news-card-video
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Membendung Gelombang Food Waste di Bulan Ramadhan

Amirah Syahirah
Sarjana Ilmu Hubungan Internasional, UIN Jakarta IR, Environment, and Waste Geek You can find me on my Instagram @uulikk
2 Maret 2025 16:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amirah Syahirah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: https://www.shutterstock.com/id/image-photo/jambi-indonesia-november-28-2022-waste-2232957557
zoom-in-whitePerbesar
Source: https://www.shutterstock.com/id/image-photo/jambi-indonesia-november-28-2022-waste-2232957557
ADVERTISEMENT
Seiring dengan peningkatan populasi manusia, produksi sampah pun terus mengalami lonjakan yang signifikan tiap tahunnya (Oluwadare & Abe, 2013; Toure et al., 2022). Tidak hanya sampah anorganik dan plastik saja, salah satu jenis sampah yang paling mendominasi adalah sampah makanan. Tingginya sampah makanan yang dibuang dikenal dengan fenomena food waste. Istilah food waste ini merujuk pada dibuangnya makanan yang masih layak konsumsi dan tidak hanya mencerminkan perilaku konsumsi yang tidak efisien, namun juga memberikan dampak signifikan terhadap lingkungan.
ADVERTISEMENT
Dampak dari food waste tidak hanya terbatas pada persoalan sosial dan ekonomi saja, tetapi juga memberikan dampak pada lingkungan. Sampah makanan dapat menyumbang hingga 6-8% gas rumah kaca setiap tahunnya, serta menjadi penyebab utama penggunaan air dan tanah yang tidak efisien (Kurniawan et. al, 2023). Jika ditinjau melalui sisi ekonomi, food waste juga menyebabkan pemborosan dan kerugian nilai makanan (Handoyo & Asri, 2023). Sampah makanan yang terbuang di tempat pembuangan akhir mengalami proses dekomposisi anaerobik, menghasilkan gas metana yang memiliki pemanasan global hingga 25 kali lebih tinggi dibandingkan dengan karbon dioksida. Jika tidak ditangani dengan baik, sampah makanan yang tertumpuk dapat menimbulkan ledakan yang salah satunya dapat diakibatkan oleh tingginya gas metana yang terkandung di dalamnya (Aliansi Zero Waste Indonesia, 2023; Batool et.al, 2023).
ADVERTISEMENT

Food Waste dan Sustainable Development Goals

Permasalahan food waste telah menjadi perhatian global, khususnya dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Pada target 12.3, disebutkan bahwa adanya urgensi untuk menekankan pengurangan food waste global per kapita hingga setengahnya pada tahun 2030, baik di tingkat ritel maupun konsumen. Hal ini berarti bahwa pengurangan angka food waste bukan hanya menjadi tanggung jawab setiap individu, namun menuntut peran aktif pemerintah dan sektor swasta untuk bersama menciptakan sistem pengelolaan sampah yang lebih efektif dan berkelanjutan.

Sampah Makanan di Indonesia

Permasalahan food waste ini tidak hanya menjadi isu di negara maju saja, namun juga menjadi tantangan bagi Indonesia. Hal ini disebabkan oleh perilaku konsumtif masyarakat yang kerap menyisakan makanan (Natalia, 2024). Menurut laporan Food Waste Index Report 2024 yang dirilis oleh United Nations Environment Programme (UNEP), Indonesia menjadi negara penghasil sampah makanan rumah tangga terbesar di Asia Tenggara, dengan jumlah mencapai 14,73 juta ton per tahun. Bahkan pada tahun 2023, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) juga memperkirakan total timbunan sampah makanan di Indonesia mencapai 23.318 ton. Jika diilustrasikan, gunungan sampah makanan ini bahkan lebih tinggi dari Monumen Nasional (Monas) (Haryanti, 2023). Data yang diluncurkan oleh Bappenas juga menunjukkan bahwa selama tahun 2000-2019, sampah makanan di Indonesia mencapai 115-184 kilogram per orang per tahun, yang kebanyakan muncul di tahap konsumsi. Selain itu, jumlah timbulan sampah makanan di Indonesia ini setara dengan Rp213 triliun hingga Rp551 triliun (Aranditio, 2023).
ADVERTISEMENT
Salah satu sumber utama makanan sisa atau food waste di Indonesia berasal dari rumah tangga, yang menyumbang 60% dari total sampah yang ada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Selain itu, sektor restoran dan pedagang juga berkontribusi cukup besar, dengan masing-masing menyumbangkan sekitar 23% dan 13% jumlah sampah makanan (Trihandani, 2024; Putra, 2024).

