Belajar dari COVID-19 (1)

Amanda Setiorini W.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, Mahasiswa S3 Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
19 Juni 2020 14:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Setiorini W. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi positif terkena virus corona. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi positif terkena virus corona. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
COVID-19 dan dampaknya selama lebih dari 3 bulan ini mengajarkan banyak sekali hal kepada manusia. Sayangnya, tidak semua orang bisa belajar dari pengalaman tidak menyenangkan seperti ini.
ADVERTISEMENT
Yang sekarang banyak kita dengar adalah orang-orang yang menggerutu dan marah-marah karena ekonomi sulit, tidak bisa keluar, dan sebagainya. Padahal, dalam hal apa pun, selalu ada sisi positif dan negatifnya.
Pertama, dengan adanya COVID-19 kita belajar untuk hidup bersih. Cuci tangan menjadi lebih rajin, apalagi orang Indonesia di beberapa tempat masih sangat suka makan dengan tangan--maksudnya tanpa sendok-garpu. Selain itu, jika terpaksa keluar rumah, begitu kembali langsung mandi dan berganti pakaian. Kita juga jadi rajin berjemur agar virus tidak dapat hidup lama. Untungnya kita tinggal di daerah tropis yang berkelimpahan sinar matahari. Bayangkan negara-negara empat musim, apalagi seperti Australia yang akan memasuki musim dingin. Orang di sana harus ekstra bersih karena tanpa cukup matahari, virus tidak mudah mati.
ADVERTISEMENT
Jadi, menjaga kebersihan adalah sebuah keharusan dalam kehidupan baru kita dengan COVID-19. Jangan malas mandi dan mencuci rambut. Kalau setiap orang bisa menjaga kebersihan dirinya, tidak sulit kok menjaga kebersihan untuk komunitas yang lebih besar.
Pembelajaran lain adalah solidaritas sosial kita. Akibat dirumahkan, banyak orang--terutama pekerja harian--yang kesulitan bekerja. Apalagi dengan pembatasan di sana-sini, sopir angkot pun menurun drastis penghasilan hariannya. Banyak yang kemudian terpaksa menggelandang karena tidak mampu menyewa kos. Juga driver ojek online yang kehilangan pelanggannya. Belum lagi krisis masker, hand sanitizer, dan APD untuk petugas medis.
Pada saat itulah banyak bantuan datang. Mulai dari makanan, pakaian layak pakai, susu balita, dan sebagainya. Bahkan bagi pemakai ojek online seperti saya jadi lebih rajin memberikan tips atau memesankan makanan yang sama dengan pesanan kita untuk driver-nya. Seorang rekan bercerita bagaimana komunitasnya menggalang bantuan untuk membuat faceshield bagi tenaga kesehatan. Yang lain lagi bersama teman-teman sekomplek memasak untuk berbuka puasa tukang ojek. Beberapa tayangan di media sosial menangkap kepedulian masyarakat dengan menggantungkan bahan makanan di tempat umum agar bisa diambil oleh mereka yang membutuhkan. Ternyata ada sangat banyak kebaikan yang masih bisa dilakukan.
ADVERTISEMENT
Tentang Bumi dan Ibadah Kita
Pembelajaran ketiga adalah tentang lingkungan hidup. Akibat larangan berkumpul, mal dan pasar ditutup. Kegiatan terhenti di mana-mana. Kemacetan pun berkurang. Kita jadi belajar bahwa tanpa polusi kendaraan kita, langit jadi lebih biru. Di beberapa tempat, hewan-hewan yang tadinya tak terlihat mulai bermunculan: katak pohon, aneka kupu-kupu dan burung, hingga rama-rama. Kualitas udara jadi lebih baik bagi makhluk hidup manapun, termasuk manusia.
Banyak post di media sosial yang mengisahkan tentang betapa indahnya alam. tetapi mungkin orang yang menyampaikan juga tidak sadar bahwa dirinya--dengan mengurangi aktivitas--membantu kembalinya keseimbangan lingkungan. Pertanyaan berikutnya: apakah kita mau melanjutkan usaha ini? Mengurangi polusi, memberi kesempatan kepada alam untuk pulih? Saat kita menepi, alam punya kesempatan untuk menyembuhkan kerusakan.
