Konten dari Pengguna

Studi Sejarah : Logika Mistika, dan Pendidikan Indonesia

27 September 2020 13:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari amirudein al hibbi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika kita berada di bangku sekolah, entah SD, SMP maupun SMA. Tatkala mempelajari sejarah Indonesia, guru kita selalu mengajarkan bahwa kolonialisme di Indonesia telah berlangsung cukup lama. Indonesia dijajah selama ratusan tahun, bahkan guru kita sering menyebut 350 tahun. Kurang lebih selama itu memang Indonesia dijajah oleh bangsa kolonial, mulai dari Spanyol, Portugis, Belanda, hingga Jepang. Kendati tidak seluruh wilayah Indonesia yang terlihat dipeta saat ini, menjadi wilayah kolonial bangsa asing tersebut. Mereka berpindah-pindah dari wilayah satu ke daerah lain dengan dinamika yang mempengaruhinya. Artinya, kita tidak bisa pukul rata seluruh wilayah Indonesia dikuasai oleh bangsa kolonial selama 350 tahun (Wibisono, 2020).
ADVERTISEMENT
Hitungan rigid tentang berapa lama wilayah nusantara dijajah oleh bangsa asing memang menjadi perdebatan sejarah yang tak ada habis-habisnya. Akan tetapi, terpenting yang perlu dipahami bahwa betapa besarnya dampak buruk kolonialisme terhadap bangsa Indonesia. Eksploitasi alam, tenaga kerja yang dilakukan selama ratusan tahun, sudah tak terhitung lagi berapa nominal yang seharusnya dibayarkan bangsa kolonial kepada masyarakat Indonesia. Ketertindasan, kemiskinan, kelaparan, maupun kematian massal menjadi bacaan yang selalu hadir ketika membaca buku sejarah Indonesia pada masa kolonial.
Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah masyarakat pribumi kala itu diam saja ketika dihisab, dan dieksploitasi ?. Memang banyak perlawanan yang dipimpin oleh penguasa lokal kala itu, melawan ketertindasan yang mereka alami. Mulai dari perlawanan rakyat maluku yang dipimpin kapten pattimura, perang diponegoro, hingga pertempuran yang sengit ketika kontak senjata di aceh.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan lain yang kemudian ada dibenak kita, mengapa berbagai perlawanan selalu mengalami kegagalan ?. Bukannya, “mitos” yang sering terdengar, kerap juga diceritakan bahwa orang Indonesia itu sakti, ada yang katanya kebal peluru, dipotong-potong tidak mempan, memiliki jimat, bahkan katanya masyarakat Indonesia dapat menyantet orang lain. Mungkin ini sedikit menggelitik tapi menarik untuk dipertanyakan, mengapa orang yang pandai menyantet pada jaman dahulu, tidak mengguna-guna Dandels, Raffles, maupun kompeni lainnya ?. Kalau memang berhasil, mungkin akan menang telak perlawanan bangsa hindia belanda kala itu. Seperti salah satu seorang pendekar, sekaligus pahlawan dari Jember dengan nama P Burah atau Bura, yang bikin pusing penjajah karena dikenal sakti dan kebal terhadap segala bentuk bencana dan ancaman (Kurniawan, 2018).
ADVERTISEMENT
Logika mistika semacam inilah yang sering dipercayai oleh masyarakat Indonesia, bahkan terwariskan hingga sekarang. Akan tetapi, nyatanya kepercayaan terhadap takhayul, kesaktian ghaib, jimat dsb tidak dapat membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu keterjajahannya. Dengan kerangka berpikir okultisme, bangsa Indonesia justru terus terjajah hingga ratusan tahun lamanya. Pola pikir semacam ini justru bagi Tan Malaka dalam bukunya aksi massa yang ditulis tahun 1926, menghambat revolusi dan cita-cita kemerdekaan kaum sebangsanya.
“Tetapi kamu orang Indonesia yang 55.000.000 tak kan mungkin merdeka selama kamu belum menghapuskan segala ‘kotoran kesaktian’ itu dari kepalamu, selama kamu masih memuja kebudayaan kuno yang penuh dengan kepasifan, membatu, dan selama kamu bersemangat budak belia,” (Tan Malaka, 2019).
ADVERTISEMENT
Kepercayaan terhadap takhayul, dan klenik yang menjadi tradisi masyarakat Hindia Belanda waktu itu, tidak dapat dilepaskan dari mental feodalisme yang sudah mendarah daging. Masyarakat cenderung pasrah dan berharap kepada munculnya sosok ratu adil yang didamba-dambakan akan datang. Meskipun siapa yang dimaksud Ratu Adil belum terbukti siapa orangnya (Kumparan.com, 2018). Sembari menunggu, rakyat Indonesia hanya pasrah dieksploitasi oleh sistem feodalisme, dan kolonialisme. Kepasrahan terhadap keadaan dengan hanya berharap dan berdoa semacam inilah, yang justru menjadi jebakan dalam menuju kemerdekaan.
Pola pikir kepercayaan terhadap mistik dan takhayul bangsa Indonesia, coba dikritik oleh Tan dalam bukunya madilog dengan analogi, “Lapar tak berarti kenyang buat si miskin. Si Lapar yang kurus kering tak akan bisa kita kenyangkan dengan kata kenyang saja, walaupun kita ulang 1001 kali” (Tan Malaka, 2019).
ADVERTISEMENT
Dominasi kepercayaan mistik justru membuat ilmu pengetahuan/Sains tidak berkembang dengan baik di Indonesia. Padahal kala itu, Belanda dan bangsa eropa lainnya sedang gencar-gencarnya mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemudahan hidup peradaban manusia. Sedangkan, Masyarakat Indonesia hanya pasif dan mengharapkan ratu adil yang akan muncul sebagai pembebas ketertindasan. Disamping kesengsaraan rakyat masih meluas, kepercayaan akan ada sosok pemimpin yang menjadi “juru selamat” ada sebagai pengayom penderitaan (Subarkah, 2020).
Ketika kita menengok kebelakang dalam sejarah Indonesia, bukan logika mistika dan kepercayaan terhadap takhayul yang membebaskan rakyat terhadap tirani kolonial. Keyakinan terhadap munculnya “ratu adil” juga tak kunjung datang, bahkan hingga saat ini. Akan tetapi, dunia pendidikan dengan Ilmu Pengetahuan/sains yang diajarkan didalamnya, yang menumbuhkan gerakan pembebasan pada kalangan pribumi terhadap feodalisme dan kolonialisme.
ADVERTISEMENT
Melalui kebijakan yang dikenal dengan politik etis, sekolah dan perguruan tinggi dibuka dan aturan-aturan diperlonggar agar rakyat pribumi dapat mengenyam pendidikan. Para ilmuwan Eropa mendirikan institusi lokal dan mereplikasi seutuhnya penyelidikan ilmiah yang biasa dilakukan di Eropa agar risetnya dapat dilakukan lebih efektif dan dekat dengan wilayah penelitiannya (Santoso, 2020). Walaupun pendidikan yang diberikan bersifat diskriminatif dan hanya menguntungkan pemerintah kolonial semata. Ketersediaan buruh terdidik yang dapat digaji dengan murah. Namun, kebijakan ini justru menjadi “bumerang” terhadap kekuasaan kolonial bangsa belanda.
Meski politik etis hanya berlangsung selama beberapa tahun saja, tetapi platform ini memiliki pengaruh besar terhadap tumbuh dan berkembangnya pergerakan nasional bangsa Indonesia. Pemerintahan kolonial mulai dibuat kocar-kacir dengan munculnya berbagai perkumpulan, serikat, dan organisasi pergerakan yang semakin sistematis, terstruktur, dan berskala nasional. Fakta sejarah ini senada dengan perkataan Nilson Mandela bahwa “Pendidikan adalah Senjata Yang Paling Ampuh Yang Bisa Anda Gunakan Untuk Mengubah Dunia”.
ADVERTISEMENT
Kendatipun, kaum terdidik jebolan politik etis sebagaian tumbuh menjadi elite menengah baru di masyarakat yang larut dalam gaya hidup perkotaan. Posisi mereka berada pada elite feodal lama dan kaum marjinal (Dahana, 2018). Melalui pendidikan yang diberikan oleh pemerintahan kolonial, biasanya mereka berprofesi sebagai guru, mantri, juru tulis, kerani perkebunan, pegawai rendahan pada kantor pemerintah atau buruh pribumi terpelajar yang terserap dalam industri.
Adanya politk etis melahirkan pejuang kemerdekaan yang terpelajar dan terdidik, seperti Sutomo, Wahidin Soedirohusodo, Gunawan, hingga H.O.S Tjokroaminoto. Lahir intelektual pribumi yang tidak lagi buta huruf sehingga sadar bahwa Indonesia masih sangat terbelakang. Mereka kemudian mendirikan organisasi-organisasi pergerakan nasioanl, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, hingga perhimpunan Indonesia. Seperti yang dilansir di Kompas.com (25/02/2020), selanjutnya organisasi tersebut dipakai sebagai alat perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pengalaman sejarah Indonesia ini dapat menjadi hikmah betapa pentingnya pengaruh pendidikan terhadap peradaban suatu bangsa. Sekolah bukan hanya sekedar pemenuhan stok tenaga kerja terhadap dunia industri. Namun, edukasi menjadi jalan pembebas melawan kemiskinan, dan terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh umat. Walaupun, pemerintahan kolonial amat berhati-hari dalam memberikan pendidikan terhadap pribumi. Tetapi, pendidikan dapat menjadi senjata melawan kekuasaan kolonial.
Pengalaman kelam otoritas kolonial ini juga seharusnya menjadi petuah terhadap pemerintah Indonesia, jika ingin mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Amanat konstitusi bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan harus dijalankan dengan semestinya, tanpa adanya diskriminasi dan kesulitan dalam mengakses pembelajaran. Pendidikan merupakan hak publik, dan akan menjadi problematis ketika barang publik tersebut diperjualbelikan layaknya komoditas produk dagang. Mereka yang kaya dapat mengakses pendidikan, sedangkan masyarakat miskin sulit membiayai sekolah anak-anaknya. Kepandaian diukur dari seberapa besar uang yang diberikan untuk membiayai pendidikan. Kini, kita telah merdeka, jika pendidikan masih menjadi komoditas dagang yang sulit diakses oleh orang banyak. Maka dapat disimpulkan, jiwa pemerintah Indonesia masih bermental kolonial.
ADVERTISEMENT
Disusun Oleh :
"Amirudein Al Hibbi"
Mahasiswa Administrasi Publik, Universitas Negeri Yogyakarta
Referensi :
Dahana, Tommy R .2018. Persimpangan Jalan Buruh dan Kelas Menengah. Retrieved by
https://indoprogress.com/2018/04/persimpangan-jalan-buruh-dan-kelas-menengah/
Kompas.com. (2020, Februari ). Politik Etis : Tujuan dan Latar Belakang. Retrieved by
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/25/080000069/politik-etis--tujuan-dan-
latar-belakang
Kumparan.com. (2018, 20 September). Awalnya Muncul Kepercayaan Ratu Adil. Retrieved
by https://kumparan.com/hijab-lifestyle/awalnya-muncul-kepercayaan-ratu-adil-
1537425752228317187/full
Kurniawan, Dian. 2018. Bura Pendekar Sakti Bercelurit dari Jember yang Bikin Pening
Belanda. Retrieved by https://www.liputan6.com/regional/read/3689915/bura-
pendekar-sakti-bercelurit-dari-jember-yang-bikin-pening-belanda.
Malaka, Tan. 2019. Aksi Massa. Yogyakarta : Penerbit Narasi
Malaka, Tan. 2019. Madilog. Yogyakarta : Penerbit Narasi
Santoso, Irawan. 2020. Bagaimana Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Penjajahan
Melupakan Peran Orang Pribumi. Retrieved by
ADVERTISEMENT
https://almi.or.id/2020/07/23/bagaimana-perkembangan-ilmu-pengetahuan-pada-
masa-penjajahan-melupakan-peran-orang-pribumi/
Subarkah, Muhammad (2020, 02 Juni). Dibawah Bayang Ratu Adil. Retrieved by
https://republika.co.id/berita/koran/teraju/14/06/02/n6j7k319-di-bawah-bayang-ratu-
adil.
Wibisono, Joss. 2020. Mitos 350 Tahun Penjajahan. Retrieved by
https://www.google.com/url?client=internal-element-cse&cx=partner-pub-
1780369399756513:4997575038&q=https://historia.id/politik/articles/mitos-350-
tahun-penjajahan-