Konten dari Pengguna

Cleansing Guru Honorer Tak Menyelesaikan Masalah

Amirudin Mahmud
Sehari-hari saya bekerja sebagai guru sekolah dasar. Menulis menjadi bagian penting dalam keseharian sebagai iktiar berbagi kebaikan dan kebahagian.
30 Juli 2024 6:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amirudin Mahmud tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Guru Mengajar Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Guru Mengajar Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Persoalan guru honorer kembali menjadi perbincangan khalayak akhir-akhir ini setelah Dinas Pendidikan DKI Jakarta memberhentikan 107 guru honorer secara mendadak. Mereka terkena kebijakan apa yang disebut dengan cleansing guru honorer. Istilah “cleansing” sendiri menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
ADVERTISEMENT
Istilah “cleansing” yang berarti pembersihan telah merendahkan martabat seorang guru sebagai pendidik yang mencerdaskan anak bangsa. Mereka bukan penjahat, bukan barang najis yang pantas dibersihkan.
Pj Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, menjelaskan kebijakan tersebut diambil atas rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap temuan adanya guru yang tak tercantum di Data Pokok Pendidikan (DAPODIK) dan tak memilki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Mereka digaji dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sementara itu, berdasarkan regulasi yang ada, syarat guru honorer dapat dibiayai dana BOS di antaranya harus terdaftar dalam Dapodik dan memiliki NUPTK.
Sebagai manusia, para guru honorer pantas terkejut, kecewa dan marah. Mereka tak memperoleh perlakuan yang sepantasnya. Diberhentikan secara mendadak dengan menggunakan chat di Whatsapp, pemberitahuan spontan.
ADVERTISEMENT
Tidak ada peringatan sebelumnya jika ada kesalahan. Sebenarnya apa salah mereka? Apakah karena mereka Bukan PNS? Atau karena mereka bukan PPK? Sehingga mereka dipandang sebelah mata. Atau semata mereka adalah korban dari sistem pendidikan yang ada? Korban dari para pengambil kebijakan?
Saya yakin guru honorer masuk atas rekrutmen sekolah. Tak mungkin mereka masuk dengan sendirinya. Kepala sekolah sebagai pemimpin lembaga merekrut mereka berdasarkan pada kebutuhan. Kepala sekolah melakukan hal tersebut pastinya sepengetahuan atasannya, pengawas sekolah setidaknya.
Pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta beralasan bahwa kebijakan cleansing diberlakukan pada sekolah yang kelebihan guru karena datangnya guru PPK. Sehingga guru honorer dipaksa mengalah, dikeluarkan. Seperti habis manis sepah dibuang. Mereka tak dibutuhkan lagi, mereka pun dibuang. Sungguh kebijakan yang tak bijak, grasa-grusu, tak mendatangkan solusi atau jalan keluar. Kebijakan yang hanya mengakomodir dan mengamankan kepentingan sepihak. Guru honor benar-benar terabaikan.
ADVERTISEMENT
Sedikit cerita, saya adalah seorang kepala sekolah. Saya menyaksikan guru memang kurang. SD yang saya pimpin misalnya tak ada guru PAI juga guru Olahraga. Untung guru kelas yang ada siap memberikan pembelajaran dua pelajaran tersebut. Kualitas pembelajaran pastinya tak seperti jika disampaikan oleh guru bidang studi Agama dan Olahraga.
Tapi apa mau dikata, keadaan memaksa. Tidak ada rotan akar pun jadi. Saya pernah berpikir akan mengangkat guru honor lagi, tapi regulasi melarangnya. Di sekolah lain satu SD hanya ada 4 guru, Kebayang nggak? Enam kelas diajar oleh empat guru. Kondisi seperti ini yang membuat kepala sekolah terpaksa menambah guru honorer.
Kemudian, di lapangan jumlah guru ASN itu sedikit. Tenaga honorer lebih banyak jumlahnya. Bahkan ada SD yang semua gurunya tenaga honorer kecuali kepala sekolahnya. Ini menjadi sebuah ketimpangan. Satu sisi kita kurang guru, sisi lain pemerintah tak mengangkat guru ASN untuk menutup kekurangan. Apa pantas disalahkan jika kepala sekolah mengambil kebijakan untuk menyelamatkan keadaan dengan mengangkat guru honorer?
ADVERTISEMENT
Kalau seperti ini terus sampai kapan pun persoalan tenaga honorer dalam hal ini guru tak akan pernah selesai. Ibarat tong edan atau tong setan di pasar malam yang berputar terus menerus. Tak pernah berhenti. Satu masalah pergi seribu datang berganti. Selama ini pemerintah tak pernah memotong akar masalahnya yakni kekurangan guru. Coba kalau pemerintah bisa menutupi kekurangan guru dengan mengangkat ASN sesuai kebutuhan dapat dipastikan persoalan guru honorer akan hilang dengan sendirinya.
