Konten dari Pengguna

Mengapa Skor ESG Tidak Selalu Menjamin Perusahaan Ramah Lingkungan

Amelinda Clarissa Goldwin
Saya adalah seorang mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan S1 jurusan International Business Management di Universitas Ciputra Surabaya
21 April 2025 15:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amelinda Clarissa Goldwin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi esg | sumber : freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi esg | sumber : freepik.com
ADVERTISEMENT
Perusahaan besar di seluruh dunia kini berlomba-lomba memamerkan skor ESG mereka. ESG singkatan dari Environmental, Social, dan Governance. ESG digadang-gadang sebagai indikator bahwa sebuah perusahaan menjalankan praktik yang etis, bertanggung jawab secara sosial, dan peduli terhadap lingkungan. Namun di balik citra hijau itu, ada sesuatu yang mengganggu. Mungkinkah skor ESG selama ini hanya menjadi alat pencitraan tanpa substansi?
ADVERTISEMENT
Sebuah studi dari Peng, Li, Tang, Lan, dan Cui yang diterbitkan tahun 2023 membuka kenyataan yang mencengangkan. Penelitian ini menganalisis data dari lebih dari 1.400 observasi perusahaan multinasional yang tergabung dalam daftar Fortune Global 500 selama periode 2001 hingga 2020. Temuannya menyatakan bahwa skor ESG tinggi seringkali tidak mencerminkan pengurangan emisi karbon, bahkan justru berkorelasi positif dengan peningkatan emisi.
Ketika Angka Hijau Menutupi Emisi yang Naik
Mari bayangkan sebuah perusahaan besar yang setiap tahun menerbitkan laporan keberlanjutan setebal ratusan halaman. Di dalamnya ada cerita tentang program daur ulang, penggunaan kendaraan listrik, hingga investasi dalam energi terbarukan. Lalu, di halaman berikutnya, ditemukan bahwa total emisi karbon mereka justru naik dibanding tahun sebelumnya. Anehnya, perusahaan ini tetap mendapatkan nilai ESG yang tinggi. Apa yang sebenarnya terjadi?
ADVERTISEMENT
Fenomena ini bukan kebetulan. Banyak perusahaan multinasional saat ini memanfaatkan skor ESG sebagai alat pencitraan. Mereka menampilkan sebagian kecil dari aktivitas hijau mereka secara besar-besaran, dan mengabaikan atau menyamarkan fakta bahwa operasional utama mereka masih menghasilkan jejak karbon yang besar. Ini yang disebut greenwashing yaitu pencitraan hijau tanpa perubahan nyata.
Sebuah studi global mengungkap bahwa perusahaan dengan skor lingkungan yang tinggi justru cenderung menghasilkan lebih banyak emisi karbon dibanding perusahaan lain. Skor yang seharusnya menjadi refleksi tanggung jawab lingkungan malah berubah menjadi alat pemasaran. Di balik angka hijau itu, ada krisis integritas yang tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Budaya dan Kekuasaan di Balik Layar Skor ESG
Greenwashing bukan hanya soal strategi perusahaan, tapi juga soal lingkungan tempat perusahaan itu beroperasi. Beberapa negara, misalnya, memiliki budaya yang menghormati otoritas dan cenderung tidak mempertanyakan keputusan pemimpin perusahaan. Dalam konteks seperti ini, praktik pencitraan sangat mudah dilakukan karena tekanan dari publik nyaris tidak ada. Sebaliknya, di negara-negara yang masyarakatnya lebih terbuka dan kritis, perusahaan akan berpikir dua kali sebelum menyembunyikan kebenaran.
ADVERTISEMENT
Ada negara yang menetapkan aturan pelaporan emisi secara sukarela, ada juga yang mewajibkannya. Tapi bahkan aturan yang bersifat wajib pun seringkali tidak cukup kuat. Perusahaan tahu bagaimana cara bermain dalam sistem, menyusun laporan yang rapi, memberikan target jangka panjang yang terdengar menjanjikan, dan menunda tindakan nyata selama mungkin. Selama mereka terlihat seperti sedang bergerak ke arah yang benar, skor ESG mereka tetap tinggi.
Yang menyedihkan, ini masih terjadi meskipun dunia sudah menandatangani komitmen bersama seperti Paris Agreement. Padahal kesepakatan ini seharusnya mendorong perusahaan untuk benar-benar menurunkan emisi, bukan hanya terlihat menurunkannya di atas kertas.
Saatnya Menilai Ulang Apa yang Kita Percayai
Kita seringkali terlalu cepat percaya pada simbol. Logo daur ulang, kata-kata seperti “sustainable” dan “carbon neutral”, atau skor ESG yang tinggi seringkali membuat kita merasa nyaman. Rasanya seperti kita sudah berkontribusi pada penyelamatan bumi hanya dengan membeli produk dari perusahaan yang tampak peduli lingkungan. Padahal bisa jadi, semua itu hanyalah kemasan.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, ketika terlalu banyak perusahaan menggunakan skor ESG untuk menutupi kegagalan mereka, maka seluruh sistem menjadi kehilangan makna. Investor tertipu. Konsumen tertipu. Bahkan kebijakan pemerintah pun bisa keliru jika hanya mengandalkan data yang disediakan oleh perusahaan itu sendiri tanpa verifikasi.
Kita membutuhkan lebih dari sekadar skor. Kita perlu sistem yang transparan, laporan yang diaudit secara independen, dan keberanian untuk mengakui bahwa tidak semua yang terlihat hijau benar-benar berakar pada kepedulian. Kita juga perlu regulasi yang tegas dan masyarakat yang kritis, bukan yang mudah terpesona oleh narasi keberlanjutan yang dirancang dengan sangat lihai oleh tim komunikasi perusahaan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Sebagai individu, kita bisa mulai dengan bertanya. Tidak semua orang harus menjadi ahli lingkungan, tapi kita bisa belajar untuk tidak langsung percaya. Setiap kali melihat klaim “ramah lingkungan”, mari bertanya, siapa yang mengatakannya? Apakah klaim itu dibuktikan? Apakah perusahaan terbuka soal dampak buruknya juga, atau hanya menyoroti sisi positif?
ADVERTISEMENT
Sebagai masyarakat, kita juga perlu menuntut transparansi dari pemerintah dan regulator. ESG seharusnya bukan sekadar label, melainkan sistem yang benar-benar mencerminkan tanggung jawab lingkungan dan sosial sebuah perusahaan. Bila tidak ada yang berubah, maka skor ESG hanya akan menjadi topeng cantik yang menyembunyikan kenyataan pahit.
Dan sebagai generasi yang mewarisi dunia ini, kita harus sadar bahwa perubahan iklim tidak bisa dilawan dengan pencitraan. Dunia tidak membutuhkan perusahaan yang hanya pintar bercerita, tetapi perusahaan yang berani bertindak