Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Misinterpretasi Khalayak Umum dalam Pemaknaan Kasta pada Masyarakat Hindu Bali
30 Desember 2022 19:36 WIB
Tulisan dari Amarelis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada awal kemunculannya,“kasta” dalam bahasa Portugal (casta) memiliki makna sebagai pemisahan golongan terhadap keturunan atau suku. Namun, seiring berjalannya waktu telah terjadi redefinisi yang menggeser orientasi pemaknaan kasta menjadi penggolongan hirarki terhadap derajat umat manusia terutama dalam konteks umat beragama. Para ahli melihat fenomena kasta sebagai hasil dari konstruksi sosial yang merujuk pada pemberian status, serta diwujudkan dalam bentuk tatanan kelompok endogami dengan keanggotaan yang herediter.
ADVERTISEMENT
Bali adalah wilayah yang masyarakatnya masih sangat erat dalam memegang tradisi dan aturan adat dari para leluhurnya. Salah satu diantara warisan tersebut adalah kasta. Secara umum, masyarakat awam melihat kasta sebagai sesuatu yang wajar dan terbentuk secara alamiah begitu adanya. Beberapa khalayak tidak sepenuhnya memahami bagaimana kasta tersebut muncul dan lahir di tengah-tengah kehidupan sosial mereka.
Dalam artikel ini, penulis akan mencoba untuk membedah dari perspektif keilmuan Sosiologi dalam memandang kasta, serta mencermati berbagai implikasinya di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kajian ini mengambil fokus analisis terhadap misinterpretasi kasta pada masyarakat Hindu, terutama di wilayah Bali dan sekitarnya.
Kasta menjadi sesuatu yang bias, terutama jika kita hanya melihat definisinya dari permukaan. Kuatnya akar dari miskonsepsi “kasta” dalam ajaran agama Hindu, sebagai sebuah pembagian kelompok masyarakat yang memberikan kedudukan sosial yang hirarki telah terkonstruksi selama beratus-ratus tahun hingga kini. Konstruksi sosial, didefinisikan sebagai sebuah proses dialektika ketika seluruh nilai dan haluan yang diciptakan oleh manusia terdefinisi secara konstan. Proses tersebut dapat terjadi ketika terjalin hubungan antara satu manusia dengan manusia lainnya yang menghasilkan suatu kebudayaan, nilai, dan norma kemudian berkembang menjadi keyakinan serta secara terus menerus diturunkan melalui sosialisasi.
ADVERTISEMENT
Konstruksi sosial tidak hanya terbatas pada sebuah anggapan atau cara pandang sesama manusia secara nyata, tetapi juga termasuk didalamnya tentang adanya suatu kepastian. Peter L Berger memberikan asumsi dasar yakni realitas adalah sebuah mekanisme yang telah dikonstruksikan secara sosial. Dari pernyataan tersebut dapat dihubungkan bahwa pengalaman hidup seorang individu sebagian besar dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Bahasa memainkan peran sentral yang membentuk suatu mekanisme budaya, sehingga dapat memberikan pengaruh tingkah laku dan pikiran seseorang. Masyarakat dan waktu memiliki sifat yang dinamis serta tidak konsisten, artinya terdapat kompleksitas dalam suatu budaya yang mewakili konstruksi sosialnya.
Sosiologi memandang asumsi masyarakat terhadap kasta sebagai hasil dari sistem perubahan sosio kultural yang berpadu dengan sosio budaya. Diantara unsur-unsur tersebut, agama memiliki peran yang dominan atas masyarakat itu sendiri. Merujuk pada sumber kitab suci agama Hindu yakni Weda (Sanskerta: वेद; veda, Bali: ᬯᬾᬤ, Jawa: ꦮꦺꦢ "ilmu pengetahuan") sejatinya kasta adalah suatu pembagian yang terbentuk secara horizontal dan tidak ada superioritas di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Ketidakselarasan pemahaman akan konsep kasta dalam masyarakat dan kitab suci sebagai rujukan, dapat menimbulkan potensi permasalah sosial. Salah satu diantaranya adalah kesenjangan status yang berimplikasi pada menyempitnya aksesibilitas bagi seorang individu dalam mendapatkan kesempatan. Kitab Suci Weda digunakan oleh umat Hindu sebagai pedoman kehidupan sosial dan rohani mereka. Pada prinsipnya, di dalam Weda tertulis bahwa setiap manusia yang lahir dan hidup di bumi ini memiliki hak serta kewajiban yang sama untuk dihormati dan saling menghormati.
