Konten dari Pengguna

Memahami Rukun Akad dalam Transaksi: Kunci Sahnya Perjanjian dalam Hukum Islam

Amanda Safitri
Saya adalah mahasiswa semester 3,Program studi ekonomi syariah. Universitas pamulang
14 Oktober 2024 14:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Safitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : https://images.pexels.com/photos/27559503/pexels-photo-27559503/free-photo-of-a-man-standing-in-front-of-a-fish-market.jpeg auto=compress&cs=tinysrgb&w=1260&h=750&dpr=1
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : https://images.pexels.com/photos/27559503/pexels-photo-27559503/free-photo-of-a-man-standing-in-front-of-a-fish-market.jpeg auto=compress&cs=tinysrgb&w=1260&h=750&dpr=1
ADVERTISEMENT
Dalam Islam, akad atau perjanjian memiliki kedudukan penting dalam segala bentuk transaksi, baik jual beli, sewa-menyewa, maupun akad lainnya. Namun, tidak semua akad dianggap sah jika tidak memenuhi syarat-syarat tertentu. Berikut ini penjelasan mengenai rukun akad menurut pandangan mayoritas ulama (jumhur ulama) dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk transaksi digital.
ADVERTISEMENT
1. Para Pihak yang Berakad (Al-‘Aqidain)
Pihak-pihak yang melakukan transaksi harus memiliki kecakapan hukum, yakni baligh (dewasa), mumayyiz (mampu membedakan yang baik dan buruk), serta berakal sehat. Misalnya, anak-anak atau orang dengan gangguan mental tidak memiliki kewenangan untuk melakukan transaksi karena dianggap belum mampu bertanggung jawab penuh. Hal ini menjaga keadilan dalam akad, sehingga semua pihak terlibat dalam kondisi sadar dan tidak terpaksa.
Contoh Kasus: A dan B sepakat untuk melakukan jual beli mobil. A sebagai penjual sudah dewasa dan berakal, begitu juga B sebagai pembeli. Kedua belah pihak memiliki kemampuan untuk membuat perjanjian yang sah.
2. Objek Akad (Al-Ma’qud ‘Alaih)
Objek dari transaksi harus jelas, ada, dan boleh ditransaksikan menurut syariat Islam. Objek tidak boleh mengandung unsur haram seperti alkohol atau barang curian. Selain itu, barang harus dapat diserahterimakan dan diketahui detailnya oleh kedua belah pihak.
ADVERTISEMENT
Contoh: A menjual mobil miliknya kepada B dengan harga Rp 100 juta. Mobil tersebut dimiliki penuh oleh A dan bisa diserahkan kepada B sesuai kesepakatan. Dalam hal ini, objek akad jelas dan sah.
3. Tujuan Pokok Akad (Maudhu’ al-Aqd)
Tujuan dari akad haruslah sesuai dengan hukum Islam dan tidak bertentangan dengan syariah. Jika tujuan akad bertentangan dengan syariat, seperti menjual barang haram atau melakukan transaksi riba, maka akad tersebut menjadi tidak sah.
Contoh: Tujuan jual beli mobil antara A dan B adalah untuk tukar menukar harta yang halal. Ini merupakan tujuan yang sah menurut Islam.
4. Kesepakatan (Shighat al-Aqd)
Ijab dan qabul merupakan pernyataan saling setuju dari kedua belah pihak yang berakad. Ijab adalah pernyataan dari pihak penjual atau pemberi jasa, sementara qabul adalah penerimaan dari pihak pembeli. Kedua pihak harus berada dalam satu majelis (tempat) agar tidak ada keraguan atau salah paham. Dalam era digital, satu majelis bisa dipenuhi secara virtual selama kedua belah pihak berkomunikasi secara langsung dan sinkron.
ADVERTISEMENT
Contoh: A mengatakan, "Saya jual mobil ini kepada B seharga Rp 100 juta," dan B menjawab, "Saya beli mobil itu." Kesepakatan ini sah dan mengikat kedua belah pihak.
Mengapa Harus di Satu Majelis?
Ijab dan qabul dalam satu majelis (tempat atau waktu yang sama) menghindari keraguan dan memastikan tidak ada perubahan pikiran atau ketidakjelasan dalam niat kedua pihak. Majelis ini tidak harus secara fisik, terutama dalam konteks transaksi elektronik, asalkan dilakukan secara bersamaan melalui teknologi komunikasi yang memungkinkan pihak-pihak berkomunikasi secara langsung.
Di era digital, transaksi seperti jual beli online sering dilakukan. Islam tetap membolehkan transaksi elektronik selama memenuhi syarat-syarat akad. Beberapa regulasi yang telah diatur mencakup fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) terkait uang elektronik, yang dapat dilakukan dengan akad wadiah (titipan) dan akad qardh (pinjaman).
ADVERTISEMENT
Contoh Akad dalam Transaksi Elektronik:
1. Murabahah
Misalnya pembelian rumah atau kendaraan secara cicilan, di mana bank menyatakan harga pokok barang dan margin keuntungan yang disepakati oleh pembeli.
2. Salam
Pembelian barang yang belum ada, seperti produk pertanian, di mana pembeli membayar di muka dan barang dikirim kemudian.
3. Ijarah
Sewa properti atau jasa, seperti menyewa mobil, di mana hak guna diberikan tanpa perpindahan kepemilikan.
Untuk memastikan transaksi digital sesuai dengan syariah, diperlukan regulasi dan fatwa yang jelas. Contohnya, fatwa DSN-MUI No. 116 tahun 2017 tentang uang elektronik syariah menetapkan akad-akad yang boleh digunakan dalam transaksi elektronik, seperti akad wadiah (titipan) dan akad qardh (pinjaman).
Kesimpulan
Rukun akad merupakan fondasi penting dalam setiap transaksi yang sah menurut hukum Islam. Selama memenuhi syarat para pihak, objek, tujuan, dan kesepakatan yang jelas, akad tersebut akan sah dan mengikat. Bahkan dalam transaksi elektronik, syarat-syarat ini tetap bisa dipenuhi dengan bantuan teknologi, asalkan diatur dengan baik melalui regulasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah.
ADVERTISEMENT
Dengan memahami rukun akad ini, kita bisa memastikan bahwa transaksi yang dilakukan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga sesuai dengan ajaran agama.