Konten Media Partner

Tarik Ulur Pembahasan RUU Daerah Kepulauan

11 Januari 2019 20:26 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tarik Ulur Pembahasan RUU Daerah Kepulauan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Wakil Gubernur Maluku, Zeth Sahuburua mewakili kepala daerah 8 provinsi kepualauan menyerahkan aspirasi pengesahan RUU Daerah Kepulauan jadi UU ke Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, Juli 2018.
ADVERTISEMENT
Ambon,-Tanggal 11 Agustus 2005 adalah momentum bersejarah bagi Maluku dan enam provinsi kepulauan lainnya, yakni Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Hari itu, 14 tahun lalu di Gedung Baileo Siwalima Karang Panjang, Jalan RA Kartini, gubernur dan ketua DPRD dari tujuh provinsi menggelar Deklarasi Ambon.
Dalam deklarasi tersebut, tujuh pemerintah provinsi wilayah kepulauan itu meminta pemerintah pusat mewujudkan implementasi pengakuan yuridis wilayah kepulauan melalui regulasi dan program yang dibutuhkan guna percepatan pembangunan. Pemerintah pusat juga diminta memberi perlakuan secara khusus dan proporsional dalam bentuk dukungan dan penetapan alokasi anggaran sesuai karakteristik wilayah kepulauan.
Mereka juga menuntut dilakukannya amandemen Undang-undang Nomor 32 tentang pemerintah daerah. Pemerintah diminta untuk mengacu Deklarasi Juanda Tahun 1962 yang diakui internasional bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago state).
ADVERTISEMENT
Deklarasi Ambon jadi titik awal perjuangan panjang pengakuan provinsi kepualaun lewat sebuah Undang-Undang (UU). Setelah dideklarasikan, gagasan provinsi kepulauan diluncurkan di Jakarta pada pertengahan September 2005.
Dua tahun kemudian, deklarasi Ambon belum membuahkan hasil apa-apa. Pada 2008, dibentuklah Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan (BKPK) untuk menyusun sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Daerah Kepulauan.
RUU ini diajukan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) oleh gubernur-gubernur dari provinsi tersebut pada 2011 silam. Gamawan Fauzi, Mendagri saat itu merespon positif.
RUU tersebut kemudian disebut RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan (RUU PPDK). RUU ini disahkan oleh DPR pada 2012, namun ditolak oleh Kemendagri. Pemerintah berdalih, poin-poin dalam RUU tersebut dicantumkan dalam UU Pemerintah Daerah.
ADVERTISEMENT
Penolakan ini menimbulkan reaksi, terutama dari masyarakat Maluku. Wakil Ketua Pansus RUU PPDK, almarhum Alex Litaay kecewa dengan sikap pemerintah kala itu.
Menurut Alex, tujuan RUU PPDK pada dasarnya meminta keadilan dan perubahan dalam cara pandang terhadap negara kepulauan Indonesia. Selama ini pemerintah pusat cenderung berpikir tentang pembangunan infrastruktur daratan. APBD dihitung hanya berdasarkan luas daratan.
Tak hnaya para legislator, rakyat dan pemerintah daerah Maluku juga kecewa. Kekewaan ini diekspresikan lewat beberapa kali demonstrasi di Kota Ambon, hingga isu Maluku jadi negara sendiri dan tuntutan Otonomi Khusus (Otsus) seperti Papua dan Aceh.
Meski ditolak, DPR dan DPD tetap memperjuangkannya. Atas inisiatif DPD RI, RUU tentang Daerah Kepualaun (dalam Prolegnas 2015-2019, tertulis: RUU tentang Penyelenggaraan Pemerintah di Wilayah Kepulauan) masuk Progam Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018.
ADVERTISEMENT
Pada Juli 2018, wakil gubernur Maluku dan bupati/walikota se-Maluku bertemu pimpinan DPR RI untuk meminta RUU Daerah Kepulauan disahkan. Kala itu, wakil ketua DPR, Fahri Hamzah mengatakan, akan disahkan akhir 2018 atau paling lambat sebelum akhir periode pada September 2019.
Wakil Ketua Pansus (RUU) Kepulauan, Mercy Barends mengatakan, Pansus RUU Kepulauan hingga kini masih dalam tahap pembahasan tingkat pertama. Dari 10 fraksi yang ada, hanya tiga yang tidak memberikan pendapat dan persetujuan.
Fraksi Hanura tidak menghadiri rapat sehingga tidak memberikan dukungan ataupun persetujuan. Selain itu, fraksi Gerindra dan PAN hadir tapi tidak memberikan pendapat bahkan persetujuan. Sementara tujuh fraksi lainnya memberikan pendapat dan persetujuan.
Menurutnya, meskipun tiga fraksi tersebut tidak memberikan pendapat serta persetujuan terhadap kerja pansus, namun pansus tetap jalan. Karena, tujuh fraksi telah memberikan dukungan penuh itu telah memenuhi jumlah minimum anggota yang hadir.
ADVERTISEMENT
“Tujuh fraksi telah memberikan dukungan penuh hingga RUU Kepulauan ini disahkan. Jadi, resmi telah disahkan mekanismenya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mulai tahap pembahasan tingkat pertama,” kat Mercy di Ambon, November 2018 lalu.