Di dalam kitab suci Bhagavad Gita, tidak ditemukan kata “kasta” namun disebutnya sebagai “Warna”. Warna diartikan sebagai pembagian masyarakat sesuai dengan profesi dan bakat serta keahlian sesuai dengan masing-masing perannya. Secara alami, masyarakat memiliki anggapan bahwa ada golongan Warna memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan Warna yang lain.
ADVERTISEMENT
Dalam kacamata Sosiologi, masyarakat tidak hanya dipandang sebagai suatu struktur sosial yang labil tetapi juga selalu berubah-ubah. Perubahan itulah yang disebut sebagai proses dan perubahan sosial akibat kekuatan dari hukum yang telah dikonstruksikan. Terukur dari pergerakannya, suatu perubahan diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu perubahan yang terjadi secara cepat ataupun lambat. perubahan sosial adalah hal yang melekat serta selalu mengikutinya. Proses perubahan ini terjadi secara terus menerus dan membentuk suatu realitas terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat.
Kasta menjadi sebuah produk dari kesalahpahaman akan pemaknaan dari adanya sistem Warna dalam Kitab Suci Weda. Guna meluruskannya, secara gamblang Wiana (2000) menjabarkan perbedaan antara Kasta dengan Warna menurut definisi yang dianutnya. Warna adalah suatu sistem penggolongan berdasarkan pekerjaan, profesi, atau fungsi seseorang di dalam masyarakat. Terdapat empat bagian dalam Catur Warna, yakni:
ADVERTISEMENT
● Brahmana adalah orang-orang yang memiliki peran berkaitan dengan pembinaan mental, rohani, dan spiritual.
● Ksatria adalah golongan orang-orang dengan tugas serta wewenang menjalankan sistem dalam suatu negara serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pengaturan pemerintahan dan rakyatnya.
● Waisya adalah deretan orang-orang yang perannya berkaitan erat dengan dunia perniagaan atau perdagangan.
● Sudra adalah golongan orang-orang dengan berperan memberikan pelayanan dalam fungsi membantu orang lain.
Warna yang melekat pada seseorang sifatnya tidak selalu dapat diturunkan, kecuali jika generasi dibawahnya memiliki profesi yang sama artinya gelombang yang terbentuk bersifat sangat dinamis bukan statis. Dalam agama Hindu, hubungan setiap Warna mengacu pada tujuan yang sama yaitu “Dharma” atau kesempurnaan hidup dengan menempuh jalan kebaikan. Kesimpulannya, Warna sama sekali tidak membeda-bedakan harkat manusia serta martabat setiap orang tidak ditentukan berdasarkan pekerjaannya. Semua potensi dan peran dihargai dalam satu kesatuan yang sama sebagai seorang manusia saling menopang demi kesejahteraan kehidupannya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan sejarahnya, agama Hindu pertama kali masuk ke Indonesia (saat itu masih disebut dengan Nusantara) dibawa oleh para pedagang dari India melalui dua jalur yang berbeda. Dari pintu barat Indo China, Malaya, Siam, dan menyebar di Kalimantan, Sumatera, serta Jawa. Sedangkan dari arah Utara masuk melalui Jepang dan Filipina lali menyebar pada Sulawesi bagian Timur dan Irian. Sebelum kepercayaan ini masuk, masyarakat Bali sudah memiliki kepercayaannya sendiri. Asal-muasal Agama Hindu di Bali memiliki kaitan erat dengan kedatangan orang-orang dari Kerajaan Majapahit.
Pada saat itu masyarakat Bali masih belum mengenal adanya tulisan, masa kedatangan Majapahit di bawah naungan kepemimpinan Gajah Mada secara perlahan masuk dan diterima oleh para penduduk setempat. Gajah Mada sendiri memiliki pemahaman yang tidak terlepas dari pengaruh Hindu dan Budha. Dalam sejarah perkembangan dan praktiknya, agama Hindu memiliki perbedaan yang cukup kontras. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perpaduan antara kepercayaan Hindu dengan tradisi serta budaya masyarakat setempat. Meskipun demikian, pola modifikasi ketika penyelenggaraan acara atau upacara adat masih berpedoman pada Kitab Suci Weda.
ADVERTISEMENT
Proses berkembangnya ajaran agama Hindu dapat menyebar disebabkan karena rakyat akan mengikuti kepercayaan yang dianut oleh rajanya, meskipun demikian diseminasi yang terjadi terhitung cukup lama dan perlahan-lahan yakni sebelum abad ke-2 hingga ke-8 masehi. Masa kedudukan Majapahit dinilai telah memberikan pengaruh yang sangat kuat di Bali, tak hanya tatanan kehidupan sosial, tetapi juga termasuk kehidupan beragama. Walaupun demikian, beberapa dari penduduk Bali Aga pada saat itu menolak adanya pengaruh budaya asing yang masuk ke wilayahnya.
