Konten dari Pengguna

Fair Trade sebagai Model Alternatif Neoliberal dalam Perdagangan Kopi Dunia

Amanda Puri Nuris Sya'ban
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
4 Desember 2023 16:08 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Puri Nuris Sya'ban tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi biji kopip Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi biji kopip Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Berawal dari kritik terhadap perdagangan bebas yang mendorong praktik eksploitasi buruh dan petani di negara berkembang, gerakan fair trade muncul sebagai alternatif untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Fair trade atau perdagangan adil didefinisikan sebagai kemitraan perdagangan yang didasarkan atas dialog, transparansi, dan rasa hormat untuk mewujudkan kesetaraan dalam perdagangan internasional dan berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan melalui kondisi perdagangan yang lebih baik dan jaminan hak-hak produsen maupun pekerja, terutama di negara-negara Selatan (EFTA, 2001).
Secara umum, gerakan fair trade bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan global yang lebih adil dan merata dengan memprioritaskan kesejahteraan manusia dan lingkungan di atas profit.
Hal tersebut diwujudkan melalui upaya mendorong pembangunan berkelanjutan, menjamin hak-hak produsen dan pekerja, serta memberikan kondisi perdagangan yang lebih baik pada produsen dan pekerja yang termarginalisasi (Fairtrade International, n.d.). Melalui sistem perdagangan ini, produsen hingga konsumen dapat mengetahui transparansi harga, profit, hingga penggunaan profit tersebut.
ADVERTISEMENT

Perkembangan kopi fair trade

Ilustrasi kopi. Foto: Noiz Stocker/shutterstock
Saat ini, gerakan fair trade telah berkembang di berbagai negara. Sejak menjadi sebuah “gerakan” di tahun 1960-an dan 1970-an, fair trade tumbuh secara signifikan meskipun masih relatif kecil dalam hal perdagangan (Moore, 2004). Fair trade tersebut mencakup dua sektor perdagangan utama, yaitu produk agrikultur dan produk tekstil dan bahan kerajinan.
Banyak produk bahan makanan fair trade yang berasal dari negara-negara berkembang diproses dan dikemas di Eropa (Redfern & Snedker, 2002). Di antara produk-produk tersebut, salah satu komoditas yang menempati porsi besar dalam fair trade ini yaitu kopi. Selama periode 2022/2023, impor kopi global mencapai total 136 juta karung 60 kilogram (Statista, 2023).
Data dari Fairtrade Foundation menunjukkan bahwa pada tahun 2020, petani kopi yang tersertifikasi fair trade telah menghasilkan 889.500 ton kopi. Sebagian besar konsumsi kopi berada di negara-negara Utara, sementara produksi kopi terkonsentrasi di negara-negara berkembang yang menyumbang sebagian besar dari pendapatan ekspor mereka (FAO, 2023).
ADVERTISEMENT
Di samping pertumbuhan positif yang dihasilkan, fair trade menerima banyak kritik terkait keefektifan serta dampak yang diterima oleh produsen atau petani di negara berkembang. Salah satunya yaitu bahwa label fair trade dinilai telah digunakan sebagai alat pemasaran untuk menarik konsumen di negara maju agar membayar harga yang lebih tinggi, sedangkan tidak memberikan banyak keuntungan bagi produsen di negara-negara berkembang.
Melalui tulisan ini, penulis bertujuan untuk mendiskusikan perspektif serta kritik yang muncul dalam perdagangan kopi fair trade ini sebagai model alternatif terhadap paradigma neoliberal.

