Anak Muda dan Mitos soal Politik

Ambrosius Emilio
Mahasiswa UPN Veteran Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Ilmu Politik
Konten dari Pengguna
28 Oktober 2021 14:26 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ambrosius Emilio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. (Suasana massa mahasiswa saat demo di depan gedung DPR RI, Jakarta, pada Selasa (24/9/2019). Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. (Suasana massa mahasiswa saat demo di depan gedung DPR RI, Jakarta, pada Selasa (24/9/2019). Foto: Helmi Afandi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tentu kita sering atau setidak-tidaknya pernah mendengar jargon “Pemuda! jangan takut terjun ke dunia politik” yang acap kali dilontarkan oleh para politikus. Sebuah jargon yang seakan merupakan untaian solusi di dalam menangani masalah bangsa, akan tetapi memiliki potensi untuk menjerumuskan pada kehendak akan kuasa dari politikus itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, jargon tersebut sangat layak untuk dipersoalkan. Tak semata hanya menjadi jargon epik bagi para pembual, melainkan pula konsepsinya mengenai terma politik yang dimengerti hanya sebatas persoalan birokrasi, jabatan di parlemen, posisi dalam partai, maupun suksesi kekuasaan. Jika politik hanya dimengerti demikian, maka tak berlebihan apabila dikatakan pemaknaan atasnya menjadi sempit.
Penyempitan makna inilah yang kemudian menjadi pintu masuk bagi konotasi peyoratif atas politik. Akibatnya, konstruksi makna mengenai “anti-politik” menggema dalam realitas kehidupan sehari-hari. Hal ini berimbas pula bagi yang-muda ketika menggubris terma politik ini. Tak hanya sekali dua kali, penulis kerap mendapati mereka yang-muda tatkala melihat fenomena seperti KKN maupun konspirasi selalu dilekatkan pada terma politik.
Padahal politik tak sekadar demikian. Seburuk apapun kita (terutama bagi yang-muda) mengkonotasikan terma politik, politik niscaya dibutuhkan, bahkan sudah berkelindan erat dalam kehidupan sehari-hari. Maka, penting kiranya untuk mengkonstruksi ulang mengenai terma politik sekali lalu keterkaitannya dengan yang-muda.
ADVERTISEMENT
Dalam mengkonstruksi ulang terma politik beserta keterkaitannya dengan yang-muda, menjadi hal yang perlu bagi diajukannya beberapa pertanyaan krusial seperti berikut: Sebenarnya apa yang dimaksud sebagai politik? Bagaimana keterkaitan antara yang-muda dengan politik?

Pemuda atau Anak Muda?

Sebelum memasuki inti persoalan, sekiranya penting untuk menyibak pemaknaan mengenai “pemuda” dan “anak muda”. Hal ini dikarenakan kedua terma tersebut kerap dipertukarkan secara bergantian seakan pemaknaannya simetris.
Perlu diperhatikan secara prinsipil bahwa tak semua mereka yang-muda senang apabila mendapatkan identifikasi sebagai “pemuda”. Meskipun terma “pemuda” pada awalnya dapat dikatakan netral, akan tetapi keengganan dari mereka yang-muda dijuluki sebagai “pemuda” dapat dimungkinkan pada kecenderungan campur tangan otoritas dalam hal pemaknaan mengenai “pemuda” di luar kendali mereka sendiri sebagai yang-muda. Mulai dari organisasi paramiliter hingga kelompok orang muda yang diinisiasi oleh partai politik tertentu tercatat pernah menancapkan terma “pemuda” ini.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah bangsa, mereka yang-muda dari setiap generasi (generasi sebagai sebuah konstruksi sosial yang di dalamnya memiliki kesamaan umur dan pengalaman historis yang sama, seperti yang diungkapkan oleh Karl Mannheim) hampir pasti selalu melawan secara konkret segala bentuk campur tangan otoritas yang cenderung membelenggu. Seakan menjadi pertanda bahwa mereka jauh lebih hidup dibanding hanya sekadar klaim “pemuda penerus, pemersatu, dan harapan bangsa” yang dilantunkan oleh otoritas tersebut.
Maka dari itu, menyatakan mereka yang-muda dengan sebutan “anak muda” tanpa embel-embel apa pun tampaknya jauh lebih tepat. Terma “anak muda” kemungkinan besar dapat diterima oleh yang-muda dikarenakan aktualitas dari tindakannya secara konkret diarahkan kepada yang-muda itu, ketimbang terma “pemuda” yang sarat beban makna dikarenakan kerap disetir oleh otoritas di luar mereka.
ADVERTISEMENT

