Terperangkap Masa Depan yang Tertunda: Urgensi Perkawinan Anak

Amanda Shahla Shifra Dewi Rahmatillah
Mahasiswa semester dua program studi Ilmu Hukum Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
25 Mei 2023 13:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Shahla Shifra Dewi Rahmatillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi wanita sudah menikah. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wanita sudah menikah. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perkawinan anak menjadi isu yang terus mengemuka di masyarakat. Ketika membayangkan masa depan yang cerah bagi generasi muda, sayangnya masih ada realita pahit di mana anak-anak terjebak dalam perkawinan terlalu dini. Isu ini memunculkan pertanyaan mendalam mengenai hak-hak anak, kesetaraan gender, dan perlindungan terhadap generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Sebagai sebuah masyarakat yang semakin maju, kita dihadapkan pada tantangan untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan. Namun, fenomena perkawinan di bawah umur masih terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Dalam beberapa kasus, anak-anak yang masih berada dalam masa pertumbuhan dan pembentukan pribadi dipaksa untuk menikah, terlepas dari kemampuan mereka untuk mengambil keputusan yang tepat mengenai perkawinan.
Pernikahan dini anak di bawah umur tidak hanya melibatkan aspek hukum, tetapi juga melibatkan isu sosial dan budaya yang kompleks. Praktik ini sering kali dipengaruhi oleh tradisi, tekanan keluarga, atau faktor ekonomi yang sulit.
Akibatnya, anak-anak yang seharusnya mengejar pendidikan, mengeksplorasi minat dan bakat mereka, serta mengembangkan diri, terjebak dalam peran sebagai pasangan suami-istri yang belum siap secara fisik, mental, dan emosional.
ADVERTISEMENT

Kontradiksi Batas Usia Minimal Perkawinan

Ilustrasi buku nikah. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, usia minimal menikah bagi laki-laki adalah 19 tahun, dan bagi perempuan adalah 16 tahun.
Kini batas minimal tersebut telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di sanalah ditetapkan usia minimal menikah baik laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun.
Kontradiksi ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat (1), dikatakan bahwa, untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
ADVERTISEMENT
Ketentuan KHI pasal 15 ayat (1) yang masih menetapkan batas umur minimal bagi wanita yang hendak melangsungkan perkawinan adalah usia 16 tahun, berpotensi menimbulkan multitafsir terutama bagi kalangan yang melangsungkan perkawinan berdasarkan KHI, seolah-olah ada dualisme hukum dalam penentuan batas umur minimal bagi seorang perempuan yang hendak melangsungkan perkawinannya.
Bagi orang yang belajar ilmu hukum mungkin saja paham bahwa ketentuan umur minimal 16 tahun bagi calon mempelai perempuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun ketentuan KHI Pasal 15 ayat (1) itu secara otomatis tidak berlaku lagi setelah berlakunya ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
ADVERTISEMENT
Dan kalangan hukum tentu sangat paham hal ini, apalagi ada pula asas-asas hukum yang memperkuat. Misalnya azas, Lex Superiori Derogat Lex Inferiori, hukum yang lebih tinggi derajatnya mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Jadi ketentuan dalam Undang-Undang Tentang Perkawinan jelas lebih tinggi kedudukannya daripada ketentuan KHI.
Kemudian ada pula asas, Lex Posterior derogate Legi Priori, hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama. Dengan demikian ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 akan mengesampingkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tersebut, maupun ketentuan Pasal 15 ayat (1) KHI. Namun bagaimanakah dengan kalangan awam atau orang yang tidak belajar ilmu hukum?
Pemahaman masyarakat dan aparatur yang sangat bervariasi tingkat pengetahuan hukumnya ini berpotensi menimbulkan multitafsir terkait batas minimal umur seorang calon mempelai perempuan yang wajib mendapatkan izin jika hendak melangsungkan perkawinannya. Multi tafsir kemudian dapat menimbulkan pula potensi pelanggaran hukum berupa terjadinya banyak kasus perkawinan di bawah umur.
ADVERTISEMENT

Praktik Dispensasi Kawin

Ilustrasi Pernikahan. Foto: Edwin Hadi Prasetyo/Shutterstock
Secara yuridis, menurut Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan apabila terdapat calon pengantin yang belum memenuhi batas minimal usia perkawinan, orang tua mereka dapat mengajukan permohonan ke pengadilan dengan alasan sangat mendesak yang dikenal dengan istilah dispensasi kawin.
Dispensasi kawin menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 adalah pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami/istri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan.
Tujuan dari dispensasi kawin ini, menurut MA adalah menerapkan asas kepentingan terbaik bagi anak, menjamin hak hidup dan berkembang anak, penghargaan atas pendapat anak, penghargaan atas harkat dan martabat manusia, menjamin asas non-diskriminasi/kesetaraan gender/persamaan di depan hukum, asas keadilan dan kemanfaatan, serta asas kepastian hukum.
ADVERTISEMENT
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) melaporkan berdasarkan data Badan Peradilan Agama (Badilag), permohonan dispensasi kawin tahun 2022 sebanyak kurang lebih 50.000 permohonan. Angka ini mengalami penurunan di mana pada tahun 2021 sebanyak 61.000 permohonan. Meskipun begitu jumlahnya tetap terbilang besar.
Semestinya dispensasi kawin adalah pengecualian yang bersifat darurat justru menjadi pintu masuk masyarakat untuk terus melangsungkan perkawinan dini dan celakanya disambut hakim dalam memutuskan perkara dispensasi kawin.
Mayoritas alasan pengajuan dispensasi kawin adalah pertimbangan agama, mengabaikan pertimbangan kesehatan, ekonomi, dan perlindungan reproduksi anak. Di sisi lain, mayoritas (99 persen) permohonan dispensasi yang diajukan disetujui oleh hakim pengadilan agama, yang berarti alasan pengajuan tersebut diafirmasi oleh hakim.
ADVERTISEMENT
Pernikahan anak kemudian menjadi hal lazim yang dilegitimasi oleh putusan hakim pengadilan agama, meskipun salah satu niat utama merevisi Undang-Undang Perkawinan adalah untuk mencegah perkawinan anak di bawah umur.