Konten dari Pengguna

Menjadi Lulusan Luar Negeri Itu Tidak Sepenuhnya Indah

Amanda Tan
Amanda Tan adalah seorang mahasiswa S2 Public Policy and Management di Monash University Indonesia, dengan fokus di bidang kebijakan kesehatan, peran NGO dalam pembuatan kebijakan, dan perubahan kebijakan.
15 Maret 2023 12:49 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Tan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi wisuda. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wisuda. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Bergelar lulusan luar negeri dan balik ke Indonesia menjadi tantangan tersendiri. Mengerti apa yang terjadi di sekitar menjadi kunci beradaptasi. Namun apa saja cara-cara tersebut?
ADVERTISEMENT
Menyelesaikan studi S1 di bidang Sosiologi dari salah satu Universitas ternama di Australia sama sekali tidak mudah. Maka dari itu, ketika berhasil lulus, saya berasa di atas angin. Saat itu saya berpikir bahwa mencari pekerjaan di Indonesia akan sangat mudah, apalagi dengan kemampuan inggris yang memadai. Ternyata saya dihadapi dengan kenyataan yang bertolak belakang yang membuat saya putus semangat.
Kebetulan, saya selalu berminat untuk bekerja di bidang isu HAM dan keadilan sosial. Saya kemudian mengirimkan lamaran di berbagai institusi riset sosial atau think tank di Jakarta.
Ketika ditanya mengenai isu terkini di Indonesia dan bagaimana saya dapat menciptakan strategi solusi tertentu, saya hanya mengarang indah dan bahkan bisa dibilang jawaban saya tidak analitis sama sekali (padahal bukankah berpikir kritis itu diajarkan oleh sistem pendidikan barat?).
Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/Shutterstock
Seperti misalnya, ingat betul saat itu saya ditanyakan bagaimana kontestasi pemilu presiden tahun 2019 berdampak pada tren konsumsi masyarakat Indonesia. Saya hanya menjawab hal-hal yang sifatnya deskriptif, seperti siapa saja kandidat presiden saat itu dan koalisi partainya.
ADVERTISEMENT
Setelah berulang kali melamar di perusahaan atau organisasi sejenis, saya tidak mendapatkan tawaran kerja sama sekali. Kemampuan menulis bahasa Indonesia saya kala itu juga menurun, sehingga dianggap belum bisa bekerja sesuai fungsi yang ditetapkan.
Singkat cerita, akhirnya saya diterima bekerja sebagai guru di sebuah sekolah internasional di Jakarta, di mana isu-isu yang terjadi di ranah internasional lebih dikedepankan dan perlu diajarkan ke murid-murid.
Saya bisa bahas isu Australia di kelas saya, walau sebagian besar murid saya adalah warga negara Indonesia. Berada di lingkungan internasional, tidak perlu mengerti isu terkini di Indonesia, dan tidak harus menulis dalam bahasa Indonesia secara intensif, tentunya tempat ini cocok dengan latar belakang saya, bukan?
ADVERTISEMENT
Ternyata saya dihadapkan dengan masalah lain, yaitu bagaimana cara menjelaskan program mengajar saya kepada orang tua murid yang mayoritas merupakan warga negara Indonesia dengan tutur bahasa Indonesia yang baik, diplomatis dan, tentunya sesuai dengan kultur budaya kita.
Seiring berjalannya waktu dan tinggal lama di Jakarta, saya akhirnya belajar bagaimana cara beradaptasi diri. Tapi, tentunya ini memerlukan langkah-langkah kecil, seperti berikut:

1. Follow Twitter Berbagai Media dan Baca Artikelnya

Ilustrasi main Twitter. Foto: Melly Meiliani/kumparan
Walaupun tidak diwajibkan untuk mengajarkan isu sosial-politik terkini di Indonesia, namun rasanya kurang kontekstual jika saya tidak mengajarkan murid saya, yang berkebangsaan WNI, tentang apa yang terjadi di Indonesia.
Saya ingat betul saat itu saya harus mengaitkan isu mengenai ketenagakerjaan di Indonesia dan bagaimana ini berdampak pada generasi muda. Tentunya, ini mewajibkan saya untuk membaca mengenai berita-berita terkini mengenai pekerja gig, kaum prekariat dan neoliberalisme yang terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kanal berita dan opini dalam bahasa Indonesia menjadi rujukan saya. Membaca membuat saya semakin berada di ‘tapak’, mengetahui dengan betul apa yang terjadi di lingkungan saya dan menumbuhkan rasa empati, keperpihakan yang perlu kemudian saya ajarkan ke murid saya.

2. Menjadi Relawan di Lembaga Sosial

Ilustrasi meeting pimpinan. Foto: Shutterstock
Pada tahun 2020, saya berpartisipasi menjadi relawan di salah satu lembaga advokasi kebijakan COVID-19. Di lembaga ini, saya dituntut untuk dapat menulis pers rilis, konten sosial media dan bahan advokasi lainnya dalam Bahasa Indonesia.
Awalnya terasa sangat sulit karena sudah lama tidak menulis dalam Bahasa Indonesia, bahkan seringkali tulisan saya dikoreksi ulang secara struktur dan tata bahasa. Tetapi justru lewat proses koreksi ini, saya jadi kembali mengetahui bagaimana menulis dengan benar.
ADVERTISEMENT
Selain itu, saya juga harus membaca sejumlah aturan dan regulasi pemerintah, seperti UU kesehatan, Perpres, Keputusan Menteri Kesehatan dan lainnya.
Tentunya, melalui proses ini, pengetahuan saya mengenai struktur pemerintah meningkat drastis, dan saya jadi mengerti apa itu konsep Hak Asasi Manusia dan tata kelola pemerintah yang transparan dan akuntabel.
Pemahaman ini pelan-pelan mengakar di dalam pikiran dan mengikuti berita terkini menjadi hal yang tidak memberatkan diri, justru hal yang asyik karena saya dapat menganalisanya lewat pemahamanan HAM dan keadilan sosial.

3. Ikut Kegiatan Seminar dan Kelas Singkat

Ilustrasi seminar politik. Foto: Shutter Stock
Sama seperti menjadi relawan, mengikuti kelas menulis singkat yang diadakan oleh sebuah lembaga institusi tertentu juga membuat saya bertemu dengan pengajar yang paham betul mengenai isu Indonesia. Selain itu, saya juga bertemu dengan banyak murid lain yang berlatar belakang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Di setiap pengujung kelas, saya juga harus memberikan presentasi hasil karya yang dimuat dan berargumentasi dengan tata krama yang tepat juga dipelajari di sini. Dari sini, saya tentu belajar kembali bagaimana dapat berargumentasi ala budaya timur, memberikan pendapat, menyanggah dengan bukti yang kuat, namun tetap sopan dan berbudaya.
Setelah enam tahun tinggal balik di Jakarta, tentunya tantangan mencari kerja masih ada, namun langkah-langkah yang saya tempuh di atas mempertemukan saya dengan network baru yang memberikan saya perkembangan isu sosial politik terkini di Indonesia.
Di sini, saya tidak menggeneralisasi bahwa mahasiswa Indonesia yang pulang dari luar negeri selalu menghadapi hal yang sama dengan saya. Namun, selalu perlu diingat bahwa ketika sudah balik ke tanah air, kita selalu perlu berada menapak di bumi kita berada dan berempati dengan isu sekitar.
ADVERTISEMENT