Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Putus Mata Rantai Bisnis Merkuri dan Sianida di Buru
28 Oktober 2018 20:05 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Ambon,-Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah maupun aparat keamaan untuk menutup tambang liar Gunung Botak dari aktivitas pertambangan. Namun, faktanya hingga sekarang aktivitas yang sudah mencemari lingkungan tersebut masih berlangsung.
ADVERTISEMENT
Untuk menghentikannya, ahli kimia dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Univesitas Pattimura, Dr Yusthinus Theodorus Male mengajukan sejumlah usulan. Pertama, aparat kepolisian harus memutus mata rantai bisni penjualan zat berbaya merkuri dan sianida.
“Jangka pendek. Ini kepentingan sangat besar diantara sianida dan merkuri. Kalau diputuskan, semua penambang tanpa disuruh pun berbaris untuk pulang. Kecuali pakai panci untuk mendulang, tapi sulit dapat emas. Lagi pula sungai yang dulunya sebagai lokasi mereka mendulang pakai panci sudah jadi daratan,” ungkap Male.
Setelah itu, kata dia, penutupan total Gunung Botak. Pemerintah daerah perlu membuat Crisis Center yang berisi pakar di seluruh bidang keilmuan untuk mengkaji secara independen kandungan emas di kawasan itu.
ADVERTISEMENT
Apabila deposit emas di Buru hanya sedikit dan tidak memnerikan dampak ekonomi yang besar bagi Maluku, harus direkomendasikan agar tidak dibuka lagi. Hal ini dinilai penting, karena berdasarkan peta geologi pulau Buru, tidak ada kandungan emasnya.
Namun, jika memiliki deposit emas melimpah, Gunung Botak tetap dibuka. Lalu, dilakukan pengolahan secara terututup dan ramah lingkungan.
“Satu lokasi khsusus, sistem pengolahan tertutup dan ramah lingkungan. Material yang dibawa lalu limbahnya ditampung di tempat khusus sehingga kita bisa pulihkan trauma ini,” katanya.
Selain kandungan emas, para ahli juga meniliti dampak pencemaran akibat merkuri dan sianida serta dampak sosial, budaya, ekonomi kesehatan dan pendidikan.
Sementara itu, menurut Staf Badan Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu Maluku, Robinson, perlu ada kajian independen dari para pakar dan ahli yang difasilitasi oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
“Kalau bisa seperti Freeport dalam janga waktu 3-40 tahun ke depan, silakan. Tapi, kalau cuman sebatas deposit tidak banyak, saya kira tutup total saja. Kita alih fungsikan masyarakat ini seperti keadaan semula atau sebelum pertambangan dibuka. Tapi tentu melalui penelitian komprehensif,” usul Robinson. (Amar)