ADVERTISEMENT
Usia manusia hanya seujung kecil dibandingkan usia alam semesta. Saya percaya bahwa bumi kita, alam ini, akan selalu punya cara untuk menyembuhkan dirinya sendiri, termasuk dari populasi manusia yang lebih dari tujuh miliar ini. Nah, pilihan manusia adalah hidup bersahabat dengan alam atau menunggu dimusnahkan alam. Karena, secanggih apa pun teknologi yang dimiliki manusia, alam punya aturannya sendiri yang bisa kita pelajari tetapi tidak bisa kita kuasai.
Pembelajaran keempat adalah soal ibadah. Kegiatan berkumpul yang dahulu dilakukan di masjid-masjid pun, sekarang terhenti. Di beberapa daerah yang tadinya suara pengajian bertabrakan dari berbagai masjid, kini terasa ada keheningan yang nyaman. Orang beribadah di rumah. Tuhan ternyata ada di dalam hati, bukan dikoar-koarkan melalui pengeras suara masjid. Justru dalam keheningan inilah kita merasa semakin dekat dan semakin tidak berartinya kita di hadapan-Nya.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba saya teringat waktu beribadah umrah 5 tahun lalu. Di Mekkah yang hingar bingar dan banyak orang, saya justru tidak merasa nyaman untuk ibadah. Tetapi di Madinah, rasanya betah berlama-lama dalam kesejukan Masjid Nabawi. Saya selalu percaya, urusan ibadah hanya orang itu sendiri dan Tuhan yang tahu.
Learn From Home (LFH)
Pembelajaran lain yang tidak kalah serunya adalah Work From Home (WFH) dan Learn From Home (LFH), yaitu belajar dan bekerja dari rumah. Kondisi ini awalnya ditunjuk sebagai biang kerok mundurnya perekonomian kita. Kita pun belajar bahwa pergerakan kita sehari-hari adalah pemutar roda ekonomi yang sangat penting. Tapi, tentunya harus dicari jalan keluar. Jika satu kelas di setiap sekolah berisi 40-an siswa, seberapa besar potensi lonjakan penyebaran COVID-19? Maka LFH, untuk sementara, masih sangat penting.
ADVERTISEMENT
LFH, khususnya, sempat menghebohkan para orang tua yang biasa “menitipkan” anak-anaknya di sekolah. Tiba-tiba mereka sekarang harus mengajari anak-anaknya di rumah. Lalu beberapa pun berang, sudah mahal membayar uang sekolah, kok masih mereka juga yang harus mengajari anak-anak.
Setidaknya COVID-19 mengajari hal lain: anak tetaplah tanggung jawab orang tua. Mengapa berani punya anak kalau tidak berani menjadi pendidiknya? Yang harus dipertanyakan adalah bagaimana menghadapi materi yang tidak dipahami orang tua. Misalnya, jika tidak bisa Fisika, orang tua wajib mencari cara lain agar bisa mengajari anaknya Fisika. Entah dengan belajar sendiri, atau konsultasi kepada guru, atau dengan cara lain. Setiap orang pasti akan menemukan cara yang paling tepat untuk kondisinya.
Bahkan untuk pendidikan tinggi, pembelajaran jarak jauh juga masih asing. Satu-satunya universitas yang cepat tanggap saat menghadapi COVID-19 dan LFH-nya adalah Universitas Terbuka. Bahkan saat ini, mereka rajin menggelar berbagai seminar daring untuk mengajarkan kampus-kampus lain mengelola pembelajaran jarak jauh.
ADVERTISEMENT
Sebagai lulusan Universitas Terbuka, mau tidak mau saya merasa beruntung. Sebagaimana saya dulu belajar mandiri, sekarang pun saya mengajar secara mandiri. Tepat pada hari dimulainya LFH, saya sudah siap dengan serangkaian aturan baru untuk belajar jarak jauh. Bagi saya, mengajar online atau offline, tidak ada bedanya: pengajar dan siswa harus sama-sama mandiri.
Tantangannya bagi saya bukan pada proses belajar-mengajar itu sendiri, tetapi pada koneksi internet yang tidak merata bagi semua orang. Hal ini bukan saja urusan kualitas bandwith tetapi urusan ekonomi dalam hal pembelian paket. Saya agak heran mengapa provider belum menyasar mahasiswa untuk paket internet belajar di rumah. Padahal, mereka inilah yang sudah banyak menggunakan ponsel cerdas untuk berkegiatan sehari-hari. Mestinya tidak jauh berbeda dengan paket internet untuk bermain game daring, seharusnya pelajar dan mahasiswa bisa mendapatkan paket internet untuk belajar jarak jauh.
ADVERTISEMENT