Pasal Karet dalam UU ITE: Bantu atau Buntu terhadap Kebebasan Berpendapat?

Rahmi Afiah Ardan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta.
Konten dari Pengguna
14 Desember 2020 11:24 WIB
comment
13
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmi Afiah Ardan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jerat UU ITE. Sumber: PinterPolitik. Minggu, 21 Mei 2017 15.00. PinterPolitik.com. Diakses melalui https://pinterpolitik.com/uu-ite, 12 Desember 2020.
zoom-in-whitePerbesar
Jerat UU ITE. Sumber: PinterPolitik. Minggu, 21 Mei 2017 15.00. PinterPolitik.com. Diakses melalui https://pinterpolitik.com/uu-ite, 12 Desember 2020.
ADVERTISEMENT
Memasuki era revolusi industri 4.0, fakta bahwa masyarakat Indonesia telah berada dalam sebuah era yang sarat dengan teknologi komunikasi dan informasi tidak dapat dimungkiri lagi. Perkembangan teknologi di era digital saat ini terus berkembang dengan pesat dari waktu ke waktu dan tentunya membawa banyak sekali manfaat yang berguna untuk keberlangsungan hidup manusia. Akan tetapi, perkembangan teknologi tentunya juga memiliki berbagai implikasi yang tetap harus diwaspadai dan diantisipasi. Upaya itu telah melahirkan suatu produk hukum dalam bentuk undang-undang yaitu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi Elektronik (UU ITE).
ADVERTISEMENT
Menurut pasal 1 ayat (1) UU ITE, Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Mohammad Nuh, Menteri Komunikasi dan Informatika saat UU ITE disahkan pada 2008, mengatakan bahwa UU ITE merupakan ide dasar dari pemerintah dalam membuat suatu produk legislasi yang dapat digunakan sebagai payung hukum transaksi berbasis elektronik yang memiliki dampak sosial ekonomi. Namun, terdapat beberapa pasal di dalam UU ITE yang kerap kali disalahgunakan dan menjadi kontroversi karena ketidakjelasan deskripsi tentang beberapa pengertian yang termuat di dalamnya sehingga akhirnya muncul istilah “pasal karet”.
ADVERTISEMENT
Mengapa disebut sebagai pasal karet?
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjabarkan “karet” sebagai dapat (mudah) mulur dan mengerut (tidak tentu, tidak pasti, dan sebagainya). Dengan demikian, pasal karet berarti pasal dalam undang-undang yang tidak tentu atau tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana undang-undang semestinya. Hal ini tentunya mengkhawatirkan mengingat salah satu tujuan UU ITE yang tercantum dalam pasal 4 huruf (e) UU No. 11 Tahun 2008 adalah memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi.
Pasal apa yang tergolong sebagai pasal karet dalam UU ITE?
Beberapa pasal yang acap kali mengundang perhatian adalah pasal 27 ayat (3) yang berbunyi, “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” dan pasal 28 ayat (2) yang berbunyi, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).” Pasal-pasal ini dinilai sebagai pasal karet karena sering digunakan sebagai dasar hukum pengaduan jika terdapat ekspresi yang bersifat menghina atau mencemarkan nama baik di media sosial. Hal ini menyebabkan terbatasinya kebebasan pers karena publik menjadi takut pendapat atau kritik yang mereka keluarkan di media sosial justru dikira sebagai fitnah atau pencemaran nama baik dan menjadi bumerang untuk mereka. Jika merujuk pada data SAFEnet, jumlah kasus pemidanaan terkait undang-undang ini mencapai 285 kasus sejak disahkan pada 2008 hingga 2019 dan terus meningkat. Alih-alih membantu memberikan kepastian hukum bagi pengguna teknologi informasi, pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2) malah membuntukan kebebasan berpendapat di media sosial.
ADVERTISEMENT
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Dr. Syamsuddin Radjab S.H.,M.H., menyebut keberadaan pasal 27 dalam UU ITE sudah melenceng dari tujuan awal pembentukan UU ITE. Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Mohammad Nuh, juga mengatakan bahwa ia tak menyangka terjadi pergeseran penggunaan UU ITE dalam perkembangannya. "Kok, sekarang jadi larinya ke pidana pencemaran nama baik, ujaran kebencian. Padahal sejak awal, esensi utamanya bukan ke situ. Saya punya harapan agar dikembalikan ke esensi utamanya," ucap Nuh, dikutip dari CNN Indonesia (18/08/2020).
Tidak sedikit masyarakat yang menginginkan agar pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 segera dihapuskan karena mengancam kebebasan berpendapat. Akan tetapi, Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika pada Kabinet Kerja 2014-2019 secara tegas mengatakan bahwa pasal 27 ayat (3) di UU ITE tidak mungkin dihapuskan. Ia menegaskan bahwa jika pasal tersebut dihilangkan, efek jera terhadap para pelanggar hukum akan hilang. Oleh karena itu, dibuat revisi terhadap UU ITE yang akhirnya menghasilkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Liputan6 (28/11/2016), tujuh poin esensial revisi UU ITE yang tercantum di dalam UU No. 19 Tahun 2016 antara lain adalah sebagai berikut :
ADVERTISEMENT
Dengan dibuatnya revisi terhadap undang-undang ini, diharapkan UU ITE dapat memberikan perlindungan bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi serta tidak lagi disalahgunakan sebagai pengancam kebebasan berpendapat bagi publik di media-media baru, khususnya media sosial.