Dear Parents, We Need to Help Them Grow...

Amanda Setiorini W.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, Mahasiswa S3 Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
21 Agustus 2020 16:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Setiorini W. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sampai terakhir kali pergi ke luar negeri, Mama masih bertanya, "Jalan-jalannya ditemenin (suami), kan?" Jawaban saya akan selalu sama, "Ya enggak, lah. Dia kan ada conference. Jalan-jalannya sendiri aja, kan ada Google maps..." Dan, Mama masih selalu terheran-heran dengan jawaban saya. Mama sepertinya tidak yakin saya bisa jalan-jalan sendiri di kota orang, bahkan di negara orang.
ADVERTISEMENT
Ketika umroh dan kami terpisah di Jeddah—Mama dan adik perempuan saya salat di Masjid Terapung, saya karena sedang haid memilih untuk jalan-jalan di sekitarnya—selesai salat Mama langsung ingin mencari saya. Adik saya tanya, "Memangnya kenapa?" Mama bilang, "Takut mbakmu digangguin orang (Arab), kan dia nggak pakai gamis.." Maksudnya, saya tidak pakai baju yang longgar karena saat itu sudah mau pulang dan saya kehabisan gamis. Saya memang hanya memakai kaos lengan panjang dan itu pun sudah disebut-sebut "haram" oleh anak kecil penjual suvenir di sekitar masjid. Mendengar jawaban Mama, adik saya malah tertawa, katanya, “Mbak itu sudah tua—bukan sudah gede lagi, sudah jalan-jalan kemana-mana sendiri, tetap aja Mama ngeliatnya seperti anak kecil...”
ADVERTISEMENT
Jadi, ketika saya memberi tugas pergi ke luar negeri kepada mahasiswa, saya tahu tantangan terberat pastilah datang dari orangtua. Entah dengan alasan biaya maupun keamanan. Siapa pula yang mau anaknya tersasar di luar negeri? Jadi, tugas ini memang banyak sekali tantangannya—dan dengan demikian, akan banyak juga hal yang bisa dipelajari mahasiwa. Dari sudut keilmuan, jelas. Mereka menerapkan ilmu yang didapat dari mata kuliah Manajemen Strategis. Buat apa belajar analisis SWOT, belajar berbagai matriks strategis, kalau tidak bisa diterapkan untuk membawa mereka pergi ke luar negeri dalam tugas saya ini?
Hal lain yang dipelajari? Banyak sekali. Dari sisi pengembangan diri, mereka mengembangkan keberanian untuk merancang segala sesuatu dan mengambil keputusan, keberanian untuk mengalahkan kecemasan, keberanian untuk menjajal potensi diri agar dapat menghasilkan uang—salah satu mahasiswa saya menemukan talentanya sebagai model, dan lain-lain yang sebelumnya bahkan tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Seperti saya tuliskan di pengantar buku: saya yakin dengan kemampuan mereka, masalahnya adalah mereka tidak yakin dengan diri mereka sendiri. Sepulang dari tugas ini masing-masing jadi lebih percaya diri. Hebat, kan?
ADVERTISEMENT
Dalam hal hubungan dengan orang lain—keluarga, teman, pacar—mereka juga “terpaksa” menggali dan menemukan hal-hal baru. Saya tidak melibatkan diri dalam mengurus perizinan mereka kepada orangtua, karena itulah bagian dari perkembangan dalam hubungan mereka. Ada yang orangtuanya tidak percaya, dan melarang mati-matian. Ada yang orangtuanya mengizinkan, tetapi pacarnya keberatan. Ada yang menganggap harus ditemani kakak karena kakaklah yang akan bertanggung jawab. Dan masih banyak cerita lain. Adalah tugas mereka masing-masing—mahasiswa saya dan orangtuanya atau pacarnya atau siapapun—untuk menyelesaikan ketidakpercayaan dan masalah yang ada dalam relasi mereka.
Pelajaran lainnya adalah tentang tanggung jawab, bahwa mereka bertanggung jawab atas apapun yang mereka putuskan. Misalnya, di kelas lain ada yang bertanya, “Apakah saya boleh pergi dengan pacar?” yang langsung disambut dengan “wooooo” oleh teman-temannya. Saya menjawab, “Tugasnya adalah pergi sendiri. Tetapi kalau kamu mau pergi dengan pacar, toh saya tidak bisa melarang. Kalaupun saya larang, nantinya bisa pergi sembunyi-sembunyi. Jadi, saya serahkan kepada kalian, tetapi camkan satu hal saja: kalian bertanggung jawab terhadap setiap keputusan yang kalian ambil. Jangan coba-coba menyalahkan orang lain atas dampak dari keputusan kalian.” Saya biarkan mereka berpikir—dan kemudian memutuskan—sendiri.
ADVERTISEMENT
Kalaupun ada yang akhirnya harus pergi dengan kakak atau saudara, saya juga tidak melarang. Itulah pembelajaran yang mereka dapatkan. Ketika pulang dan saling bercerita, toh mereka akhirnya sedikit iri dengan teman-temannya yang pergi sendiri dan mendapatkan pengalaman yang luar biasa, dibandingkan dengan pengalaman mereka yang biasa-biasa saja. Saya juga tidak mengurangi nilai mereka yang pergi dengan teman atau keluarga. Hanya saja, saya tekankan bahwa saya harus mengapresiasi mereka yang berani pergi sendiri dengan nilai yang lebih tinggi daripada mereka yang pergi dengan orang lain. Jadi, ketika mahasiswa memutuskan akan pergi sendiri atau dengan pendamping—mengalah pada ketakutan diri sendiri maupun orangtua, setiap orang sudah tahu konsekuensinya.
Jadi, bukan mahasiswa saja yang belajar, orangtua mereka pun harus belajar. Kita sebagai orangtua selalu penuh kecemasan, kita lupa bahwa anak-anak kita sudah bertumbuh sedemikian jauh. Khawatir, tentu saja boleh. Tetapi membatasi mereka berkembang, bukan langkah yang bijaksana. Kalau bukan orangtuanya, siapa yang akan percaya bahwa mereka bisa?
ADVERTISEMENT
Dear parents, we are afraid, of course. But we need to help them grow.
Paspor Pertama Empat Mahasiswi, ditulis oleh Bunga, Elysa, Desi, dan Indri, mahasiswa International Undergraduate Program Universitas Krisnadwipayana. Buku setebal 76 halaman ini dicetak full-colour.
Paspor Pertama Empat Mahasiswi, catatan perjalanan mereka yang berhasil mengatasi rasa takut, mendapatkan kepercayaan orangtua, dan melangkah menjemput pengalaman baru. Ditulis oleh Bunga, Elysa, Desi, dan Indri, mahasiswa International Undergraduate Program Universitas Krisnadwipayana. Buku setebal 76 halaman ini dicetak full-colour.
Informasi lebih lanjut: Elysa, +62 878-2452-7407