Kembali ke soal kebijakan cleansing, kesalahan utamanya adalah tak memanusiakan manusia. Guru dianggap seperti barang, tak dibutuhkan dibuang ibarat sampah. Dibersihkan seperti kotoran. Tidak ada upaya pendekatan. Menutup dialog. Hanya mengacuh pada aturan. Konon perpedoman pada temuan BPK. Jelas berpikir dan bertindak saklek, kaku seperti ini tak tepat. Salah.
ADVERTISEMENT
Sekarang saya kira belum terlambat jika Disdik DKI Jakarta mau memperbaiki. Minta maaf, akui kesalahan. Kemudian duduk bersama, buka dialog dengan para guru. Cari solusi bersama. Pendekatan kekuasaan tak akan menyelesaikan masalah. Tapi sepanjang pengetahuan saya, tak pernah ada pejabat di Indonesia yang mengakui kesalahan. Tak pernah ada pejabat yang mengundurkan diri akibat salah mengambil kebijakan. Pejabat kita gengsinya sangat besar.
Yang sering terjadi justru cuci tangan, menuding orang lain. Lari dari tanggungjawab. Melempar persoalan. Dalam masalah ini pihak Disdik tak bisa melepaskan tanggungjawab seakan mereka tak mengetahui keadaan sebenarnya, bahwa jumlah guru memang kurang. Bahwa mereka diangkat atas dasar untuk menutup kekurangan tersebut.
Saya yakin kepala sekolah pun ketika mengangkat guru honorer sepengetahuan pihak Disdik. Setidaknya pengawas sekolah sebagai kepanjangan tangan Disdik di lapangan mengetahuinya. Bisa jadi mengizinkan pengangkatan guru honor tersebut pada awalnya.
ADVERTISEMENT
Sepatutnya ini menjadi pembelajaran bagi semua. Bahwa dalam menyelesaikan masalah kita seharusnya mengenali akar masalah sesungguhnya. Kemudian menguraikannya dari A sampai Z. Baru setelah itu dirumuskan solusi yang bisa mencabut akar masalah yang dihadapi sehingga masalah akan segera hilang untuk selamanya.
Sekali lagi akar masalah guru honorer sesungguhnya adalah kekurangan jumlah guru di sekolah. Tanggung jawab pemerintah menutupi kekurangan dimaksud dengan mengangkat guru ASN. Opsi yang dipilih selama ini sebenarnya sudah tepat.
Membuka rekrutmen CPNS bagi lulusan kependidikan yang baru menyelesaikan study. Mengangkat PPPK dari tenaga honorer. Persoalannya ada pada jumlah. Jumlah pengangkatan jauh lebih kecil dari jumlah kebutuhan guru di sekolah. Itu semua akan kembali ke anggaran.
Kalau pemerintah serius ingin menyelesaikan masalah alokasikan anggaran besar-besaran untuk pemenuhan kebutuhan guru di sekolah. Hanya keberanian dan tekad untuk itu tak ada. Kenapa karena memang pendidikan tidak sepenuhnya dianggap penting.
ADVERTISEMENT
Banyak hal yang lebih dianggap penting sekadar memenuhi kebutuhan guru membangun jalan tol atau proyek infrastruktur lainnya misalnya. Untuk urusan infrastruktur pemerintah berani berutang ke luar negeri karena dianggapnya sangat penting. Bagaimana dengan soal kekurangan guru? Pentingkah?
Alhasil pembangun sumber daya manusia (SDM) itu sangat penting. Pendidikan merupakan salah satu upaya menyiapkan SDM Indonesia menatap masa depan. Konon kaisar Jepang setelah negeri mereka hancur dibombardir pada perang dunia kedua pertama kali yang dipikirkan adalah para guru. Dia sadar bahwa membangun SDM adalah hal pertama dan utama dalam pembangunan sebuah negara.
Bung Karno pernah meminta cukup 10 pemuda guna taklukkan dunia. Artinya, dengan SDM yang berkualitas, kuat, unggul Indonesia tidak sekadar jaya dan sejahtera tapi sanggup menalukkan dunia. Bagaimana menyiapkan SDM Indonesia? Jawabannya tak lain adalah kualitas pendidikan. Sekali lagi, kualitas pendidikan. Wa Allahu Alam Bishawab
ADVERTISEMENT