Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten Media Partner
Buku Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia Dibedah di Ambon
26 November 2018 20:42 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
ADVERTISEMENT
Ambon,-Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Wakaf Paramadina, menggelar acara diskusi buku Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia, karya almarhum Samsu Rizal Panggabean, yang berisi penelitian terkait kasus-kasus kota yang mengalami kekerasan (Surakarta dan Ambon), dan yang tidak mengalami kekerasan (Yogyakarta dan Manado), di Caffe Tradisi Joas Baru, Ambon, Senin (26/11/18).
ADVERTISEMENT
Direktut PUSAD Yayasan Paramadina, Ihsan Ali-Fauzi menilai, buku yang disusun dari disertasi almarhum Samsu Rizal Panggabean ini, mengajarkan kita semua apabila kita ingin damai, maka kita harus memperlajari perdamaian.
"Seperti yang pernah dikatakan oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer, kita semua sudah tidak adil dalam pikiran. Kita ingin perdamaian, namun yang hanya kita pelajari adalah radikalisasi, kekerasan, dan intoleransi. Sedangkan untuk toleransi dan perdamaiannya tidak dipelajari," ujarnya.
Pada kesmpatan yang sama, asisten Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban (UKP-DKAAP), Jacky Manuputty, menyebutkan bahwa dari buku karya Samsu Rizal Panggabean ini, kerja-kerja pedamaian tidak hanya terjadi ketika konflik fisik saja, namun kerja-kerja perdamaian adalah kerja sepanjang masa. Tiada henti.
ADVERTISEMENT
"Apabila dalam studi konflik sering disebut bina damai, kerja-kerja memperkuat intergrasi sosial dan memperkuat harmoni melalui interaksi, dan dialog. Melalui kerja sama lintas etnis, dan lintas kelompok harus terus diperkuat," tandasnya.
Jacky katakan pada saat ini, tantangan mengenai ujaran-ujaran kebencian membuat masyarakat menjadi renggang, pengelompokan terjadi pada masyarakat, dan membuat orang terkutuk berdasarkan kaplingan identitas.
"Hal tersebut merupakan ruang-ruang yang memudahkan provokasi berkembang. Oleh karena itu jangan menunggu konflik fisik terjadi baru kita melakukan kerja-kerja perdamaian. Kerja-kerja bina damai lebih efektif dilakukan pada saat situasi tidak ada konflik di situ," paparnya.
Menurut Jacky, Maluku harus belajar dari pengalaman masa lalu untuk menjadi contoh. Saat ini Maluku adalah laboratorium perdamaian, maka kerja-kerja bina damai dilakukan oleh segala kalangan, agara orang-orang yang datang ke Maluku dapat belajar apa itu perdamaian.(Tiara Salampessy)
ADVERTISEMENT