Konten dari Pengguna

Badiou, Matematika, dan Problem Representasi Politik

Ambrosius Emilio
Mahasiswa UPN Veteran Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Ilmu Politik
18 April 2023 16:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ambrosius Emilio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Demonstrasi Penolakan Perppu Cipta Kerja di Gedung Parlemen, Senin (20/03/2023). Foto: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Demonstrasi Penolakan Perppu Cipta Kerja di Gedung Parlemen, Senin (20/03/2023). Foto: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Tempo hari, dalam editorialnya, Koran Tempo menuliskan tajuk problematis berjudul Dewan Perwakilan Ketua Partai. Ganjil bila anggota dewan kita mengeluarkan produk hukum tanpa izin dan persetujuan ketua partai politik masing-masing sehingga mereka bak membebek pada pucuk kekuasaan tertinggi pimpinan partai tersebut.
ADVERTISEMENT
Terlihat bahwa anggota dewan yang mayoritasnya merupakan kader partai politik masih belum dapat bertanggung jawab penuh terhadap konstituennya. Begitulah setidaknya sekilas rangkuman dari isi editorial tersebut.
Tak perlu menyebut kasus secara spesifik, persoalan di muka memang melintang di setiap era perpolitikan negeri ini. Abad reformasi di mana harapannya mampu menghadirkan kedaulatan rakyat yang dilegitimasi lewat representasi serupa dewan perwakilan senyatanya terkukung oleh komando para ketua partai politik sehingga mereka selaku representatif tak mewakili elemen yang mestinya menjadi bagian untuk diwakili.
Bila demikian, mari sejenak kita pikirkan problem ini secara lebih radikal melalui pertanyaan filosofis nan dramatis: apakah persoalan representasi benar-benar dapat mewakili seluruh elemen dari yang dicantumkan dalam representasinya?
Untuk itu, menyitir pikiran sesosok pemikir kidal kelahiran Maroko, Alain Badiou, menjadi penting guna merespons pertanyaan di muka dengan jawaban "tidak"! Jawaban tersebut tak semata buaian ketakmampuan individual untuk mewakili keseluruhan elemen yang tercantum untuk diwakilkan, tetapi secara imanen sistem representasi atau perwakilan memang tidak dapat mewakili keseluruhan elemennya sendiri.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana jawaban tersebut diargumenkan? Pertama-tama mari bertolak pada kajian soal Ada. Perkara Ada, berkenaan dengan tradisi pemikiran, senantiasa menubuh dalam yang-satu atau keterbatasan menuju totalitas substansi sehingga dapat dioperasionalkan secara konsisten.
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) berunjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/3/2023). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Tertera sebuah proposisi: “jika tak ada yang satu, maka sebangun dengan tak ada ‘satu hal’ yang ada.” Sehingga kejamakan tertera dalam kerangka yang-satu (Badiou, 2005, p. 34). Konsep kejamakan baru dimungkinkan setelah yang-satu mungkin menjadi yang-satu.
Berseberangan dengannya, bagi Badiou Ada dari konsistensi itu ialah inkonsistensi (Badiou, 2005, p. 53). Inkonsistensi bertaut dalam kejamakan. Yang-satu hanya sebagai hasil dari operasi penghitungan menjadi satu dari yang-jamak. Olehnya penghitungan sebagai satu ialah persyaratan penghitungan setelah dari kejamakan sehingga kejamakan bisa disadari sebagai kejamakan.
ADVERTISEMENT
Perkara ini lantas diurai oleh Badiou lewat penghitungan matematis melalui teori himpunan Cantorian. Teori himpunan disuguhkan lantaran mampu menjelaskan operasi penetapan menuju yang-satu. Kejamakan–dikatakan pula sebagai rezim presentasi–yang telah melewati operasi penghitungan mengubahnya menjadi struktur kejamakan-konsisten.
Penghitungan yang darinya kejamakan ditetapkan sebagai kejamakan-konsisten selalu menimbulkan ekses bagian. Hal ini diperlihatkan lewat aksioma himpunan pangkat dari sistem Zermelo-Fraenkel (Hallward, 2003).
Katakanlah terdapat sebuah himpunan a yang elemennya berasal dari penghitungan kejamakan-konsisten: {1,2,3}, maka secara niscaya tampak himpunan pangkat atau representasi yang elemennya juga bagian dari a, yakni: {{1}, {2}, {3}, {1,2}, {1,3}, {2,3}, {1,2,3}}.
