Konten dari Pengguna

Sianida Alami pada Bahan Pangan: Sumber, Metabolisme, dan Penanganannya

Amiroh Auliya Rahma
Mahasiswa Magister Ilmu Pangan Institur Pertanian Bogor
10 Juni 2024 9:47 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amiroh Auliya Rahma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sianida merupakan senyawa yang bersifat toksik yang mengandung masing-masing satu atom karbon dan nitrogen. Sianida yang dimaksud adalah jenis sianida sintetis dalam bentuk hidrogen sianida (HCN) yang dapat menyebabkan kematian ketika dihirup. Selain sianida sintetis, terdapat sianida alami yang terkandung di dalam berbagai tanaman pangan. Menurut Yuningsih (2012) kemunculan sianida ini berasal dari proses hidrolisis oleh enzim pada tanaman yang berasal dari senyawa sianogen yang bersifat non toksik. Contoh tanaman pangan yang mengandung sianogen antara lain singkong, sorgum, dan kacang almond. Tanaman singkong memiliki kandungan sianogen linamarin yang diurai oleh enzim linamarase dan menghasilkan sianida yang beracun, aseton, dan sianohidrin yang merupakan produk antara bersifat tidak stabil (Bokanga, 2001).
ADVERTISEMENT
Untuk mengurangi kadar sianida dalam singkong, maka diperlukan beberapa proses pengolahan seperti perendaman dan pengeringan. Menurut Thasala-Katumbay et al. (2016), ketika jaringan fisik singkong terganggu, linamarin bersentuhan dengan enzim β-glukosidase linamarase yang terletak pada dinding sel tanaman dan dihidrolisis menjadi glukosa dan sianohidrin. Sianohidrin secara spontan terurai menjadi keton dan gas HCN menguap. Proses inilah yang terjadi pada pra pengolahan buah singkong yang kemudian bisa diolah menjadi produk tepung dan jenis produk rumah tangga lainnya. Proses fermentasi juga dapat digunakan sebagai alternatif dalam mengurangi kadar sianogen dan sianida pada singkong. Menurut Schrenk et al. (2019), fermentasi pada akar yang diparut, menyebabkan linamarin terurai secara efisien menjadi sianohidrin dan cukup stabil pada pH asam selama fermentasi dan selanjutnya akan terurai menjadi asam hidroksianat dan aseton selama pemanggangan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Shen et al. (2021), proses fermentasi Baijiu (minuman beralkohol khas tiongkok yang berasal dari sorgum atau beras) dengan S.cerevisiae mampu menghasilkan nitrilase dan mendegradasi 58,42% sianida. Berbagai proses pengolahan mekanis dan mikrobiologis ini terbukti dapat menurunkan kadar sianida dalam tanaman pangan sehingga aman ketika dikonsumsi dalam bentuk produk olahan. Hal ini tentu akan berbeda apabila tanaman tersebut tidak mengalami proses pengolahan sebelum menjadi bahan konsumsi karena masih terdapat kandungan sianida di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Metabolisme sianida umumnya terjadi di sel jaringan organ, terdapat lajur utama dan beberapa lajur minor dalam metabolisme sianida. Lajur utama metabolisme 80% sianida adalah detoksifikasi di hati oleh enzim rhodanese mitokondria yang mengkatalase (mempercepat reaksi) perpindahan sulfur sulfat dari thiosulfat menjadi ion sianida untuk membentuk tiosianat. Beberapa enzim transferase dan vitamin B12 juga dapat memetabolisme sianida (Simeanofa dan Fisbein, 2004).