Politik sebagai Upaya Mewujudkan Kebaikan Bersama

Tanpa masuk ke dalam struktur birokrasi maupun partai politik, disadari atau tidak, sebenarnya kita (secara luas sebagai manusia) niscaya berhubungan dengan politik.
Dunia yang diibaratkan sebagai “dunia-kehidupan” berkelindan erat dengan pemaknaan, sehingga memungkinkan untuk terciptanya sebuah realitas subjektif maupun intersubjektif. Sesuatu berkenaan dengan realitas subjektif sejauh ia menyangkut hubungannya dengan keyakinan serta perasaan individual, sedangkan realitas intersubjektif berkaitan dengan pemaknaan kolektif mengenai sesuatu. Tanpa perlu diduga, sebenarnya “dunia-kehidupan” sangat amat ditentukan oleh realitas intersubjektif ini.
Intersubjektivitas mengandaikan asosiasi di dalamnya. Asosiasi menjadi watak bagi sosialitas: kecenderungan manusia untuk berhimpun dan bekerja sama, berinteraksi dalam memproduksi formasi makna bersama, pijakan untuk memberi bentuk bagi “dunia-kehidupan” (Al-Fayyadl, 2016).
ADVERTISEMENT
Agar kelangsungan hidup dapat terjaga dan kebaikan bersama dapat terwujud (sebagai konkretisasi dari asosiasi), manusia lalu membentuk sebuah norma yang kemudian berevolusi menjadi institusi, dan institusi berkembang menjadi sebuah negara. Akan tetapi, jangan dibayangkan apabila pasca terbentuknya negara maka usai sudah semua problem yang menyangkut upaya untuk terus mewujudkan kebaikan bersama dalam “dunia-kehidupan”. Negara hanya sekadar menjadi piranti kompleks (tak hanya sekadar norma dan institusi) bagi manusia guna mewujudkan kebaikan bersama dalam “dunia-kehidupan” itu.
Bermula pada penciptaan norma hingga pengawalan guna mewujudkan kebaikan bersama melalui negara itulah sebenarnya dapat dikatakan sebagai tindakan politik atau berhubungan dengan yang-politik. Akan tetapi, dengan menyatakan demikian bukan berarti semua hal ialah politik, jika semuanya politik, maka tak ada lagi yang disebut sebagai politik. Lalu, secara spesifik sebenarnya apa itu politik?
ADVERTISEMENT
Terma politik dapat ditelisik melalui filosof Athena Kuno, yakni Aristoteles. Ia menyebut manusia sebagai makhluk yang berpolitik atau zoon politicon. Konsepsi zoon politicon mengacu pada tindakan manusia dalam memberdayagunakan kehidupannya guna meraih kebaikan bersama. Hal ini dimungkinkan karena manusia tak sebatas hanya berperilaku instingtif, melainkan pula memiliki perangkat bahasa maupun pengetahuan (logos) yang berguna bagi kehidupannya, karena itu zoon politicon selalu identik dengan zoon logon echon.
Berangkat dari terma zoon politicon, salah seorang teoritikus politik wanita berkebangsaan Jerman, Hannah Arendt, kemudian mengembangkannya menjadi sebuah konsepsi bagi terciptanya ruang publik sebagai aktualisasi dari politik. Bagi Arendt, politik ialah sebuah wahana tindakan. Apa yang disebut sebagai tindakan selalu terpaut dengan kebebasan dan pluralitas, sehingga kedua hal tersebut menjadi fundamen bagi politik. Karena mengandaikan kebebasan dan pluralitas di dalamnya, menjadi konsekuensi apabila politik imperatif menciptakan ruang publik. Ruang ini bagi Arendt selalu mengandaikan dua hal, yaitu “ruang penampakan” dan “dunia bersama”. Ruang publik sebagai “ruang penampakan” diartikan sebagai segala hal yang nampak di publik dan dapat dilihat dan didengar oleh siapapun tanpa terkecuali. Ruang publik sebagai “ruang penampakan” secara jelas memisahkan hal yang tidak relevan dengan kepublikan sebagai “masalah privat”. Ruang publik sebagai “dunia bersama” dipahami sebagai dunia yang umum atau sama bagi kita semua manusia, yang sungguh berbeda dari tempat privat kita di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Dikarenakan apa yang seharusnya menjadi ruang publik kerap diterobos oleh kepentingan privat yang hadir melalui perilaku partikularisme (meskipun perilaku manusia cenderung mengarah pada asosiasi namun perlu diakui pula bahwa fenomena partikularisme kerap terjadi), maka realisasi atas kembalinya ruang publik sebagai “dunia bersama” yang setara (sebagai konsekuensi dari kebebasan dan pluralitas) patut diajukan sebagai tawaran. Realisasi atas kesetaraan mengejawantah dalam konsepsi politik yang diandaikan oleh pemikir kidal Perancis, Jacques Ranciere. Menurutnya, politik ialah upaya verifikasi terhadap kesetaraan, the-wrong melakukan gangguan terhadap tatanan dominan yang oligarkis-partikular. The-wrong identik dengan mereka yang tak terhitung, sehingga tatkala mereka mencoba untuk memverifikasi kesetaraan dikarenakan tak pernah diperhitungkan pada tatanan dominan yang oligarkis-partikular itu, konsepsi Ranciere mengenai politik menjadi relevan. Politik menjadi semacam perjuangan terhadap pengakuan atas kesetaraan dari mereka yang tak terhitung.
ADVERTISEMENT
Dari hal demikian, maka terma politik dapat disarikan menjadi tiga hal yang mendasar, yakni:
Pertama, politik sebagai daya guna bagi perwujudan kebaikan bersama. Yang dimaksud dari kebaikan bersama bukan dimengerti sebagai kebaikan yang datang dari “the-majority”, melainkan kebaikan sebagai “the-good”. Yang dimaksud dari "the-good" ialah kebenaran, keadilan, kesejahteraan, dan kemanusiaan. Jadi, daya guna bagi perwujudan kebaikan bersama berkelindan erat dengan upaya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai seperti kebenaran, keadilan, kesejahteraan, dan kemanusiaan.
Kedua, politik sebagai ranah publik. Karena politik bersifat publik, maka menjadi sebuah konsekuensi logis dan praktis apabila persoalan partikularisme tak masuk ke dalamnya. Hal-hal seperti sifat chrematistike, identitas partikular, dan kehidupan rumah tangga yang tak berhubungan dengan kepublikan dapat dinyatakan tak relevan bahkan cenderung berbahaya bagi politik. Sejauh suatu hal dapat dikatakan sebagai politik, maka ia selalu terikat dengan lingkup publik.
ADVERTISEMENT
Ketiga, politik sebagai perjuangan atas kesetaraan. Harus diakui bahwa kerap terjadi fenomena penerobosan kepentingan privat terhadap ruang publik, sehingga mengakibatkan kerugian atas kesetaraan, nilai yang inheren terkandung dalam ruang publik. Hal ini dimungkinkan karena berlakunya proses eksklusi bagi mereka yang dianggap tak dibutuhkan atas perilaku partikularisme. Guna mengembalikannya pada tataran public-sphere beserta makna yang inheren terkandung di dalamnya, maka dimungkinkan apabila dilakukannya gangguan atas perilaku partikularisme tersebut.

Antara Anak Muda dan Politik

Apabila politik telah ditemukan, bukan menjadi hal yang tabu apabila anak muda kerap berpolitik. Apa yang disebut sebagai politik tak hanya sekadar persoalan birokrasi, jabatan di parlemen, posisi dalam partai, ataupun suksesi kekuasaan. Lebih dari itu, politik ialah soal bagaimana kebaikan bersama dapat terwujud melalui prinsip substansial kepublikan.
ADVERTISEMENT
Sekiranya dapat dikatakan bahwa anak muda dari berbagai generasi hampir pasti selalu concern terhadap hal demikian.
Jika dahulu Soekarno muda berpidato dalam rapat Radicale Concentratie yang menjadi penanda penting bagi pergerakan anti-kolonial dapat dilekatkan pada terma politik. Untuk saat ini, politik lekat pula pada anak muda seperti Salsabila Khairunisa yang mengupayakan perlindungan terhadap masyarakat adat dan kelestarian hutan (tanpa bermaksud mengkerdilkan upaya anak muda lainnya dalam hal mewujudkan kebaikan bersama melalui prinsip substansial kepublikan).
Selama anak muda hadir dalam upaya mewujudkan kebaikan bersama melalui prinsip substansial kepublikan, selama itulah ia berpolitik. Terlampau banyak contoh konkret peran anak muda saat ini dalam upayanya mewujudkan kebaikan bersama melalui prinsip substansial kepublikan, sehingga niscaya akan menemukan kesulitan apabila dirinci satu-persatu.
ADVERTISEMENT
Jikalau demikian, apakah benar pernyataan bahwa anak muda selalu diandaikan bergidik di hadapan politik?