Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
Penolakan Relokasi Suku Mausu Ane di Pulau Seram Utara Maluku Tengah
26 Juli 2018 0:37 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Ambon,-Kematian tiga orang warga suku Mausu Ane, Negeri Maneo Rendah, Kecamatan Seram Utara Kobi akibat krisis pangan mengundang perhatian berbagai pihak. Selasa, (24/7) kemarin, bantuan logistik berupa bahan makanan, obat-obatan diterjunkan berbagai Instansi TNI/ Polri. Hari Ini, Kementerian Sosial maupun Kementerian Kesehatan RI pun dijadwakan menyalurkan bantuan serupa.
ADVERTISEMENT
Kementerian Sosial RI juga akan melakukan asesmen terhadap warga, sebanyak sepuluh orang Taruna Siaga Bencana (Tagana) bersama tim Dinas Sosial Provinsi Maluku melakukan asessmen bersama.
“Nanti lihat assesmennya. Kita akan pantau kondisinya seperti apa, kebutuhannya seperti apa, saya berharap semua kementerian dan lembaga dapat bersinergi mengatasi rawan pangan ini,” kata Menteri Sosial, Idrus Marham lewat rilis yang diterima ambonnesia.com, Rabu (25/7).
Lewat bantuan tersebut, kekurangan bahan pangan bagi 170 warga suku Mausu Ane mungkin tercukupi. Kurangnya bahan pangan diduga perkebunan tradisonal milik warga diserang hama babi dan tikus. Dugaan tersebut dibantah Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Maluku, Lenny Patty. menurutnya, pemerintah seharusnya memiliki langkah solutitif.
ADVERTISEMENT
"Kalau perkebunan mereka di serang hama babi dan tikus itu aneh sekali, karena mereka ahli berburu. Babi pun mereka makan. Tapi, kalau memang karena hama, harusnya pemerintah setempat mencari solusi untuk memusnahkan hama ini. bukan malah merelokasi," ujar Lenny.
Rencana Relokasi
Belum cukup sampai di situ, masalah baru timbul mengancam suku Mausu Ane. Mereka disebut akan direlokasi. Bupati Maluku Tengah, Abua Tuasikal mengeluarkan pernyataan di salah satu media bahwa akan merelokasi suku Mausu Ane. Relokasi suku adat Mausu Ane memang telah dicanangkan sejak tahun 2015 silam oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah menyusul adanya kebakaran hutan di wilayah itu. Namun mereka menolak dengan alasan hutan lah tempat hidup mereka. Menjaga hutan bagi warga Mausu Ane sama artinya menghormati Upu Lahatala atau Tuhan pencipta tempat mereka bernaung.
ADVERTISEMENT
Adanya relokasi tersebut lantaran masuknya izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) serta kegiatan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Dari data Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku tengah menyebutkan dua perusahaan yang mengantongi izin HPH yakni PT Talisan Mas seluas 54.750 Hektar, PT Albasi Priangan Lestari seluas 64.690 Hektar. Sementara PT. Kobi Mukti dengan pembangunan Irigasi sepanjang 1.022 hektar di daerah Kabauhari, Perkebunan Kelapa Sawit oleh PT. Nusa Ina Group sejak 2006 di wilayah Seram Utara.
Ada keterkaitan antara kebakaran hutan yang terjadi pada Oktober 2015 lalu, dengan isu kekurangan bahan makanan serta rencana relokasi yang terjadi saat ini.
"Daerah ini (Pulau Seram) saat ini menjadi incaran investor yang mencari wilayah baru untuk membuka perkebunan. sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara kasus ini," tutur Lenny.
ADVERTISEMENT
Peta Perkembangan Pemanfaatan Hutan ( Sumber: Kementerian Kehutanan)
Di sisi Lain Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Maluku menilai, Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah telah lalai dalam memenuhi hajat hidup masyarakat adat yang menempati Pulau Seram. Pasalnya, penanggulangan oleh pemerintah Kabupaten Maluku Tengah paska peristiwa kekurangan bahan makanan bagi suku Mausu Ane terkesan lambat.
Dari informasi yang dihimpun ambonnesia.com, meninggalnya tiga warga adat Mausu Ane baru diketahui pada 19 Juli, setelah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maluku Tengah melakukan identifikasi di lapangan.
Padahal, tiga warga adat tersebut telah meninggal sejak 7 Juli lalu. Sementara, bantuan yang disalurkan, baru sampai pada 23 Juli. Bantuan itu pun datang dari TNI/POLRI, bukan dari pihak pemerintah setempat.
ADVERTISEMENT
"Jangan sudah terjadi masalah seperti ini baru pemerintah turun tangan, pemerintah harus serius menangani ini, pemerintah telah melanggsr HAM. Saya berani katakan ini," kata Kepala Komnas HAM Perwakilan Maluku, Benny Sarkol.
Sebelumnya, Gereja Protestan Maluku melalui Pengurus Besar Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) telah lebih dulu melakukan advokasi, lewat jemaat Siahari di Maluku tengah dan Jemaat Rumah Tiga, pihak gereja telah melakukan koordinasi bersama warga adat Mausu Ane melalui Kepala Dusun Siahari, ihwal dugaan kurangnya bahan makanan. Sejumlah bantuan seperti bahan makanan, sabun dan pakaian layak pakai diberikan kepada mereka.
Dari tiga kelompok warga adat suku Mausu Ane yang mendiami wilayah petuanan Maneo Rendah, hanya dua kelompok turun gunung menemui keluarga Maihatekesu di kaki air Tihuhu untuk menerima bantuan. Diantaranya, kelompok Leilaha dan Yamalise sementara kelompok Teluba tidak ikut turun.
ADVERTISEMENT
“Jika benar mereka kekurangan bahan makanan, ketiga kelompok suku Mausu Ane akan turun. Tapi hanya dua kelompok suku adat yang turun. Kelompok Teluba tidak ikut turun saat itu.” tutur Sekretaris Pengurus Besar AMGPM, Jondry Paays
Suku Mausu Ane adalah warga suku pedalaman yang turun temurun mendiami hutan di Pulau Seram, tentu mereka tidak bisa dipisahkan dengan hutan, tanah petuanan adat mereka. Pengalaman relokasi yang dilakukan terhadap masyarakat adat Huaulu pada tahun 2010 membuktikan mereka tidak bisa bertahan hidup di wilayah yang baru seperti transmigrasi. Mereka kemudian kembali ke hutan. Relokasi saat itu juga menjadi pintu masuk perusahaan untuk menguasai sumber daya alam milik masyarakat adat.
“Dari pengalaman relokasi masyarakat adat Hualu di Kilometer Lima, membuktikan mereka tidak bertahan di wilayah baru. Sebab pola hidup mereka berbeda, jadi rencana yang dilakukan pemerintah daerah bukan cara yang tepat,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
(Ambonnesia)