Kepercayaan Hindu dan budaya Bali telah mengalami akulturasi dan sulit untuk dipisahkan, pencampuran tersebut telah melahirkan satu agama baru. Masyarakat Bali menyebutnya sebagai agama Tirta, kemudian berganti nama menjadi agama Hindu Dharma. Termasuk di dalamnya pemaknaan Warna yang dikonsepkan secara vertikal sebagai sebuah status dan kedudukan. Selama berpuluh-puluh tahun, masyarakat Hindu di Bali memposisikan wangsa sebagai sebuah status sosial yang didapat oleh seseorang sejak ia lahir atau diturunkan.
ADVERTISEMENT
Penggolongan masyarakat berdasarkan Warna, adalah hasil dari pengaruh Hindu pada masa dinasti Majapahit. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kedatangan para bangsawan dari Pulau Jawa tidak hanya memberikan implikasi pada bidang politik dan kekuasaan tetapi juga pada aspek kehidupan sosial dan keagamaan. Kembali melihat dari alur yang mundur, kemunculan warna di tengah-tengah masyarakat Bali pada mulanya hanya digunakan sebagai penggolongan berdasarkan profesi atau penguasaan seseorang pada suatu bidang.
Namun, secara tidak langsung pengelompokkan ini memberikan pengaruh pada pandangan masyarakat bahwa terdapat golongan Warna yang menduduki tingkatan atas, menengah, dan bawah. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang akan lebih dihargai apabila ia memiliki kelebihan berupa modal-modal sosial yang divalidasi oleh masyarakat disekitarnya. Untuk bisa mendapatkan kedudukan dan penghormatan, setidaknya seseorang harus memiliki modal berupa pendidikan, pekerjaan, dan finansial yang mapan. Sejalan pula dengan penyebutan bagian-bagian Warna yang didasarkan pada kemampuan yang dimiliki individu, hal ini akan berimplikasi pada tinggi rendahnya derajat yang disandang seseorang di mata masyarakat.
ADVERTISEMENT
Seorang individu yang memiliki pengetahuan lebih di bidang agama akan lebih dihormati oleh kelompok masyarakatnya. Hal ini tidak terlepas dari konsep agama sebagai candu yang telah melekat terutama pada masyarakat tradisional. Seorang pemuka agama (Brahmana) akan dijadikan sebagai sosok panutan terutama tindak tanduknya akan diikuti dan dianggap sebagai sebuah hal yang benar bagi para jemaatnya. Bahkan pemangku kebijakan yang menjalankan sistem pemerintahan (Ksatria) pun memuliakan dan seringkali meminta nasihat kepada para Brahmana dalam setiap keputusan yang dibuatnya. Kelompok pedagang (Waisya) memiliki peran untuk menggerakkan ekonomi dalam bentuk perniagaan yang dilakukannya, kembali pada prinsip kapitalisme yakni semakin besar modal yang dimiliki oleh seorang pengusaha maka semakin besar pula kekuasaanya memainkan sistem di pasar.
ADVERTISEMENT
Hal ini memberikan implikasi pada munculnya kaum-kaum menengah kebawah yang tidak memiliki modal dan guna memenuhi kebutuhan hidupnya mereka mau tidak mau harus menjadi budak atau pelayan (Sudra). Kaum Sudra seringkali dikaitkan dengan kemiskinan dan penderitaan. Pada saat ini, pengimplementasian kasta lebih dominan bersinggungan dengan konsep menjalankan ritual dan tradisi agama. Seseorang yang memiliki jalur keturunan Brahmana, akan memiliki cara yang berbeda ketika menjalankan persembahyangannya. Begitu pula pada penggolongan kasta-kasta berikutnya, mayoritas masyarakat akan menjalankan adat sesuai dengan garis keturunan keluarganya.
Implikasi kasta pada kehidupan sosial masyarakat Hindu di Bali memang tidaklah sepekat di India. Salah satu penyebabnya dikarenakan oleh adanya keterbukaan masyarakat untuk menerima modernisasi. Hal ini membuat masyarakat Hindu di Bali mampu untuk memisahkan pengaruh kasta dengan kehidupan sosialnya. Tidak ada batasan pada kasta-kasta tertentu untuk melakukan mobilitas atau perpindahan achived status, terlebih apabila terdapat upaya serta kemampuan yang sepadan untuk meraihnya.
ADVERTISEMENT