Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Antinomi Pancasila: Antara Ideologi dan Bukan Ideologi
30 September 2021 13:43 WIB
Tulisan dari Ambrosius Emilio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Dukuh Paruk”.
Disanalah tempat yang dilukiskan oleh Ahmad Tohari sebagai pengejawantahan dari ‘rumah’ sekelompok masyarakat pinggiran, terbelakang, terpencil, dan apolitis.
ADVERTISEMENT
Dari kondisinya itu, kemudian mereka tak disengaja untuk memasuki arena pergolakan politik yang menjadi legenda di pertengahan era 60-an, yaitu geger 65.
Peristiwa itu mengakibatkan pedukuhan tersebut hancur lebur, baik secara fisik maupun mental. Tak hanya demikian, masyarakat Dukuh Paruk dilabeli jua sebagai segerombolan penjahat yang ingin merongrong negeri ini. Membuat kemanusiaan dipaksakan tetap eksis sementara kemanusiaan itu sendiri hilang entah kemana. Peristiwa anti-kemanusiaan inilah yang kelak dimainkan oleh oknum tertentu sebagai pemakluman atas nama 'Kesaktian Pancasila'.
Alih – alih kekerasan yang 'ter-legitimate' atas nama 'Kesaktian Pancasila' itu dapat diperbincangkan sekaligus diselesaikan, hari – hari ini justru muncul sebuah pengkultusan terhadap Pancasila yang dijadikan sebagai ideologi bangsa Indonesia (berimplikasi pada pelabelan secara serampangan yang dilakukan oleh elit politik tertentu beserta para pendengungnya dengan mengatasnamakan ideologi Pancasila).
ADVERTISEMENT
Klaim ini justru sangat layak untuk dipertanyakan kembali. Dengan pengkultusan Pancasila sebagai sebuah ideologi, justru kita akan terlempar keluar dari diskursus yang beragam mengenai ideologi itu sendiri, yang kemudian memiliki konsekuensi pada absennya pemahaman kita mengenai ideologi secara utuh. Tak hanya itu, pengkultusan tersebut juga mengurung kemungkinan – kemungkinan lain yang memiliki potensialitas untuk hadir dalam perbincangan mengenai Pancasila akhir - akhir ini.
Lalu, bagaimana semua hal tersebut dapat dibahasakan?
Sebelum memasuki inti persoalan, pertama – tama penulis ingin menawarkan sebuah kaidah berpikir yang akan menjadi landasan dari keseluruhan isi tulisan ini.
Dengan memahami logika, kita hampir pasti menjadikan logika klasik sebagai kerangka acuan. Implikasi yang muncul dari logika klasik ini terdiri dari dua proposisi; benar dan salah. Proposisi benar-salah tersebut bertanggung jawab terhadap munculnya tiga aksioma:
ADVERTISEMENT
Pertama, prinsip persamaan, segala sesuatunya identik satu sama lain (A=A).
Kedua, prinsip non-kontradiksi, menunjukkan sesuatu itu senantiasa tidak sama atau berbeda dengan selain dirinya (A≠A).
Ketiga, prinsip penyisihan jalan tengah, menunjukkan tak ada alternatif lain diantara kedua hal tersebut.
Dari konsepsi logika klasik seperti yang disebutkan diatas tentu sangat berdampak terhadap kelahiran kerangka berpikir yang dikotomis. Segala hal diharuskan memiliki posisi yang jelas, baik hitam ataupun putih. Sehingga apa yang disebut sebagai kontradiksi dianggap keliru dan tak bermutu.
Namun, apabila kita menengok pada sebuah paradoks pembohong, yang menyatakan demikian: “’kalimat ini salah’. Jika pernyataan tersebut kita nyatakan salah, berarti kalimat itu pada dasarnya benar. Akan tetapi jika pernyataan tersebut kita nyatakan benar, berarti kalimat itu pada dasarnya salah dikarenakan isinya memang demikian”.
ADVERTISEMENT
Jika seperti itu, maka kontradiksi tidak dapat selamanya keliru dan tak bermutu. Ada hal – hal tertentu yang kadangkala bisa benar sekaligus salah seperti contoh diatas.
Kontradiksi dalam hal tertentu dapat diterima secara valid didalam logika. Namun, dengan membenarkan beberapa kontradiksi tentu akan berbeda hal-nya dengan mengatakan bahwa semua kontradiksi benar. Kontradiksi dapat diterima apabila argumen yang dikemukakan tak terlampau absurd.
Maka dari itu, muncul empat konsekuensi yang dihasilkan oleh kaidah berpikir yang menerina kontradiksi ini, yaitu; benar, salah, tidak benar dan tidak salah, benar sekaligus salah.
Lantas, bagaimana keterkaitan antara kaidah berpikir tersebut dengan rangkaian masalah yang sudah diajukan di muka?
Untuk menjawabnya, terlebih dahulu penulis akan memberikan sebuah pemaparan mengenai diskursus ideologi.
ADVERTISEMENT
Menurut konsensus umum, ideologi didefinisikan sebagai kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan guna mewujudkan kelangsungan hidup. Namun, apa benar definisi ideologi hanya sebatas itu ataukah ada definisi lain mengenai ideologi? Lalu, sejauh apa ideologi dapat didefinisikan atau jangan – jangan ideologi justru tak dapat didefinisikan?
Istilah ideologi pertama kali dimunculkan oleh salah seorang aristokrat Perancis yang bernama Antoine Destutt de Tracy pada tahun 1796. Ia mengelaborasikan kata idea (ide) dan logos atau logy (pengetahuan/diskursus). Secara historis, ia mengemukakan konsep ideologi tersebut ketika bereaksi terhadap rezim teror pasca revolusi Perancis dengan menyusun sistem ide rasional untuk menentang impuls irasional rezim teror pasca revolusi Perancis tersebut. Sekiranya terdapat dua hal yang mau didasarkan oleh de Tracy mengenai istilah ideologi itu. Pertama, sensasi yang diterima ketika berinteraksi dengan dunia material. Kedua, kemunculan sebuah ide akibat proses dialektis terhadap interaksi dengan dunia material tersebut.
ADVERTISEMENT
Kemudian, ketika Napoleon Bonaparte berkuasa, istilah ideologi digunakannya sebagai sebuah bentuk pelecehan terhadap musuh – musuh politiknya. Musuh – musuh politik dari Napoleon Bonaparte itu seringkali digambarkan sebagai seorang ideolog.
Usai kekuasaan Napoleon Bonaparte berakhir, buku The Elements of Ideology karangan de Tracy mulai memengaruhi berbagai macam pemberontakan; termasuk pemberontakan Carlist di Spanyol, pemberontakan Carbonari di Perancis, maupun pemberontakan Desembris di Rusia (Setiawan, 2021). Disaat inilah istilah ideologi mulai berserakan diantara berbagai macam denotasi positif maupun negatif.
Berikutnya, pada abad ke-19, ideologi didalam pemikiran Karl Marx (yang kemudian berkembang menjadi sebuah tradisi pemikiran Marxisme ortodoks) merupakan sebuah istilah yang merujuk pada serangkaian ide guna ‘menaturalkan’ status quo (ideologi sebagai false consciousness). Seperti apa yang dilantaskan oleh Slavoj Zizek didalam bukunya yang berjudul The Sublime Object of Ideology, “The most elementary definition of ideology is probably the well-known phrase from Marx’s Capital: ‘sie wissen das nicht, aber sie tun es’ – ‘they don’t know it, but they are doing it’ (Zizek, 1989). Dari sinilah, ideologi dilihat dari kacamata Marx maupun para Marxis ortodoks sebagai sebuah gejala simptomatik.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, sebagai kutub yang berseberangan dengan paham Marxisme ortodoks, tradisi liberal melihat ideologi sebagai sebuah doktrin politik yang sistematis dan mencakup segala hal, mengklaim telah memberikan suatu teori lengkap mengenai masyarakat yang dapat diterapkan secara universal guna pengambilan sebuah program atau tindakan politik. Maka dari itu, para kaum liberalis melihat bahwa pemerintahan otoritarian maupun totalitarian (yang berlawanan dengan ‘demokrasi liberal’) memerlukan ideologi guna melegitimasi tindakan mereka yang melulu mengurusi urusan privat individu.