Selain berperan dalam menjelaskan stabilitas penetapan antara kejamakan-konsisten beserta representasinya, operasi himpunan juga menyingkap tabir bagi batalnya representasi untuk menghimpun seluruh elemennya.
ADVERTISEMENT
Massa aksi buruh-petani tolak Perppu Ciptaker di depan Gedung DPR, Jakarta masih bertahan hingga Selasa (14/3/2023) malam. Foto: Zamachsyari/kumparan
Dengan itu, Badiou bertolak dari Paradoks Russell soal status himpunan yang elemennya ialah semua himpunan. Persoalan demikian juga dikenal melalui contoh populer Barber’s Paradox. Bermula dari pertanyaan, apakah tukang cukur merupakan orang yang mencukur semua orang yang tak mencukur dirinya sendiri? Lantas, apakah tukang cukur dapat mencukur dirinya sendiri?
Jawaban dari pertanyaan tersebut menuai kontradiksi. Tukang cukur tak dapat mencukur dirinya sendiri lantaran ia hanya mencukur orang yang tak mencukur dirinya sendiri. Bila tukang cukur mencukur dirinya sendiri berarti ia telah mengingkari dirinya sebagai tukang cukur karena tukang cukur hanya mencukur orang yang tak mencukur dirinya sendiri.
Tetapi, bila ia tak mencukur dirinya sendiri, maka ia juga akan menjadi bagian untuk dicukur oleh tukang cukur, sekalipun oleh dirinya sendiri kelak.
ADVERTISEMENT
Dari situ terlihat bahwa representasi mustahil menghadirkan seluruh elemen dari himpunannya, sebab cukup sulit dibayangkan apabila representasi yang mencoba menetapkan sebuah himpunan tetapi ia sendiri merupakan elemen dari himpunan itu.
Perkara demikian juga menjadi problem imanen bagi representasi dalam aras negara. Bila dikontekstualisasikan, pertama-tama dapat ditemui sebuah kemajemukan massa. Mereka bukan individu yang-satu melainkan orang banyak dengan segala corak kehidupan dan penghidupannya yang-majemuk. Tetapi kemudian muncul proses penghitungan menuju yang-satu dari kejamakan pra-penghitungan lewat kedaulatan negara.
Jika sebelumnya massa mengorganisasi diri untuk kehidupan dan penghidupannya secara majemuk, dengan hadirnya kedaulatan negara mereka telah dihitung sebagai warga negara dan bersamaan dengan itu muncul gagasan abstrak soal kedaulatan hingga nasionalisme sebagai pandangan bagi keutuhan negara maupun keterikatan sesama warga negara.
Demo mahasiswa di Gedung DPR minta perppu Cipta Kerja dicabut. Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan
Karena berada dalam kedaulatan negara, partisipasi warga negara dalam urusan publik diwakili oleh dewan perwakilan selaku representasi dari warga negara. Presentasi berubah menjadi representasi. Soal ini merupakan keniscayaan sebab negara butuh bagian yang darinya mampu menjamin stabilitas penetapan keterwakilan seluruh warga negara.
ADVERTISEMENT
Tetapi terdapat sebuah paradoks di mana dewan perwakilan mustahil untuk mewakili seluruh elemen warga negara. Dewan perwakilan ialah institusi perwakilan dari warga negara sehingga nampak sebagai lembaga yang tak mewakili dirinya sendiri. Tetapi problemnya, mereka selaku subjek dalam dewan perwakilan juga bagian dari warga negara.
Oleh karenanya seandainya subjek dalam dewan perwakilan hanya mewakili kepentingannya karena juga warga negara, justru ia batal menjadi dewan perwakilan seluruh warga negara karena telah menjadi bagian dari yang mau diwakilkan.
Sementara, jika subjek dalam dewan perwakilan tak mewakili kepentingannya sendiri, lalu kepentingan mereka yang juga sebagai warga negara akan diwakilkan oleh siapa? Apakah mungkin terdapat representasi dari representasi warga negara?
Darinya kita melihat bahwa problem representasi bukan terletak pada kemampuan dewan perwakilan mewakili keseluruhan elemen yang mau diwakilinya, tetapi persoalan hadir justru di dalam sistem representasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Jadi, pertanyaannya bukan "sudahkah dewan perwakilan kita mewakili seluruh elemen warga negara yang diwakilinya?" melainkan karena persoalan representasi bermasalah dari dirinya sendiri maka "bagaimana pengorganisasian politik pasca rezim representasi mampu diwujudkan dan benar-benar terlepas dari problem yang dihasilkan oleh rezim representasi itu?"