Konten dari Pengguna

Memory, Identity, and the Places That Shape US

Amelia Renata Putri
Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Pamulang
15 Juni 2025 13:41 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Memory, Identity, and the Places That Shape US
Sebuah refleksi mendalam The Chapel karya Josef Essberger tentang bagaimana tempat menyimpan ingatan, membentuk identitas diri.
Amelia Renata Putri
Tulisan dari Amelia Renata Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Koleksi Pribadi: Banguan tua yang sangat indah di jogja
zoom-in-whitePerbesar
Koleksi Pribadi: Banguan tua yang sangat indah di jogja
ADVERTISEMENT
Some stories don't shout—they whisper. Josef Essberger's short story "The Chapel" is one of those quiet tales that leaves a lasting echo. Beneath its surface of a simple visit to an old chapel lies a profound reflection on how places hold memories and shape identity.
ADVERTISEMENT
This article explores how "The Chapel" serves not just as fiction, but as a psychological and philosophical lens into our relationship with the past.
The Power of Place in Forming the Self
The unnamed narrator in "The Chapel" revisits a small, secluded chapel in the French countryside. What he finds is not just a physical space, but a portal to memory. This is in line with philosopher Edward Casey's concept that "places are not only containers of memory, but also shapers of who we are." Getting Back Into Place (1993).
Casey explains that physical spaces "anchor" our emotions and help structure our sense of self.
In the story, the narrator is not simply remembering a woman—he's confronting a version of himself that existed when he loved her. The chapel is not only a setting but a mirror. This resonates with Casey's idea that "the past survives in places."
ADVERTISEMENT
"We don't remember days, we remember moments." - Cesare Paves
Essberger’s writing proves this beautifully. There is little plot, no dramatic reveal, yet we feel the weight of the narrator’s emotion. The reader senses that one specific moment—inside that chapel—changed the course of his life.
Psychologist Bessel van der Kolk, The Body Keeps the Score (2014), explains how memory is often triggered by physical environments: “Our memories are encoded in sensations and experiences, not just words.” That’s why, just standing in the chapel again, the man is flooded with emotion—regret, love, guilt. The chapel doesn’t just hold a memory; it unlocks it.
Silent Love, Unspoken Regret
The story's emotional climax is understated: the narrator reveals that the woman he loved had taken vows to become a nun. He doesn't judge her choice, nor try to change it. He simply visits the place where she once belonged—quietly, respectfully.
ADVERTISEMENT
According to literary scholar Roland Barthes A Lover's Discourse (1977), "What the other has of me is memory, not possession." This is the kind of love Essberger captures—a love that doesn't demand anything in return, yet lingers across time. The narrator isn't seeking closure; he's honoring memory.
Why "The Chapel" Still Matters Today
In a fast-moving digital world, stories like "The Chapel" remind us of the emotional power of place. As humans, we seek meaning in locations. A classroom. A staircase. A hospital hallway. These aren't just buildings—they are witnesses. They become sacred because of what we once felt in them.
In urban psychology, this is called "place attachment." Environmental psychologist Setha Low describes it as "the emotional bond between person and place, formed through memory, experience, and meaning." The chapel in Essberger's story is exactly that.
ADVERTISEMENT
We Leave Places, but Places Don't Leave Us
"The Chapel" is about a man revisiting a memory, but more that that—it's about confronting who he used to be. As Josef Essberger subtly shows, the past doesn't die—it waits. Sometimes in silence, sometimes in stone walls, and sometimes in a small country chapel.
Thank you.
-----------------------------------------------------------------------------------
Ketika Tempat Menyimpan Ingatan dan Membentuk Jati Diri
Tak semua cerita menyentuh lewat konflik besar. Cerpen “The Chapel” karya Josef Essberger justru menyentuh lewat kesunyian. Di balik kisah sederhana seorang pria yang mengunjungi kembali sebuah kapel tua di pedesaan Prancis, tersimpan renungan dalam tentang ingatan, tempat, dan identitas diri. Artikel ini mengajak kita menyelami bagaimana sebuah ruang fisik bisa menyimpan emosi terdalam dan membentuk siapa kita sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Tempat Tak Sekadar Lokasi, Tapi Cermin Diri
Narator tanpa nama dalam “The Chapel” kembali mengunjungi sebuah kapel kecil yang terpencil di pedesaan Prancis. Apa yang ia temukan bukan sekadar ruang fisik, melainkan sebuah portal menuju kenangan. Hal ini sejalan dengan konsep filsuf Edward Casey bahwa “tempat bukan hanya wadah bagi kenangan, tetapi juga membentuk siapa diri kita.” Getting Back Into Place (1993).