Food Waste dan Ramadhan di Indonesia: Fenomena War Takjil 2024 Lalu

Pada tahun 2024 lalu, war takjil menjadi tren di bulan Ramadhan. Pasalnya, masyarakat Indonesia baik yang menjalankan ibadah puasa maupun masyarakat non-Muslim pun berbondong-bondong berburu takjil atau makanan untuk berbuka puasa. Fenomena ini di satu sisi menunjukkan keberagaman, persatuan, dan toleransi antar umat beragama, di mana takjil menjadi jembatan kebersamaan dan berbagi. Namun di sisi lain, kita juga perlu memperhatikan agar tidak semakin banyak makanan yang terbuang akibat perilaku konsumsi yang tidak efisien.
ADVERTISEMENT
Beragamnya jenis makanan yang ditawarkan, baik di restoran maupun di sepanjang jalan, kerap kali menggoda masyarakat untuk membeli dalam jumlah berlebih. Ditambah lagi kehadiran pasar takjil yang mulai menjamur. Hal ini dikhawatirkan dapat menambah angka food waste jika masyarakat tidak bijak dalam membeli dan mengonsumsi makanan selama bulan Ramadhan.

Perspektif Islam mengenai Food Waste

Demi mengurangi dan menahan diri dari perilaku konsumtif dalam pemborosan makanan, khususnya pada bulan Ramadhan, umat Muslim dapat merujuk pada pedoman yang telah diatur dalam ajaran Islam. Al-Qur’an telah memberikan tuntunan yang jelas mengenai perilaku dalam mengonsumsi makanan. Salah satunya terkandung dalam Surat Al-Isra’ ayat 26-27, yang memiliki arti:
ADVERTISEMENT
Selain itu, dalam Surah Al-A’raf ayat 31, Allah berfirman:
Kedua ayat ini dapat menjadi pedoman dalam menjaga pentingnya keseimbangan dalam konsumsi, termasuk dalam menikmati makanan selama bulan Ramadhan. Masyarakat Muslim didorong untuk tidak berlebihan untuk menghindari perilaku boros yang dapat menyebabkan food waste. Tidak hanya itu, ajakan untuk berbagi terhadap sesama juga dapat membantu mengurangi sikap berlebihan dalam konsumsi makanan dan minuman, terutama dalam bulan Ramadhan.
Lebih lanjut lagi, dalam konteks mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, sikap bijak dalam mengonsumsi makanan juga sejalan dengan tujuan 12.3, yang menargetkan pengurangan sampah makanan hingga setengahnya pada tahun 2030, sehingga dengan mempraktikkan nilai-nilai yang telah diajarkan dalam Islam, umat Muslim dapat berkontribusi dalam menjaga kelestarian lingkungan dan mendukung keberlanjutan.
ADVERTISEMENT

Apakah Ramadhan Tahun Ini Masyarakat Dapat Lebih Bijak?

Memasuki bulan Ramadhan tahun 1446 Hijriah ini, masyarakat Indonesia diharapkan dapat lebih bijak dalam mengonsumsi dan memproduksi makanan, terutama dalam menghadapi euforia seperti war takjil yang marak terjadi pada tahun lalu. Terlebih, sebagai negara yang menduduki peringkat pertama dalam jumlah sampah terbesar di Asia Tenggara, langkah kecil dalam mengurangi sampah makanan dapat membawa dampak yang besar. Sehingga dengan menjadikan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam, masyarakat Muslim memiliki kesempatan untuk menjadikan Ramadhan tahun ini sebagai titik awal membangun benteng dari perilaku konsumsi berlebih.
Namun tidak hanya pada momentum Ramadhan saja, perilaku bijak dan bertanggung jawab dalam memproduksi, mendistribusi, hingga mengonsumsi makanan perlu terus dilaksanakan secara berkelanjutan. Masyarakat tidak hanya dapat berkontribusi dalam mengurangi angka food waste saja, namun juga turut serta dalam mewujudkan keberlanjutan lingkungan. Dengan memahami dampaknya secara ilmiah dan menjalankan perilaku bijak dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu dapat berkontribusi bagi kelestarian bumi dan masa depan generasi mendatang.
ADVERTISEMENT