Yang dilakukan sekarang, kata anggota komisi VII DPR RI itu adalah meminta tanggapan dari berbagai kalangan, baik dari para ahli di bidang kelautan, keuangan, perikanan, masyarakat pulau kecil dan lain-lain sebagai masukan bagi kerja pansus RUU Kepulauan.
Selain itu, pihaknya juga melakukan kunjungan di provinsi kepulauan. Sudah dua kali dilakukan kunjungan, dimana pada gelombang pertama ke Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tenggara dan Bangka Belitung.
Kerja pansus akan berlangsung sepanjang RUU ini belum disahkan menjadi UU masuk didalam prolegnas. Proses penyelesaiannya sudah diperpanjang sebanyak dua kali. Sebelumnya telah dibahas dan disepakati dalam paripurna pada 5 Desember 2017 untuk masuk pada Prolegnas 2018.
ADVERTISEMENT
“Bulan lalu telah disepakati juga masuk dalam prolegnas 2019. Jadi telah aman, artinya sepanjang dalam periodesasi kita, RUU ini harus diupayakan agar betul-betul tuntas,” tandasnya.
Sementara itu, dalam pertemuan dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Maluku, Kamis (10/1), Wakil Gubernur Zeth Sahuburua dan sejumlah tokoh agama kembali mengingatkan pentingnya pengesahan RUU Daerah Kepulauan. Wakil gubernur berharap, legitimasi Maluku sebagai provinsi kepulauan bisa secepatnya diputus pemerintah pusat.
Pasalnya hal ini juga terkait dengan alokasi anggaran yang harus diterima Provinsi Maluku dan provinsi kepulauan lainnya.
“Selama ini, pembagian dana alokasi umum hanya mengacu pada luas daratan dan jumlah penduduk. Bayangkan betapa sulitnya membangun di daerah berkarakteristik kepulauan dengan luas daratan kurang dari 10 persen,” ujar Sahurua.
ADVERTISEMENT
Menyikapi berbagai tanggapan dan masukan dari masing-masing pimpinan instansi pemerintah terkait, anggota Wantimpres Yahya Cholil Staquf menyatakan pihaknya tentu akan menyampaikan kepada presiden. Baginya, pandangan ini sangat penting untuk menjadikan Maluku sebagai basis strategis kelautan di Indonesia.
“Soal paradigma tentang pembagian wilayah provinsi, selama ini memang wilayah ini hanya diukur dari daratannya saja. Asusmsi kewilayahan ini akan kami sampaikan ke presiden,” akuinya.
Posisi Tawar Lemah
Pengamat politik Universitas Pattimura (Unpatti) Said Lestaluhu menilai, terdapat banyak faktor yang jadi penyebab belum disahkannya RUU Daerah Kepulauan menjadi UU. Salah satunya, masih lemahnya posisi tawar (begaining) politik Maluku di pusat.
Maluku hanya memililki 8 wakil di lembaga legislatif, yakni 4 anggota DPR dan 4 anggota DPD. Dengan jumlah yang sedikit ini, maka akan sulit mempengaruhi kebijakan di kedua lembaga tersebut.
ADVERTISEMENT
“Memang, kita masih lemah soal posisi tawar ini karena jumlah wakil rakyat kita sedikit. Itu dari posisi taear politik,”kata Said ketika dimintai pendapat oleh ambonnesia.com, Jumat (11/1).
Said mengapresiasi wakil rakyat Maluku di DPR maupun DPD yang masih terus memperjuangkan RUU Kepulauan. Tetapi menurut dia, perlu dukungan masyarakat Maluku secara keseluruhan.
“DPR tidak bisa bergerak sendiri. Perlu dukungan dan gerakan dari seluruh elemen masyarakat Maluku. Baik yang di Maluku maupun di Jakarta,”tandasnya.
Pansus RUU Kepulauan bertekad mengesahkannya sebagai UU paling lambat akhir periode 2019. Menurut Said, hal itu sangat tergantung dari dinamika politik 2019 nanti.
Bila para pimpinan DPR dan pimpinan serta anggota Pansus masih tetap terpilih, kemungkinan bisa disahkan dalam tahun. “Sebaliknya, jika mereka tidak terpilih lagi, dan ditambah dengan situasi politik yang tidak mendukung, maka saya kira hal itu (pengesahan RUU Kepulauan jadi UU) akan sulit dilakukan,”ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Olehnya itu, ia mengingatkan DPR, terutama Pansus agat tetap komitmen memperjuangkan pengesahan RUU Kepulauan jadi UU. Jangan hanya menjadikannya sebagai isu, terlebih bahan kampanye untuk mempengaruhi masyarakat pemilih.
“Di satu sisi kita mendukung dan memberikan apresiasi karena RUU ini masih ada kelanjutannya setelah sempat ditolak oleh pemerintah. Tetapi di sisi lain, kita berharap sekaligus mengingatkan, jangan jadikan perjuangan pengesahan UU Kepulauan ini hanya sebagai komoditi politik,” tuturnya. (Amar)