Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Ritual Tawur Kesanga Jelang Nyepi di Ambon
16 Maret 2018 23:56 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
ADVERTISEMENT
Ambon,- Canang atau sesajen dibawa beberapa perempuan dari pelataran pura Siwa Stana Giri Ambon, pinandita dan pemuka agama mulai menyiapkan canang untuk upacara. Alunan gamelan Bali mengiringi doa-doa yang dipanjatkan kepada Sang Hyang Widi.
ADVERTISEMENT
Ayam jantan hitam, triwarna bunga, ketan, air buah kue jadi beberapa isian canang, satu per satu umat hindu di Pura mulai berdatangan. Setelah doa dipanjatkan, air suci yang telah didoakan lantas dikibaskan ke atas kepala umat yang menjalankan upacara tawur kesanga.
Begitu usai, upacara dilanjutkan dengan pengerupukan yaitu pengusiran buta kale dari lingkungan rumah, pekarangan, dan sekitar tempat tinggal. Ini merupakan bagian yang cukup meriah dalam rangkaian tawur kesanga, para pemuka agama mengelilingi sesajen sambil memegang obor, tongkat, dan pentungan. Sambil berjalan mengitari canang, mereka membuat suara-suara gaduh dan ribut, itu bertujuan agar buta kale pergi dan tidak menggangu.
"Kali ini upacara buat alam bawah. Kita berusaha menjaga keseimbangan di alam," ucap Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Maluku, Nyoman Sukadana usai upacara di pekarangan Pura Siwa Stana Giri, di Amahusu.
ADVERTISEMENT
Sebelum memasuki tahun baru Saka, umat Hindu diingatkan agar kembali menjaga keseimbangan, diawali upacara melasti hingga taur kesange mengajarkan tentang hubungan antara manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan alam. Menurut Nyoman, unsur negatif dalam diri manusia dan alam sekitar harus diseimbangkan melalui upacara tawur kesanga.
"Rangkaian upacara ini agar umat bisa mengikuti Nyepi dengan hati yang bersih dan tenang," lanjutnya.
Hanya saja kali ini ada yang berbeda, Ogoh-ogoh atau simbolisasi roh jahat yang diarak lalu dibakar tidak ada. Sesuai rencana ogoh-ogoh akan dibuat oleh komunitas lintas agama, namun hari raya Nyepi tahun ini bertepatan dengan hari Saraswati atau turunnya Ilmu Suci Weda.
"Ini hari yang langka bahkan belum tentu 100 tahun sekali bisa bersamaan perayaannya," kata Nyoman.
ADVERTISEMENT
Momen ini jadi satu perayaan yang istimewa bagi umat Hindu, Dia berharap saat menjalankan nyepi, umat bisa mendalami ajaran baik.
Perayaan Nyepi di Kota Ambon memang terasa sangat jauh berbeda dengan di Bali, rata-rata umat Hindu di daerah itu adalah perantau. Upacara dan ritual keagamaan pun disesuaikan dengan budaya serta kearifan lokal wilayah setempat, salah satu yang jadi sorotan Nyoman yaitu cara berbusana.
Selama ini orang mungkin banyak yang keliru, bahwa baju yang dipakai umat Hindu harus sama dengan yang di Bali. Menurutnya kehadiran agama Hindu tidak menghilangkan budaya di suatu tempat, ia justru memperkaya budaya tersebut. Seperti menggunakan baju daerah setempat saat sembahyang.
"Orang Maluku tidak perlu pakai kebaya Bali. Justru lebih baik sembahyang dengan pakaian adat Maluku. Hindu ya Hindu. Hindu bukan Bali, Bukan India. Hindu itu memperkaya budaya," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Made Dharma mengatakan, perkembangan umat Hindu di Maluku jauh lebih terasa. Selain adanya peleburan budaya, dia merasa sangat lekat dengan sesama umat Hindu dan warga di sekitarnya.
"Kalau di sini sekali ketemu langsung saling sapa dan sudah dekat, nanti ketemu di jalan pasti disapa. Beda dengan di Bali, rasanya lebih kekeluargaan di sini," ucapnya.
Hal tersebut membuatnya betah tinggal dan menjalankan ajaran agama di Ambon. Usai upacara umat kembali ke pura dan melakukan sembahyang yang dipimpin oleh Pinandita, ada sekitar 50 umat yang hadir. Biasanya ketika hari raya Nyepi, mereka mudik ke Bali bersama keluarga besar.
Sementara, yang tinggal hanya sebagian, nantinya sehari setelah Nyepi mereka akan melalukan dharma santi atau silaturahmi saling memaafkan ke rumah teman, keluarga atau kerabat terdekat.
ADVERTISEMENT
Reporter : Priska Akwila