Konten dari Pengguna

Joint Statement: Pengakuan Tumpang Tindih LNU Yang Mengancam Kedaulatan Negara

Amelia
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi
19 November 2024 12:18 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amelia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Rpublik Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Republik Rakyat Tiongkok Xi Jinping pada pertemuan 9 November 2024 di Beijing. Foto: Prabowo Subianto
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Rpublik Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Republik Rakyat Tiongkok Xi Jinping pada pertemuan 9 November 2024 di Beijing. Foto: Prabowo Subianto
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2015, presiden ke-7 Indonesia Bapak Joko Widodo menyatakan bahwa klaim Cina atas nine-dash-lines tidaklah berbasis hukum internasional. Ditinjau dari UNCLOS 1982, wilayah Laut Natuna utara adalah milik zona ekonomi eksklusif Indonesia. Sehingga hak berdaulat pada wilayah ini jatuh kepada negara Indonesia. Akan tetapi, wilayah ini masih kerap kali dijadikan sengketa oleh pihak Cina dan beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Brunei Darussalam.
ADVERTISEMENT
Sehingga pada tahun 2016 pengadilan arbitrase menolak pihak Cina nine-dash-lines yang tumpang tindih pada zona ekonomi eksklusif Indonesia, yang hakekatnya bertentangan dengan UNCLOS 1982. Hal ini menjadi titik terang dari konflik Laut Natuna Utara atau yang biasa dikenal dengan Laut Cina Selatan. Itu artinya juga klaim Cina tidaklah menjadi pernyataan yang bermasalah bagi Indonesia, karena pada kenyataannya Laut Natuna Utara adalah milik Republik Indonesia.
Lalu dengan adanya pernyataan bersama atau joint statement ini membuat Indonesia seakan-akan mengakui dan membenarkan konflik yang ada pada sengketa Laut Natuna Utara, padahal sebelumnya Indonesia tidak pernah menyatakan bahwa terdapat masalah pada wilayah Laut Natuna Utara.
Meskipun Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa kerja sama antara Indonesia dengan Cina bertujuan untuk memajukan aspek ekonomi, khususnya dibidang perikanan dan konservasi perikanan di kawasan dengan tetap menghargai prinsip-prinsip saling menghormati dan kesetaraan. Serta Presiden Republik Indonesia Bapak Prabowo Subianto yang menyatakan bahwa akan selalu menjaga kedaulatan Indonesia, dan kemitraan lebih baik dari pada konflik di Laut Natuna Utara. Sehingga pernyataan ini dapat sedikit meredam kesalahpahaman yang sempat terjadi atas joint statement yang dilakukan Indonesia dengan Cina pada 9 november 2024 lalu.
ADVERTISEMENT
Namun, kembali timbul pertanyaan apakah perjanjian ini dapat menjamin kedaulatan Indonesia kedepannya atas Laut Natuna Utara? atau malah menimbulkan tantangan dalam menghadapi masalah yang akan terjadi kedepannya.
Jika membahas mengenai kedaulatan negara yang terganggu tentu saja hal ini merupakan tantangan dalam hukum internasional. Indonesia harus secara tegas menandai kedaulatannya atas zona ekonomi eksklusif di Laut Natuna Utara, dengan memberikan batasan yang jelas dan sanksi yang tegas bagi pihak-pihak yang masuk dan melakukan tindakan ilegal di zona perairan Indonesia. Seperti halnya yang sudah dilakukan pada kapal penjaga pantai Cina yang sudah 3 kali diusir dari wilayah yurisdiksi Indonesia pada beberapa saat lalu.
Kejadian kapal penjaga ini hanya satu dari sekian kali kapal milik Cina masuk ke wilayah Indonesia, jadi bisa saja dengan adanya joint statement ini membuat kapal-kapal dari Cina masuk dengan bebas ke wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia untuk mengeksplorasi dan mengekploitasi sumber daya alam yang berlimpah di Laut Natuna Utara. Karena di sini mereka beranggapan bahwa klaim nine-dash-lines benar dan sebagian wilayah Laut Natuna Utara adalah milik mereka, sehingga mereka dengan bebas untuk menjarah sumber daya alamnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat dicegah jika Indonesia membuat batasan yang jelas pada Cina mengenai posisi mereka di Laut Natuna Utara hanya sebagai mitra kerja sama bukan sebagai pemilik Laut Natuna Utara.
Penulis: Amelia Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi