Rekonstruksi Peradaban Islam dengan Intelektualitas dan Profetis Bukan Senjata.

Amin Citra Prayoga
Alumni Universitas Muhammadiyah Malang
Konten dari Pengguna
20 Agustus 2020 9:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amin Citra Prayoga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah perdaban merupakan suatu cita-cita dari segenap umat manusia yang terbagi melalui kelompoknya masing-masing, sudah pasti peradaban yang dibutuhkan oleh manusia yaitu peradaban yang mampu memberikan manfaat untuk keberlangsungan umat manusia sehingga tidak hanya untuk kelompoknya sendiri, tentu hal ini menjadi sebuah hal yang tidak asing lagi bagi umat Islam, mengingat agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad ini sudah pernah menorehkan sejarahnya dalam perdaban dunia pada abad 7 di eropa, banyak sekali pemikir-pemikir muslim pada saat itu yang menjadi kiblat kemajuan teknologi yang berkembang pesat pada saat ini, katakanlah di masa kekhalifahan al-Ma’um yang lebih mengarus utamakan kekayaan Negara untuk ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh umat islam dengan mengirim penerjemah-penerjemah dari Kristen, sabi ke romawi dengan tujuan mencari buku pengetahuan yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa arab. Terbukti dari kebijakan tersebut perdaban islam dimulai, dengan melahirkan Filosof muslim pertama seperti Al-Kindi 801M yang terkenal ilmu pengobatan, farmakologi, matematika, astrologi, optik dan sebagainya, kemudian ada Al-Razi 864, pada masa dinasti Abbasiyah pembaruan pada teori kedokteran yunani yang dirintis oleh Hipokrates yang kemudian ilmu kedokteran islam mengalami kemajuan dengan melahirkan 800 orang dokter dibaghdad di masa harun al-Rasyid,.
ADVERTISEMENT
Hal yang menarik untuk kita telaah yaitu ketika sang khalifah tidak menekankan perkembangan islam pada aspek kekuatan persenjataannya untuk memulai dan mempertahankan peradaban, namun disini al-ma’um lebih mengedapankan keterbukaan pemikiran yang tidak hanya di ambil dari kelompoknya saja namun juga mampu merekunstruksi kembali pemikiran dari filsuf yunani seperti buku plato, Aristoteles, dan buku filsafat yang lain dengan tujuan memulai peradaban Islam dengan mengandalkan pemikiran ilmu pengetahuan untuk dominasi kekuatan kelompoknya yang sudah jelas kebermanfaatannya tidak hanya dirasakan oleh muslim sendiri namun dapat dirasakan oleh seluruh umat manusia. Tercium sangat pekat disini bahwa “Islam Rahmatan Lil’alamin” memang benar-benar dirasakan, sehingga agama disini tidak hanya menjadi bahan inspirasi untuk menyalahkan dan menyingkirkan kelompok lain yang disebabkan oleh teologi kebenaran tunggal yang marak belakangan ini terjadi.
ADVERTISEMENT
Terusiknya keberagaman dan toleransi yang saat ini merupakan dampak pemikiran melenceng akibat dari kemandegkan dalam berpikir dinegara ini, terbukti dengan adanya kelompok radikalis dan ekstrimis yang menyeru bahkan memaksa diterapkannya sebuah system dari kebenarakan tunggal yang mereka yakini, Sehingga hal itu kata Franz Magnis Suseno menjadi ancaman ideologi terbesar dunia di abad ke-21 utamanya negara Indonesia yang sudah memiliki system dan dasar negara oleh mereka dianggap sebagai sebuah kesyirikan. Fenomena tersebut menjadikan wajah umat islam indonesia yang semulanya tersenyum dan mampu merawat keberagaman menjadi wajah yang masam, hal semacam itu yang kemudian menjadikan Martin van Bruinessen dalam salah satu artikelnya mengemukakan What Happened with the Smilling Face of Indonesian Islam?
ADVERTISEMENT
Upaya moderasi(Washatiyah) selalu digaukan oleh kaum Intelegensi muslim pada zaman kontemporer saat ini, tentu hal ini tidak lain untuk menyelamatkan dan mengembalikan peradaban umat islam terkhusus di Indonesia yang tergiur oleh provokasi yang sangat agitatif mengarah kepada “misguided Arabism”(Arabisme yang kesasar jalan). Sikap konserfatif, bahkan praktis memahami agama menjadi ketertinggalan kita selama ini, memahami jihad hanya dengan adegan pengambilan nyawa manusia atas nama tuhan, meyakini praktik seperti itu dapat mengembalikan sejarah masa keemasan Islam yang bisa memimpin perdaban dunia, namun apa yang terjadi akibat tindakan itu semua, apakah umat islam kembali menjadi kaum yang mulia ?, apakah dengan tindakan itu kesenjangan umat islam dapat teratasi ?, apakah dengan tindakan itu umat islam terbebaskan ? Tidak, ? justru sebaliknya, Islamophobia adalah hadiahnya dari praktik jihad yang jauh dari nilai-nilai transendental tersebut. jika kita mengambil contoh, semestinya contoh itu bisa kita lihat dari keteladanan nabi Muhammad SAW dengan mengangkat kembali martabat manusia, bukankah agama yang dibawanya terdapat nilai perjuangan yang mengentas kemiskinan, perbudakan, kebodohan, seperti yang kuntowijoya sampaikan dengan menggariskan empat sasaran pembebasan (liberasi), yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia. Alternatir-alternatif yang ditawarkan oleh agama unuk menyelesaikan persoalan kemanusiaan seperti itulah yang mestinya di kedepankan umat islam pada saat ini untuk membangun peradaban baru.
ADVERTISEMENT
Adapun salah satu ormas terbesar di dunia seperti Muhammadiyah. Lebih dari 100 tahun Muhammadiyah memberikan kontribusinya pada negara yang tidak lebih tua umurnya darinya, dengan menampilkan da’wah keteladanan, ratusan perguruan tinggi, sekolah, masjid, rumah sakit sampai panti asuhan dibangun. Hal itu semua tidak terlepas dari upaya amar ma’ruf nahi munkar serta kebaikan-kebaikan dilandasi iman yang dibuktikan secara langsung oleh Muhammadiyah.