Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Kisah dan Kembalinya Molukka Hip Hop Comunity di Atas Panggung
11 Maret 2018 17:21 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB

ADVERTISEMENT
Ambon,- Malam penutupan KAMI dan puncak Hari Musik Nasional yang diadakan di Ambon tak hanya jadi catatan baru menuju Ambon kota musik. Tapi jadi penanda kembalinya Molukka HipHop Community (MHC) ke atas panggung setelah 4 tahun vakum. Mereka kembali di atas panggung mengingatkan warga kota pentingnya menjaga budaya. MHC dibentuk pada 1 Juli 2008 yang digagas oleh Morika B Tetelepta, Revelino B Nepa, Frans Nendisa dan Altin Pesurnay. Seiring jalan mereka melebarkan sayap membangun jaringan hingga ke Jakarta, Jogja dan Salatiga.
ADVERTISEMENT
Di Jakarta, Altin mengajak kawan-kawan dari Ambon untuk bergabung. Iki Shorty, Idrus Salampessy, Ecek Sialana. The Bakutumbu, 8ball, Gilang Ayuba, Adith Angwarmase, Dharma Angwarmase, Edek Janjaan. Kota Salatiga ada Bounty Crew. Sedangkan di Ambon ada Ghetto Flow, RTD, The Nunusaku Tribe, Mark Ufie, Kiki Latupapua, Rap 57 serta The New Saaru
Jauh sebelum Ambon digaungkan sebagai kota musik, mereka sudah lebih dulu membombardir kota dalam lagu yang bernafaskan kearifan lokal. Lirik-lirik satir, kritik sosial budaya serta hujaman rindu-rindu pada Tanah Maluku. Kehadiran MHC menjadi cikal bakal munculnya musisi beraliran Hip-Hip di Ambon
Puritan menjadi salah satu lagu pamungkas pada penampilan mereka malam itu. Puritan, tentang pemurnian seperti mengajak kembali orang Maluku pada falsafah hidup pela gandong atau persaudaran yang diajarkan para tetua dahulu. Bahwa dalam berbagai hal kehidupan orang Maluku berada dalam naungan para leluhur. Arahan, pola hidup serta nasihat nasihat atau kapata di dalam lirik lagu garapan Morika Tetelpta dan Frans Hayaka Nendisa itu kemudian menjadi soundtrack film Cahaya Dari Timur, Beta Maluku itu dilantunkan kembali dihadapan ratusan warga kota.
ADVERTISEMENT
Lirik Puritan amat kaya dengan bahasa tana sebagai akar hidup orang Maluku sangat kental dalam karya karya jenius MHC. Hidup mereka adalah hiphop, yang menghidupi tiap ekosistem di sekelilingnya. Konsistensi berkarya, materi lirik sampai produksi dikerjakan kolektif oleh para member MHC. "Dulu kita akali bikin pop filter dari stoking harga lima belas ribu rupiah dan kawat hanger," kata Morika Tetelepta usai tampil di panggung KAMI.
Perjuangan dalam bermusik mereka lalui bersama di home studio di Rumatiga, Karang Panjang studio rekaman Perigi lima hingga Lateri. Masa-masa dibayar dengan nasi bungkus hingga amplop atau satu rantangan untuk 15 orang sudah khatam dilalui. Dan tentunya hasil tidak pernah menghianati proses. Lagu lagu ciptaan sendiri yang organik, menyentuh lapisan hidup, membongkar paradigma dan mental pun tercipta.
ADVERTISEMENT
Namun ada satu masa penting dalam perjalanan bermusik mereka. Yakni saat kepergian seorang sahabat, perekat sesama anggota MHC serta kehilangan file data lagu. Masa transisi peralihan hidup masing masing personil juga jadi salah satu alasan masa vakum MHC di atas panggung. Ada yang baru lulus kuliah, bekerja, lanjut sekolah dan menikah.
"Masa emas ada di panggung itu sekitar 2011 sampai 2012," ungkap Mark Ufie anggota MHC yang bergabung 6 bulan setelah MHC dibentuk.
Tercatat mereka pernah tampil di Taman Ismail Marzuki acara Indonesia Kita, Beta Maluku pada tahun 2011. Ditahun yang sama MHC meluncurkan album dengan komposisi 10 track lagu di Erasmus huis Jakarta. Album tersebut diproduseri oleh Glen Fredly. Kemudian tampil di FX Sudirman, acara Pancasila Rumah Kita, hingga Soulnation di tahun yang sama.
ADVERTISEMENT
Bagi mereka Hiphop tak sebatas ada di jalur kontrol sosial dan pengingat bagi masyrakat Maluku tapi juga penggerak aksi kemanusiaan. Berbagai kegiatan amal mereka ikuti demi menyuarakan kemanusiaan. Seperti mini konser Save Alicia penderitahydrocephalus tahun 2010 Dan konser Save Aru bersama Boi Akih pada 2013.
"Kita juga jadi artis pendukung Trotoart sejak 2012 sampai 2014," lanjut Mark. Pada peringatan haru musik, mereka juga punya harapan besar pada kebangkitan musik di Maluku.
Memang ada baiknya musik dan kiprah para musisi tidak dipandang layaknya kapal selam yang timbul tenggelam, musisi Maluku punya tugas yang jauh lebih besar dari sekadar tampil di panggung dan memberi gaung. Pencanangan Ambon sebagai kota Musik meninggalkan jejak fakta ironi. Musik harusnya bukan jadi hiburan semata. Musik harus bisa menghidupi para musisinya. "Tidak ada lapangan pekerjaan bagi anak anak. Mereka akhirnya menyerah. Bukan cuma bisa main dari cafe ke cafe saja," celetuk Morika.
ADVERTISEMENT
Kalimat itu punya seruan yang emosional tentang realita musisi di kota Ambon. Pemerintah seharusnya membenahi sistem dan membuka peluang dalam bermusik. sementara musisinya, terus melakukan hal kreatif dan tidak berhenti berkarya.
Di akhir perform, Morika sempat berorasi dihadapan warga kota. "Ada banyak sekali bahasa daerah di Maluku yang punah,". Ucapanya di atas panggung. Jadi kalau bisa, lestarikan bahasa kita.
Reporter : Priska Akwila