Konten dari Pengguna

Pajak Rokok vs Cukai Hasil Tembakau: Analisis Potensi dan Tantangan

Amanda Najma
Mahasiswa di Politeknik Keuangan Negara STAN
4 Februari 2025 9:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Najma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.freepik.com/free-photo/pack-cigarettes-light-background_278598730.htm#fromView=search&page=1&position=7&uuid=51445211-7d27-4bf6-9684-dbf0a536fe48&query=cigerrate
zoom-in-whitePerbesar
https://www.freepik.com/free-photo/pack-cigarettes-light-background_278598730.htm#fromView=search&page=1&position=7&uuid=51445211-7d27-4bf6-9684-dbf0a536fe48&query=cigerrate
ADVERTISEMENT
Kebijakan perpajakan atas produk tembakau menjadi isu strategis di Indonesia. Terjadi dilema antara kesehatan masyarakat dan kepentingan fiskal. Pajak dan cukai memiliki karakteristik, tujuan, dan tantangan yang berbeda. Meskipun demikian, keduanya masih saling terkait untuk mengoptimalkan penerimaan negara sekaligus mengurangi dampak negatif konsumsi rokok.
ADVERTISEMENT
Gambaran Umum Pajak Rokok
Menurut UU No.28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), pajak rokok merupakan pajak yang dipungut oleh daerah. Di sisi lain, cukai merupakan pungutan yang dilakukan secara nasional. Pajak rokok dikelola oleh pemerintah daerah provinsi dengan tarif 10% dari nilai cukai hasil tembakau (rokok). Pajak rokok bertujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai bagian dari otonomi daerah, mengendalikan konsumsi rokok melalui mekanisme harga, dan mendanai program kesehatan dan penegakan hukum melalui alokasi earmarking tax. Pajak rokok mulai diberlakukan dari tahun 2014 yang menjadikan sumber utama pembiayaan atas fasilitas kesehatan serta peredaran rokok illegal.
Perbedaan Pajak Rokok dan Cukai Hasil Tembakau
Meski pajak rokok dan cukai hasil tembakau sama-sama dikenakan pada produk rokok, kedua instrumen tersebut memiliki perbedaan yang signifikan. Pajak rokok didasari oleh UU No.28/2009 mengenai PDRD, sedangkan cukai hasil tembakau berlandaskan UU No.39/2007 mengenai Cukai. Otoritas pemungut pajak rokok adalah pemerintah daerah provinsi, sedangkan cukai hasil tembakau oleh pemerintah pusat (DJBC). Dasar pengenaan pajak rokok adalah nilai cukai yang ditetapkan, sedangkan cukai hasil tembakau berdasarkan harga jual pabrik atau eceran. Tujuan utama dari pengenaan pajak rokok adalah pendanaan kesehatan dan PAD, sedangkan cukai hasil tembakau adalah pengendalian konsumsi dan penerimaan negara. Pajak rokok bersifat proporsional terhadap cukai, sedangkan cukai hasil tembakau bersifat progresif dengan tarif spesifik dan advalorem (dihitung atas dasar presentasi sebuah nilai properti ataupun transaksi).
ADVERTISEMENT
Pajak Rokok sebagai Penguat Local Taxing Power
Pajak rokok berperan sebagai penguat perpajakan lokal dan bukan hanya sebagai alat pemungut pendapatan daerah saja. Pajak rokok memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas fiskal. Daerah memiliki kapasitas fiskal yang baik dapat memperkuat kemandirian keuangannya. Pajak rokok berperan penting karena menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pajak rokok dapat digunakan untuk pembiayaan daerah di berbagai sektor guna pembangunan daerah tersebut. Pajak rokok meningkatkan otonomi daerah dengan mengelola anggaran mereka sendiri. Alokasi dana dari pajak daerah dapat disesuaikan dengan masing-masing kebutuhan daerah. Pemerintah daerah mengoptimalkan isu-isu yang sedang menjadi perhatian khusus secara efektif. Pajak rokok dapat mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, tidak hanya memberikan pendapatan saja. Menurut earmarking tax, minimal 50% dari penerimaan pajak rokok harus dialokasikan untuk pelayanan kesehatan dan penegakan hukum. Hal tersebut menjadi faktor pendorong pemerintah daerah untuk berinvestasi dalam infrastruktur kesehatan dan program pengurangan konsumsi rokok.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan Earmarking Pajak Rokok
Berdasarkan Pasal 31 UU No.28/2009 mengenai PDRD, minimal dari 50% penerimaan pajak rokok dialokasikan untuk bidang kesehatan dan penegakan hukum. Pembangunan dan/atau pemeliharaan fasilitas layanan kesehatan dapat di kembangkan di bidang kesehatan. Selain itu, perlu adanya penyediaan smoking area dan sosialisasi bahaya merokok untuk memperkecil konsumsi rokok di kalangan masyarakat. Di sisi lain, penegakan hukum perlu diperketat untuk memberantas peredaran rokok illegal yang kerap terjadi. Pemerintah daerah perlu meningkatkan pengawasan penerapan kawasan tanpa rokok, sehingga dapat membatasi daerah/ruang yang terkontaminasi asap rokok. Hal ini dapat dibuktikan dengan Provinsi Jawa Tengah yang mengalokasikan pajak rokok untuk meningkatkan kapasitas rumah sakit dan operasi pasar terhadap rokok tanpa pita cukai.
ADVERTISEMENT
Tantangan Penerapan Pajak Rokok
Pajak rokok memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan pendapatan daerah serta mendukung program kesehatan. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya terdapat tantangan yang harus dihadapi. Pajak rokok kerap kali mengalami kurang koordinasi antara pemerintah pusat (DJBC) dengan pemerintah daerah provinsi setempat. Dalam pelaksanaannya, pajak rokok dipungut oleh pemerintah daerah provinsi, namun masih sering melibatkan DJBC. Hal tersebut menjadi bias dalam berbagai hal, seperti penegakan hukum, pengawasan, dan menghambat alokasi dana. Rokok illegal yang beredar tidak dikenakan pajak karena tidak memiliki pita cukai. Rokok illegal dapat mengurangi pendapatan yang diterima oleh pemerintah daerah. Tingkat kepatuhan pajak mesyarakat cenderung rendah. Perokok aktif sering kali tidak menyadari pentingnya kontribusi pajak terhadap pembangunan daerah dan kesehatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pajak rokok memiliki peran strategis dalam penguatan local taxing power. Akan tetapi, perlu pengelolaan yang lebih baik demi peningkatan pendapatan serta kualitas pelayanan. Potensi maksimal dari pajak rokok dapat tercapai dengan adanya sinergi anatara pemerintah pusat (DJBC) dan pemerintah daerah provinsi. Pajak rokok diharapkan dapat memberikan pengawasan terhadap konsumsi rokok, sehingga masyarakat dapat mengurangi konsumsinya
Referensi:
Ispriyarso, B. (2018). FUNGSI REGULER PAJAK ROKOK DI BIDANG KESEHATAN MASYARAKAT DAN PENEGAKAN HUKUM. Masalah-Masalah Hukum, 47(3), 228. https://doi.org/10.14710/mmh.47.3.2018.228-240Wulan, A., & Hidayati, M. (2021). EFEKTIVITAS KEBIJAKAN EARMARKING TAX ATAS PAJAK ROKOK DALAM UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT DI DKI JAKARTA TAHUN 2018 -2020. Jurnal Ilmu Administrasi Publik, 1(3), 243–254.