Jalur metabolisme sianida di dalam tubuh manusia. Sumber: Semantic Scholar/B. Logue
Pada proses transpor elektron yang terjadi di membran dalam mitokondria, Sianida telah lama dikenal sebagai penghambat transpor elektron mitokondria karena pengikatannya pada gugus prostetik heme a3 di Kompleks IV (Sitokrom C oksidase [CCOx]) (Randi et.al., 2020). Penghentian produksi ATP aerobik diketahui sebagai cara utama aksi sitotoksik sianida pada eukariota. Hal ini mencegah elektron yang melewati COX dipindahkan ke O2, yang tidak hanya menghalangi rantai transpor elektron mitokondria, tetapi juga mengganggu pemompaan proton keluar dari matriks mitokondria yang seharusnya terjadi pada tahap ini. Oleh karena itu, sianida tidak hanya mengganggu respirasi aerobik tetapi juga jalur sintesis ATP yang difasilitasinya, karena hubungan erat antara kedua proses tersebut (Nelson and Cox, 2004).
ADVERTISEMENT
Pada sebuah penelitian mengenai keberadaan enzim alternative oxidase (AOX) yaitu sebuah enzim yang dapat mencegah keracunan sianida pada tanaman, ternyata beberapa jenis hewan yakni porifera, placozoa, cnidaria, mollusca, annelida, nematoda, echinodermata, hemichordata, dan chordata juga memiliki enzim ini (McDonald et.al., 2009).
Ilustrasi sianida mengganggu mekanisme transport elektron pada kompleks IV membran mitokondria. Sumber: ResearchGate/Greg C Vanlerberghe
Gejala yang ditimbulkan dari keracunan sianida seringkali bervariasi dan tidak spesifik dalam waktu, bergantung pada intensitas sianida yang terakumulasi dalam darah (Hall et al., 1987). Misalnya pada tingkat akumulasi 0-0,5 μg/ml tidak ada gejala yang tampak. Ketika paparan mencapai 0,5-1,0 μg/ml muncul gejala seperti sakit kepala, pusing, kemerahan hingga tachycardia yakni gangguan irama jantung yang ditandai dengan jantung berdetak terlalu cepat. Pada tingkat 2,5-3,0 μg/ml gejala yang ditimbulkan berupa pupil mata membesar, gangguan pernafasan berat, hingga koma. Pada tingkat akumulasi 3,0 μg/ml atau lebih, dapat menyebabkan kematian. Maka menjadi penting penanganan pertama terhadap korban keracunan sianida yang mana proses timbulnya toksisitas setelah keracunan terjadi sangat cepat. Prinsip pertama dalam menangani korban yaitu menghentikan paparan sianida lebih lanjut dan apabila sianida tertelan maka dapat diberikan arang aktif sebagai protokol standar untuk pengobatan darurat pada berbagai jenis keracunan karena arang aktif bekerja cepat untuk mengikat sianida yang tertelan, sehingga memberikan waktu tambahan untuk melakukan intervensi medis lebih lanjut. Terdapat dua jenis penanganan yang dapat diberikan terhadap korban keracunan sianida akut yakni terapi pendukung dan terapi antidot spesifik. Terapi pendukung mencakup pemberian dukungan jalan nafas mekanis, ventilasi buatan dengan oksigen 100%, pemantauan jantung, penggunaan oksigen hiperbarik, mengobati kejang dengan diazepam. Apabila terapi pendukung tidak memberikan respon yang memuaskan maka dapat dilanjutkan pada terapi antidot spesifik. Terapi antidot spesifik pada dasarnya merupakan tindakan memberikan suatu zat untuk mengalihkan sianida dalam tubuh menjadi bentuk lain yang dapat diekskresikan ataupun diubah menjadi bentuk stabil yang tidak reaktif sehingga proses metabolisme dalam tubuh tidak terhambat oleh akibat dari sianida.
ADVERTISEMENT
Terapi antidot spesifik dibedakan menjadi tiga jenis yakni methemoglobin inducer, donor sulfur, dan senyawa kobalt. Terapi methemoglobin inducer adalah terapi dengan memberikan beberapa senyawa penginduksi seperti Fe3+ methemoglobin sehingga sianida akan cenderung membentuk kompleks cyanmethemoglobin dibanding berikatan dengan sitokrom oksidase atau kompleks IV. Menurut Watson dan McStay (2020), sitokrom oksidase merupakan enzim yang berperan penting pada rantai transpor elektron, jika sitokrom oksidase dihambat oleh sianida maka proses fosforilasi oksidatif yang menghasilkan ATP yang merupakan sumber energi dalam segala proses metabolisme tubuh akan terhambat dan mengakibatkan banyak masalah seperti hipoksia sel yaitu kondisi kekurangan oksigen sehingga mendukung terjadinya glikolisis anaerob sebagai sumber utama produksi ATP. Hal ini akan memicu kematian sel yang tidak terkontrol dan sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup manusia. Terapi donor sulfur memiliki mekanisme berupa pemberian senyawa sulfur sebagai detoksifikasi sianida menjadi tiosianat yang kurang beracun. Jenis terapi yang terakhir adalah terapi senyawa kobalt, dimana kobalt memiliki kemampuan sebagai agen pengkelat atau membentuk senyawa logam yang stabil dengan sianida sehingga efek reaktif dan toksik dari sianida dapat berkurang yang selanjutnya dapat diekskresikan melalui urin (Hall et al., 2007).
ADVERTISEMENT
Penulis:
1. M. Ghassan Fattah
2. Hasna Rahma Aulia
3. Amiroh Auliya Rahma
Mahasiswa Magister Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor
Referensi:
Bokanga, M., 2001. Cassava: Post-harvest Operations. International Institute of Tropical Agriculture (IITA), Ibadan, Nigeria. Food and Agriculture Organization. (Diakses pada tanggal 4 Juni 2024).
Hall, A.H., Rumack, B.H., Schaffer, M.I., Linden, C.H. 1987. Clinical toxicology of cyanide: North American clinical experiences. In Clinical and Experimental Toxicology of Cyanides (B. Ballantyne, T.C. Marrs, eds). IOP Publishing: 312–33.
Hall, A.H., Dart, R., Bogdan, G. 2007. Sodium thiosulphate or hydroxocobalamin for the empiric treatment of cyanide poisoning. Ann. Emerg. Med. 49: 806–13.
McDonald AE, Vanlerberghe GC, Staples JF .2009. Alternative oxidase in animals: unique characteristics and taxonomic distribution. J Exp Biol. 212(Pt 16):2627-34.
ADVERTISEMENT
Nelson DL, Cox MM .2004. Lehninger Principles of Biochemistry (4th ed.). New York: W. H. Freeman.
Randi EB, Zuhra K, Pecze L, Panagaki T, Szabo C. 2021 Physiological concentrations of cyanide stimulate mitochondrial Complex IV and enhance cellular bioenergetics. Proc Natl Acad Sci
Simeonova, Fina Petrova, Fishbein, Lawrence. 2004. Hydrogen cyanide and cyanides : human health aspects. World Health Organization & International Programme on Chemical Safety. World Health Organization
Schrenk, D., Bignami, M., Bodin, L., Chipman, J.K., del Mazo, J., Grasl‐Kraupp, B., Hogstrand, C., Hoogenboom, L., Leblanc, J.C. and Nebbia, C.S., 2019. Evaluation of the health risks related to the presence of cyanogenic glycosides in foods other than raw apricot kernels. EFSA Journal, 17(4): 5662.
ADVERTISEMENT
Shen, T., Wu, Q. and Xu, Y., 2021. Biodegradation of cyanide with Saccharomyces cerevisiae in Baijiu fermentation. Food Control, 127: 108107.
Tshala‐Katumbay, D.D., Ngombe, N.N., Okitundu, D., David, L., Westaway, S.K., Boivin, M.J., Mumba, N.D. and Banea, J.P., 2016. Cyanide and the human brain: perspectives from a model of food (cassava) poisoning. Annals of the New York Academy of Sciences, 1378(1): 50-57.
Watson, S.A., McStay, G.P. 2020 Functions of cytochrome c oxidase assembly factors. Int J Mol Sci. 21(19): 7254.
Yuningsih, Y., 2012. Keracunan Sianida pada Hewan dan Upaya Pencegahannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 31(1), 21-26.