Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Pencemaran Lingkungan Gunung Botak di Pulau Buru Capai Ambang Batas
26 Oktober 2018 17:17 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Kondisi Tambang Emas Ilegal Gunung Botak di Kabupaten Buru (FOTO:Istimewa)
ADVERTISEMENT
Ambon,- Sejak 2012 hingga 2018, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Pemerintah Maluku telah memantau pertambangan Gunung Botak di Pulau Buru. Hasilnya, Komnas HAM menemukan percemaran lingkungan dan pelanggaran HAM di lokasi tersebut.
“Kita lihat dampak lingkungan di Gunung Botak saat ini sudah di ambang batas,” kata Staf Komnas HAM Perwakilan Maluku, Yuli Toisuta, Kamis (25/10).
Setelah dilakukan pengamatan lapangan pada 22-25 Oktober 2018, ia melihat kerusakan lingkungan yang parah akibat pertambangan liar di Dusun Anahoni dan Dusun Wamsait (Gunung Botak).
Hal ini ditandai dengan mengeringnya tanaman sagu yang berada disekitar wilayah tambang, dan kematian ternak sapi dan kerbau di pesisir sungai Kayely. Sementara pemerintah provinsi dan kabupaten belum pernah melakukan uji laboratorium terhadap air, tanah dan udara, termasuk uji darah dan rambut manusia. Hanya penelitian oleh ahli-ahli kimia secara independen.
ADVERTISEMENT
“Temuan lainnya, sampai saat ini belum ada peraturan daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten yang mengatur tentang pengelolaan pertambangan minerba di Provinsi Maluku khususnya yang terkait wilayah pertambangan rakyat,” ujarnya
Semua berawal pada November hingga Desember tahun 2012, setidaknya ada tiga bentrokan yang terjadi antara warga bermarga Wataemon dengan masyarakat dari Pulau Ambalau karena memperebutkan tambang emas di Gunung Botak. Pada bentrokan yang ketiga, pasukan pengamanan dari Pasukan Raider Kodam XVI/Pattimura harus turun tangan menenangkan amukan warga.
Berlatar belakang peristiwa tersebut, Komnas HAM meminta Gubernur Maluku, Said Assagaff, dan Pemerintah Kabupaten Buru, untuk menutup aktivitas penambangan liar di Gunung Botak. Lalu terbitlah, surat Penegasan Pelaksanaan Instruksi Gubernur Maluku No. 017/12 tanggal 18 Februari 2013, tentang Penutupan Kegiatan Penambangan dan Penanganan Penataan Kawasan Gunung Botak di Kabupaten Buru.
ADVERTISEMENT
Namun, proses penutupan tambang tidak bertahan lama, pada Maret 2013 para penambang dari berbagai daerah wilayah Indonesia berdatangan kembali ke Kabupaten Buru untuk mengadakan kegiatan penambangan emas di Gunung Botak. Berbekal “karcis” yang diterbitkan oleh pihak yang menamakan dirinya “Dewan Adat” dengan harga jual Rp 525 ribu per orang yang berlaku selama tiga bulan.
Lalu, pada tahun 2014, Komnas HAM Perwakilan Maluku dilibatkan dalam Tim Penutupan dan Penertiban Tambang Emas Liar di Gunung Botak, Tim ini dibentuk oleh gubernur setelah adanya Instruksi Presiden Jokowi.
“Penutupan tersebut tidak bertahan lama karena Penambang Liar di Gunung Botak kembali beraktivitas. Hal ini mengakibatkan pada 3 November 2014 terjadi konflik antar penambang yang menewaskan sekitar tiga orang penambang, dan untuk menangani konflik tersebut Polres Pulau Buru mengerahkan sebanyak 125 personil,” kata Yuli.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, belum ada perda soal pertambangan yang perspektif lingkungan dan HAM. Hasil temuan tersebut dan masukan dal dikaji untuk mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah dan pihak terkait. (Amar)