Fair trade sebagai model alternatif terhadap paradigma neoliberal

10 Prinsip Fair Trade (Sumber: WFTO)
Perspektif fair trade sebagai “alternatif” neoliberal berfokus pada penolakan terhadap kebijakan globalisasi neoliberal dan bertujuan untuk mereformasi pasar agar melibatkan kelompok marjinal di Selatan untuk mendapatkan keuntungan yang diharapkan (Fridell, 2006).
ADVERTISEMENT
Neoliberalisme sendiri didefinisikan sebagai perspektif yang menekankan pada deregulasi pasar, privatisasi perusahaan pemerintah, intervensi pemerintah yang minimal, dan terbukanya pasar internasional (Balaam & Dillman, 2018). Perkembangan perdagangan bebas dalam pasar internasional yang terbuka menimbulkan berbagai dampak negatif dan eksploitatif terhadap sebagian pihak.
Sejak inisiasi awal pembentukannya, fair trade ditujukan untuk membantu pekerja dan petani kecil yang rentan dan termarjinalisasi. Produksi kopi di negara-negara berkembang masih didominasi oleh pertanian berskala kecil atau rumah tangga, sehingga rentan terhadap krisis dan ancaman eksternal serta mendapatkan keuntungan yang sedikit apabila berkompetisi dengan produsen besar.
Dari permasalahan tersebut, fair trade menciptakan insentif bagi petani kecil untuk mengelola operasi dan pemasaran mereka sehingga menghilangkan perantara dan memungkinkan mereka untuk mendapatkan harga di atas harga pasar (Linton et al., 2004). Dengan demikian, perspektif alternatif ini menggambarkan fair trade sebagai sebuah mekanisme yang memungkinkan petani dan pekerja untuk mengatasi hambatan dalam berpartisipasi aktif di perekonomian global (Fridell, 2006).
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan gerakan fair trade juga menandai signifikansi peran aktor non-negara atau disebut sebagai Non-governmental organization (NGO) dan Social Movement Organization (SMO). Selain itu, terdapat juga organisasi pelabelan fair trade dibentuk dalam asosiasi FINE yang terdiri atas empat jaringan organisasi, yaitu FLO, WFTO, NEWS, dan EFTA.
Organisasi-organisasi tersebut berusaha untuk mewujudkan tujuan fair trade untuk mendorong sektor-sektor kecil ke dalam perdagangan internasional. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Clewes (2020) bahwa gerakan fair trade merupakan contoh utama dari keberhasilan gerakan civil society dan harus dianggap sebagai kerangka alternatif yang dapat dibandingkan dengan sistem perdagangan bebas saat ini sebagai dasar paradigma neoliberal.
Melalui koalisi aktivis, pedagang, retailer, organisasi, NGOs, dan konsumen di berbagai belahan dunia, sistem fair trade menantang kesenjangan pasar global kolonial dan mengubah hubungan eksploitatif yang terjadi menjadi pemberdayaan (Raynolds et al., 2007).
ADVERTISEMENT

Kritik terhadap fair trade

Hari Kopi Nasional. Foto: PatrikV/Shutterstock
Fair trade seringkali diasosiasikan dengan ethical consumerism. Koos (2021) menyatakan bahwa strategi pemasaran yang dilakukan oleh LSM di bidang fair trade ini memainkan peran penting dalam menciptakan pasar bagi ethical consumerism.
Masyarakat di negara-negara Utara yang menjadi konsumen utama fair trade mendapatkan edukasi terhadap dampak negatif perdagangan bebas melalui produk alternatif yang diperdagangkan secara adil sehingga mendorong ethical consumerism.
Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa alasan utama bagi konsumen untuk membeli kopi fair trade adalah untuk meningkatkan upah dan kondisi para pekerja dan petani (Darian et al., 2015). Namun demikian, kesediaan konsumen untuk membeli kopi fair trade dengan harga yang lebih mahal ini rentan dimanfaatkan oleh para retailer untuk meraih keuntungan lebih.
ADVERTISEMENT
Dalam proses pemberian label fair trade, nilai-nilai normatif menjadi termarketisasi yang kemudian mengarah pada moralisasi pasar (Koos, 2021). Lebih lanjut, marketisasi berdampak kuat terhadap konsumsi individu terhadap produk fair trade.
Hal ini berlangsung melalui upaya lembaga serta organisasi-organisasi yang berupaya membingkai nilai-nilai tersebut melalui berbagai kanal komunikasi. Organisasi tersebut menjual nilai sosial, yaitu bahwa membeli kopi bersertifikat fair trade akan mengurangi kesenjangan sosial yang dihadapi oleh petani di negara-negara Dunia Ketiga (Linton et al., 2004).
Akan tetapi, hal tersebut disalahgunakan oleh perusahaan besar yang hanya membeli sebagian kecil dari biji kopi fair trade dan menggunakannya sebagai skema pemasaran untuk menarik konsumen (Fridell, 2006; Locke et al., 2010). Kontroversi tersebut mengungkapkan bahwa tuntutan pasar kapitalis tetap menjadi tantangan bagi perkembangan fair trade di masa depan.
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dipungkiri bahwa marketisasi telah memungkinkan gerakan fair trade untuk berkembang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Linton et al. (2004), fair trade telah meningkatkan kesadaran akan perlunya keberlanjutan di sektor kopi dan meningkatkan kesadaran sosial konsumen.
Meskipun gerakan fair trade ini semakin ekspansif, namun angka tersebut hanya sebagian kecil dari total perdagangan kopi global. Fair trade juga tidak dapat dianggap sebagai solusi dari permasalahan krisis kopi global dan ketergantungan negara miskin terhadap beberapa komoditas ekspor, melainkan gerakan ini hanya menjadi salah satu cara untuk membantu meringankan kesulitan yang dihadapi oleh petani-petani kopi kecil (Linton et al., 2004).
Namun demikian, gerakan fair trade yang diwujudkan oleh peran berbagai organisasi non-pemerintah dan civil society ini dapat menawarkan perubahan terhadap sistem perdagangan bebas melalui upaya mainstreaming kepada konsumen secara etis.
ADVERTISEMENT