COVID-19 dan Manajemen Perubahan (1)

Amanda Setiorini W.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, Mahasiswa S3 Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
29 Mei 2020 18:35 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Setiorini W. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi positif terkena virus corona. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi positif terkena virus corona. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lebaran baru saja berlalu tanpa banyak kehebohan seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi, sejauh mana kita memahami COVID-19 sebagai kesempatan untuk berubah?
ADVERTISEMENT
Sejak 16 Maret 2020, kita “terjebak” di rumah masing-masing. Akhirnya COVID-19 yang sudah menjadi wabah di berbagai belahan dunia itu mampir juga di Indonesia. Kita yang terbiasa bebas beraktivitas, kini terkurung di rumah, juga oleh berbagai rutinitas baru seperti keharusan mencuci tangan lebih sering dan mengenakan masker jika berada di tempat umum. Belum lagi urusan menjaga jarak fisik yang menyulitkan berbagai aktivitas.
Tentunya ada banyak cara yang beragam pendapat. Juga berbagai silang teori dan ragam dampaknya bagi kita. Urusan lockdown saja menjadi demikian berlarut-larut. Mudik dan pulang kampung menjadi istilah yang dipermasalahkan di berbagai media sosial. Sebenarnya, bagaimana menyikapi COVID-19?
Apa itu COVID-19?
Terlepas dari asal usul dan rantai virusnya, COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dan menular. Penularannya terjadi melalui cairan di alat pernapasan kita. Itu sebabnya sejak awal kita diminta menutup mulut dan hidung ketika bersin dan batuk, agar cairan yang mungkin keluar bersama bersin dan batuk tidak mengenai orang lain. Dengan demikian, virus pun--jika ada pada orang tersebut--tidak berpindah tempat. Sejauh ini tidak ada informasi penularan lewat cairan tubuh yang lain, termasuk keringat.
ADVERTISEMENT
Demikian pula, kita diminta untuk rajin cuci tangan, supaya virus yang menempel--jika ada--di tangan, segera hilang. Mengapa tangan dan bukan anggota tubuh lainnya? Ya karena tangan yang paling sering kita gunakan untuk menyentuh wajah--dan dengan demikian berpotensi membawa virus ke jalan masuknya: hidung dan mulut.
Dengan alasan yang sama, kita diminta untuk menjaga jarak. Minimal satu meter dengan orang lain. Lebih jauh, lebih bagus. Ukuran ini tentu dilihat dari sejauh mana cairan dari mulut dan hidung dapat terlontar ketika seseorang bersin atau batuk.
Seperti virus lainnya, COVID-19 membutuhkan penanganan berupa vaksin. Bagi yang telah memiliki anak, tentu ingat ada beragam vaksin yang perlu diberikan kepada si kecil untuk menjaga daya tahan tubuhnya. Demikian pula dengan flu yang disebabkan oleh virus. Sayangnya, hingga saat ini belum ada vaksin yang ditemukan, karena penyakit ini juga baru muncul pada sekitar akhir 2019.
ADVERTISEMENT
Masalah Protokol Kesehatan
Karena itu, sementara menunggu vaksin tersedia, yang dapat dilakukan adalah mempertahankan protokol kesehatan dan mengobati yang sakit. Disinilah muncul masalah. Pertama, mengenai protokol kesehatan. Memakai masker dan mencuci tangan tampaknya sekarang sudah dapat dilakukan oleh banyak orang. Meskipun, bagi beberapa orang--termasuk saya--menggunakan masker membuat saya sulit bernapas. Mungkin sugesti, tetapi demikianlah adanya. Sayangnya, itu tidak menjadi alasan. Jadi, saya harus membiasakan diri.
Untuk protokol cuci tangan, berarti perlu disediakan fasilitas untuk cuci tangan di banyak tempat. Dan, harus dirawat supaya tempat cuci tangan tersebut tidak berubah menjadi sumber penyakit lain. Misalnya, pembuangan disalurkan dengan benar sehingga tidak menggenang. Jadi, jangan hanya menyediakan fasilitas cuci tangan saja tanpa memikirkan bagaimana perawatan fasilitas tersebut. Orang Indonesia tidak pernah kesulitan memunculkan inovasi dan ide yang seru, tetapi masih sering terbengkalai urusan perawatannya.
ADVERTISEMENT
Dalam protokol kesehatan, yang sulit adalah menjaga jarak--untuk mudahnya kita sepakati saja 1 meter. Hal ini sulit karena kita adalah negara dengan populasi besar dan kepadatan tinggi, terutama di kota besar. Coba bayangkan, di daerah mana di Jakarta yang tidak kita temui orang dalam jumlah banyak? Teman saya yang tinggal di Perth selama lebih dari 20 tahun terakhir ini menyatakan soal menjaga jarak tidak terlalu sulit di sana, karena memang penduduknya tak banyak.
Next:
COVID-19 dan Manajemen Perubahan (2): Masalah Layanan Kesehatan https://s.id/iCmrP