Dengan kekayaan arti yang dimilikinya itu, mengatakan bahwa ideologi dapat didefinisikan merupakan sebuah kekonyolan.
Sebab definisi sendiri merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Latin, definire, yang berarti membatasi atau mengurung dalam batas – batas tertentu, definisi ialah spesifikasi dari arti.
ADVERTISEMENT
Jika kita mendefinisikan dengan berdasar pada salah satu arti mengenai ideologi, tentu arti – arti yang lain akan siap untuk membatalkannya menjadi sebuah definisi fix mengenai ideologi. Roh ideologi tak dapat di fix-kan menjadi makna tunggal.
Apabila ideologi tak dapat didefinisikan dengan argumentasi kekayaan arti yang simultan terkandung didalamnya, lalu sejauh apa Pancasila dapat dikatakan sebagai sebuah ideologi bangsa Indonesia?
Menyebut Pancasila sebagai ideologi maupun bukan ideologi merupakan sebuah hal yang problematik. Dengan kekayaan arti dari istilah ideologi itu sendiri, tak ada yang dapat menjamin apabila subjek tertentu mampu membuat definisi fix mengenai Pancasila sebagai ideologi ataupun bukan ideologi.
Dari kekayaan arti pada istilah ideologi itulah sebenarnya dapat mendedahkan sebuah pernyataan bahwa Pancasila merupakan ideologi sekaligus bukan ideologi bangsa Indonesia. Ia bukan sebuah dualisme, melainkan dualitas.
ADVERTISEMENT
Dimulai dari hal inilah, tabir dari pertanyaan mengenai keterkaitan antara kaidah berpikir yang menerima kontradiksi tersebut dengan rangkaian masalah yang diajukan oleh penulis diawal perlahan mulai tersingkap.
Selanjutnya, apa yang dimaksud sebagai dualitas tersebut dapat diungkapkan melalui argumentasi seperti ini:
Apabila kita menggunakan istilah ideologi seperti apa yang dikemukakan oleh de Tracy, maka tepat apabila Pancasila dikatakan sebagai ideologi.
Sebaliknya, jika kita menggunakan istilah ideologi menurut tradisi berpikir ala Marx/Marxis ortodoks maupun liberal, maka tak tepat apabila Pancasila dikatakan sebagai ideologi.
Akan tetapi, kedua hal (baik sebagai ideologi ataupun bukan) tersebut berada didalam satu kesatuan utuh yang terdapat pada sebuah penanda ideologi. Maka dari itu, tak bisa dikatakan secara tunggal semata bahwa Pancasila mutlak sebagai ideologi ataupun bukan ideologi.
ADVERTISEMENT
Kemudian, bagaimana dualitas itu dapat dimungkinkan?
Pancasila nampak sebagai ideologi yang berlandaskan pada konsepsi ideologi menurut de Tracy terlihat ketika Bung Karno bertanya “apakah ‘Weltanschauung’ kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?” didalam pidatonya yang berlangsung pada 1 Juni 1945. Meskipun tak secara eksplisit beliau mengartikan apa itu Weltanschauung, akan tetapi didalam pidatonya itu tersirat makna mengenainya:
….