Casey menjelaskan bahwa ruang fisik “menjangkar” emosi kita dan membantu membentuk struktur jati diri kita.
Dalam cerita ini, sang narator tidak sekadar mengenang seorang perempuan—ia sedang menghadapi versi dirinya sendiri di masa lalu, saat ia mencintainya. Kapel itu bukan hanya latar tempat, melainkan juga cermin. Ini sejalan dengan gagasan Casey bahwa “masa lalu bertahan hidup dalam tempat-tempat.”
ADVERTISEMENT
“Kita tidak mengingat hari-hari, kita mengingat momen.” — Cesare Pavese
Tulisan Essberger membuktikan hal ini dengan indah. Cerita ini minim alur, tanpa pengungkapan dramatis, namun kita merasakan beratnya emosi sang narator. Pembaca dapat merasakan bahwa satu momen tertentu—di dalam kapel itu—mengubah arah hidupnya.
Psikolog Bessel van der Kolk dalam bukunya The Body Keeps the Score (2014), menjelaskan bahwa kenangan sering kali dipicu oleh lingkungan fisik: “Kenangan kita dikodekan dalam sensasi dan pengalaman, bukan hanya kata-kata.” Itulah mengapa, hanya dengan berdiri lagi di dalam kapel, pria itu langsung diserbu oleh emosi—penyesalan, cinta, rasa bersalah. Kapel itu bukan sekadar menyimpan kenangan; ia membukanya kembali.
Cinta yang Diam, Penyesalan yang Tak Terucap
Klimaks emosional dalam cerita ini begitu tenang dan sederhana: narator mengungkapkan bahwa perempuan yang ia cintai telah mengucap kaul untuk menjadi biarawati. Ia tidak menghakimi pilihan itu, juga tidak mencoba mengubahnya. Ia hanya mengunjungi tempat di mana perempuan itu pernah menjadi bagian—dengan tenang dan penuh hormat.
ADVERTISEMENT
Menurut ahli sastra Roland Barthes dalam A Lover’s Discourse (1977), “Yang dimiliki orang lain dari diriku adalah kenangan, bukan kepemilikan.” Inilah jenis cinta yang ditangkap oleh Essberger—cinta yang tidak menuntut balasan, namun tetap bertahan melintasi waktu. Narator tidak sedang mencari penutupan; ia sedang menghormati sebuah kenangan.
Mengapa The Chapel Masih Relevan Hari Ini
Di dunia digital yang serba cepat, cerita seperti The Chapel mengingatkan kita pada kekuatan emosional yang dimiliki oleh sebuah tempat. Sebagai manusia, kita mencari makna dalam lokasi. Sebuah ruang kelas. Tangga. Lorong rumah sakit. Itu semua bukan sekadar bangunan—mereka adalah saksi. Mereka menjadi sakral karena apa yang pernah kita rasakan di sana.
Dalam psikologi perkotaan, ini disebut place attachment atau keterikatan tempat. Psikolog lingkungan Setha Low menggambarkannya sebagai “ikatan emosional antara seseorang dan tempat, yang terbentuk melalui kenangan, pengalaman, dan makna.” Kapel dalam cerita Essberger adalah representasi tepat dari hal ini.
ADVERTISEMENT
Kita Meninggalkan Tempat, tapi Tempat Tak Pernah Meninggalkan Kita
The Chapel adalah tentang seorang pria yang kembali mengunjungi kenangan—tapi lebih dari itu, ini adalah tentang menghadapi dirinya yang dulu. Seperti yang ditunjukkan Josef Essberger dengan halus, masa lalu tidak pernah benar-benar mati—ia menunggu. Kadang dalam keheningan, kadang dalam dinding batu, dan kadang dalam sebuah kapel kecil di pedesaan.
Terima kasih.