menciderai keadilan dan melukai hati masyarakat.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, keadilan merupakan hak konstitusional warga negara, hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 yang dirumuskan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Sehubungan dengan hal ini, maka keadilan selalu berada pada garis terdepan dalam setiap perjuangan penegakan hak-hak masyarakat. Penegakan keadilan sebagai upaya membangun peradaban bangsa yang tinggi dan bermartabat. Tidak akan maju peradaban dari suatu bangsa apabila tidak didasarkan atas kehidupan yang berkeadilan.
Ada faktor empiris yang tidak dapat diabaikan. Pertama, korban dalam kasus ini merupakan seorang aparat penegak hukum yang bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sehingga seharusnya negara turut memberikan rasa aman bagi para penegak hukum itu sendiri melalui proses penuntutan. Kedua, korban, yakni Novel Baswedan mengalami cacat permanen yaitu kebutaan dan harus menjalani pengobatan menahun sehingga aktivitas beliau dalam melakukan penegakan hukum menjadi terganggu. Ketiga, terdakwa merupakan bagian dari aparat penegakan hukum di Kepolisian yang seharusnya memberi teladan dan melindungi warga negara.
ADVERTISEMENT
Sudah seyogyanya, penuntutan itu benar-benar memperhatikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dakwaan Jaksa seakan berupaya untuk menafikan fakta kejadian yang sebenarnya, padahal esensi dari hukum pidana adalah untuk menggali kebenaran materiil. Tuntutan rendah telah memberikan preseden yang kontraproduktif terhadap perlindungan aparat penegak hukum Indonesia, yang berpotensi melahirkan kekerasan-kekerasan lainnya dan mengancam proses pemberantasan korupsi yang lebih luas. Semestinya, Jaksa sebagai representasi negara dan juga korban dapat melihat kejadian ini secara lebih utuh, tidak hanya mengedepankan keadilan prosedural namun juga keadilan substantif. Keadilan substantif, adalah keadilan yang substansial, hakiki dan dirasakan publik sebagai keadilan yang sesungguhnya yang diakui dan hidup dalam masyarakat.
Bermula dari hal di atas, timbul sebuah ide akan suatu gagasan untuk memilih cara berhukum yang lebih progresif, bertujuan untuk mengatasi keterpurukan hukum di Indonesia secara lebih bermakna (significant). Adalah hukum progresif, yang menyoroti keprihatinan terhadap kehidupan masyarakat dan keadaan penegakan hukum di Indonesia saat ini yang dinilai tidak mencerminkan keadilan dan tidak pula berpihak pada masyarakat luas. Hukum progresif tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan sebagai suatu institusi yang bermoral, mengikuti perkembangan zaman, sehingga hukum dapat mengakses berbagai kepentingan manusia. Tujuan utamanya adalah mensejahterakan dan membahagiakan manusia lewat putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan.
ADVERTISEMENT
Untuk mewujudkan hal tersebut, hukum harus dikendalikan dan digerakkan oleh aparat penegak hukum, khususnya hakim sebagai penegak keadilan. Dengan demikian hukum selalu berada pada status law in making. Lewat sistem inilah hukum progresif selalu melakukan introspeksi dan berusaha memperbaiki diri demi penyempurnaan. Mau tidak mau hakim pun harus mengikuti cara pandang hukum progresif yang selalu dinamis dan proaktif untuk melakukan penemuan hukum yang berkembang demi penegakan hukum yang berkeadilan.
Apakah kemudian dakwaan satu tahun pidana penjara itu adil? Menurut penulis tidak. Dalam penafsiran logis, JPU memberikan dakwaan berlapis kepada pelaku penganiayaan Novel Baswedan. Pertama, JPU memakai dakwaan primer (pokok) yaitu Pasal 355 ayat (1) KUHP. Pasal ini adalah tentang orang yang dari awal merencanakan penganiayaan berat untuk seseorang dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara. Dalam pembuktian di muka sidang, penulis sepakat pasal ini tidak terbukti, karena dari awal kedua terdakwa tidak berencana untuk melakukan penganiayaan berat kepada korban. Kedua, dakwaan subsider atau pengganti, yaitu pasal 353 ayat (2) KUHP, dalam pasal ini apabila perencanaan penganiayaan mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau cacat permanen, ancaman maksimal pidananya adalah 7 tahun penjara. Sementara JPU dalam tuntutannya menyatakan bahwa kedua terdakwa terbukti secara sah telah melakukan penganiayaan sebagaimana dimaksud pasal 353 ayat (2), namun kenyataannya JPU malah mendakwa pelaku 1 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Penafsiran logisnya, pasal 353 ayat (1) KUHP menegaskan jika perencanaan penganiayaan itu adalah penganiayaan ringan, ancaman pidananya maksimal 4 tahun. Dalam kasus ini terdakwa mengakibatkan penganiayaan berat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sehingga pasal 353 ayat (1) KUHP menjadi aturan limitatif dengan dakwaan minimal 4 tahun penjara, maka ancaman pidananya tidak boleh di bawah 4 tahun dan tidak boleh juga melebihi 7 tahun. Di dalam rentan kedua inilah hakim sebagai wakil Tuhan dapat memberikan putusannya, tentu saja dengan pertimbangan-pertimbangan yang dapat mengurangi atau memberatkan pidana penjara terhadap kedua terdakwa tersebut.
Berkaitan dengan teori peran dan tugas hakim, bahwa dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, hakim dapat menemukan hukum (rechtsvinding) dengan cara menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim sebagai unsur inti dalam sistem kekuasaan kehakiman merupakan representasi dari penegakan keadilan dalam sebuah negara hukum. Tuntutan pidana JPU atau requisitoir kepada terdakwa bukanlah tahapan akhir suatu proses persidangan. Hakimlah sebagai the last resort yang dapat menggunakan penafsiran hukumnya untuk lebih mempertimbangkan aspek keadilan dan kemanfaatan dari pada aspek kepastian hukumnya. Merupakan kewenangan hakim memutus sesuai fakta persidangan dan keyakinannya dalam memberi pemidanaan melebihi tuntutan JPU bila dirasa adil dan rasional. Majelis hakim dapat memutus lebih tinggi dari tuntutan JPU, dengan catatan tidak boleh melebihi batas maksimum ancaman pidana yang ditentukan Undang-Undang. Putusan ini lazim disebut ultra petita yang berarti vonis yang dijatuhkan hakim melebihi apa yang didakwakan JPU.
ADVERTISEMENT
Hal ini merujuk pada prinsip hukum dalam dunia kekuasaan kehakiman yaitu dominus litis, yang menuntut hakim untuk secara aktif mencari, menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (living law) sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Jika nanti hakim mengeluarkan putusan yang bernuansa ultra petita, itu merupakan bentuk penemuan hukum (rechtsvinding) yang dilakukan oleh hakim dalam berpikir progresif. Hal itu bukanlah suatu larangan tetapi suatu keniscayaan dan kewajaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan selaras dengan konstitusi dan hukum negara (state law), karena prinsip yang dirujuk adalah menyelenggarakan peradilan tidak saja untuk menegakkan hukum tetapi juga menegakkan keadilan.
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo dapat mengevaluasi secara menyeluruh kinerja aparat Kepolisian dan Kejaksaan, baik dari penyelidikan hingga penuntutan. Terutama terkait dengan praktik pemberian tuntutan minimal yang berpotensi melemahkan perlindungan terhadap aparat penegak hukum dan upaya penegakan hukum secara umum, terutama terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan para pejabat di institusi pemerintah.
Besar harapan penulis terdakwa bukanlah sebatas boneka untuk menutupi kasus ini dari aktor intelektual sebenarnya, meski pada akhirnya beberapa pengamat melihat persidangan ini sangat kental akan nuansa rekayasanya dari kejanggalan-kejanggalan. Percaya proses peradilan sebagai upaya terakhir penegakan hukum juga merupakan hal yang mesti dilakukan. Dan apabila di kemudian hari, putusan hakim kasus Novel Baswedan tidak sesuai dengan harapan, masih ada upaya hukum luar biasa bernama banding dan kasasi. Pada intinya jangan berhenti mengawal, bila niat awal peduli dengan kasus ini.
ADVERTISEMENT
Sebagai warga negara, baiknya lebih bersabar menunggu proses peradilan berakhir. Dengan meyakini bahwa majelis hakim yang mengadili kasus Novel Baswedan akan tetap menjaga marwah kekuasaan kehakiman sebagai tonggak berdirinya keadilan. Penulis optimis putusan hakim nantinya akan berkiblat pada rasa keadilan itu.
Amanda Dea Lestari (Mahasiswi Program Magister Ilmu Hukum, Departemen Hukum Pemerintahan, Universitas Jambi)