Hitler mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische Weltanschauung”,
Lenin mendirikan negara Sovyet di atas “Marxistische, Historisch Materialistiche Weltanschaaung”,
Nippon mendirikan negara di atas “Tenno Koodo Seisin”,
Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara di atas satu “Weltanschauung”, bahkan di atas dasar agama, yaitu Islam,
Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka di atas “Weltanschauung” San Min Chu I, yaitu Mintsu, Minchuan, Minshen: Nasionalisme, Demokrasi, Sosialisme.
ADVERTISEMENT
….
Meskipun secara sederhana Weltanschauung sebangun dengan pandangan dunia, akan tetapi dengan memberikan contoh - contoh tersebut nampaknya Bung Karno menginginkan ide yang dibuatnya kala itu digunakan sebagai dasar negara serta di-realiteit-kan pasca Indonesia merdeka yang berdasar pada kesepakatan bersama. Namun, perlu diketahui pula bahwa ide tersebut bukanlah sebuah artifisialitas politis, melainkan realitas sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Sebaliknya, Pancasila nampak bukan sebagai ideologi apabila kita merujuk pada istilah ideologi menurut tradisi pemikiran Marx/Marxis ortodoks maupun liberal.
Pancasila bukanlah sebuah dogma politis yang ingin melanggengkan status quo ataupun alat legitimasi untuk membenarkan cara – cara totaliter guna mewujudkan rekayasa konseptual yang sengaja mengaburkan realitas empirik.
Di dalam pidato 1 Juni 1945 tersebut, Bung Karno secara jelas menempatkan Pancasila sebagai philosofische grondslag bangsa Indonesia. Philosofische grondslag dapat diartikan sebagai dasar filsafat.
ADVERTISEMENT
Filsafat tentu berbeda dengan dogma politis (false consciousness dan alat legitimasi untuk membenarkan kekerasan). Filsafat merupakan sebuah refleksi kritis terhadap aspek – aspek ontologis, epistemologis, maupun aksiologis alih – alih sebagai ideal yang bersifat ‘harga mati’. Maka dari itu, Pancasila dapat ditempatkan sebagai sebuah diskursus rasional mengenai kehidupan bersama secara politis.
Namun, perlu diperhatikan pula bahwa kedua hal, baik Pancasila sebagai ideologi maupun bukan ideologi, merupakan satu kesatuan utuh yang saling memengaruhi.
Jika kita hanya mengafirmasi bahwa Pancasila merupakan sebuah ideologi yang berdasar pada pemikiran de Tracy ataupun sebaliknya bukan sebuah ideologi menurut tradisi Marx/Marxis ortodoks maupun liberal, justru kita akan terjerembab kepada definisi fix mengenai ideologi, yang dimana sudah penulis katakan diawal bahwa ideologi itu sendiri tak dapat didefinisikan.
ADVERTISEMENT
Ketika dualitas hanya sebatas diterima satu bagian saja dan bagian lainnya disingkirkan, maka bagian yang tersingkirkan itu akan selalu siap untuk hadir guna membatalkan pengkultusan pemaknaan yang-dominan tersebut.
Begitupun seandainya jika kita hanya mengafirmasi bahwa Pancasila dikatakan sebagai ideologi dan menafikan-nya bukan sebagai ideologi, maka tanpa terduga kita sedang melakukan pengkultusan terhadap arti dari ideologi itu sendiri, disaat itulah penyingkiran makna terjadi, siap – siap saja apabila makna yang tersingkirkan itu akan selalu menghantui pemaknaan yang-dominan. Hukum demikian juga berlaku sebaliknya.
Maka dari itu, sudah selayaknya apabila Pancasila dikatakan sebagai ideologi sekaligus bukan ideologi bangsa Indonesia.
Live Update
Gedung Glodok Plaza yang terletak di Jalan Mangga Besar II Glodok Plaza, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat, terbakar, pada Rabu (15/1) malam. Kebakaran dilaporkan terjadi pada pukul 21.30 WIB. Api diduga bersumber dari lantai 7.
Updated 16 Januari 2025, 0:59 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini