Dunia di Balik Kamp 'Neraka' Xinjiang, China

Amnesty International Indonesia
Ayo wujudkan dunia di mana hak-hak asasi dapat dinikmati setiap manusia
Konten dari Pengguna
25 September 2018 13:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amnesty International Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Keluarga Para Tahanan di Xinjiang China (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Keluarga Para Tahanan di Xinjiang China (Foto: Istimewa)
ADVERTISEMENT
- Hampir satu juta orang yang mayoritas Muslim ditahan di kamp-kamp di Xinjiang di China
ADVERTISEMENT
- Keluarga korban menceritakan kepada Amnesty International mengenai keputusasaan mereka dalam mencari kabar mengenai kehilangan orang-orang tercinta
China harus menghentikan represi yang sistematis dan memberikan penjelasan mengenai nasib sekitar satu juta orang mayoritas muslim yang ditahan secara sewenang-wenang di daerah otonomi Uighur Xinjiang (XUAR).
Dalam setahun terakhir, pemerintah setempat meningkatkan kampanye penahanan massal, pengawasan intrusif, indoktrinasi politik, asimilasi paksa terhadap etnis Uighur dan Kazakhs, serta kelompok etnis lainnya. Mayoritas keluarga korban tidak mendapatkan informasi mengenai nasib orang-orang yang mereka cintai. Mereka juga ketakutan untuk berbicara mengenai penahanan tersebut.
“Pemerintah China tidak boleh diizinkan untuk terus melakukan kampanye kejam terhadap etnis minoritas di barat laut China. Pemerintah di seluruh dunia harus meminta pertanggungjawaban China atas kekejaman yang terungkap di XUAR,” kata Direktur Amnesty International Asia Timur, Nicholas Bequelin.
ADVERTISEMENT
“Keluarga telah cukup menderita. Ratusan ribu keluarga telah tercerai-berai oleh kampanye masif ini. Mereka putus asa mencari informasi mengenai apa yang terjadi pada orang-orang yang mereka cintai. Sekarang waktunya otoritas China memberikan mereka jawaban.”
Dalam laporan terbaru China, Where are they? Time for answers about mass detentions in Xinjiang Uighur Autonomous Region, Amnesty International memaparkan mengenai penderitaan orang-orang yang telah kehilangan kontak dengan keluarga ataupun teman mereka yang ditahan di XUAR.
Amnesty International mewawancarai lebih dari 100 orang di luar China yang telah kehilangan anggota keluarga mereka di XUAR, dan orang-orang yang disiksa di kamp-kamp penahanan di sana.
Penahanan Massal
Salah satu keluarga tahanan, Gulzire, asal Jerman (Foto: istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu keluarga tahanan, Gulzire, asal Jerman (Foto: istimewa)
Penahanan orang-orang dari kelompok etnis mayoritas muslim di XUAR meningkat sejak Maret 2017, ketika aturan terkait “Deradikalisasi” diadopsi di daerah tersebut. Secara terbuka atau pribadi menunjukkan afiliasi agama dan budaya termasuk menumbuhkan jenggot yang “tidak normal”, menggunakan hijab, melaksanakan ibadah, berpuasa atau tidak meminum alkohol, memiliki buku atau artikel terkait Islam, dan budaya Uighur yang dianggap sebagai “ekstremis”.
ADVERTISEMENT
Bepergian ke luar negeri untuk bekerja dan melanjutkan pendidikan khususnya ke negara-negara mayoritas muslim atau melakukan komunikasi dengan orang-orang yang berada di luar China, bisa menjadi alasan utama seseorang menjadi target dari aktivitas pengintaian. Laki-laki, perempuan, muda ataupun tua, mereka yang tinggal di kota atau di daerah perdesaan, semuanya berisiko untuk ditahan.
Pemeriksaan keamanan yang hampir ada di setiap wilayah, merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari bagi mereka yang tinggal di XUAR. Sering kali petugas keamanan memeriksa telepon genggam untuk melihat konten-konten yang mencurigakan, atau memeriksa identitas orang-orang menggunakan software pendeteksi wajah.
Orang-orang dengan mudah dicurigai melalui pemantuan pesan-pesan yang dikirimkan di aplikasi media sosial seperti WeChat yang tidak menggunakan sistem enkripsi. Menggunakan aplikasi alternatif berenkripsi seperti WhatsApp bisa berujung pada penahanan.
ADVERTISEMENT
Otoritas setempat menyebut kamp-kamp tersebut sebagai pusat “transformasi-melalui-pendidikan”, tapi banyak juga yang menyebutnya “kamp-kamp pendidikan ulang”. Mereka yang dikirim ke kamp-kamp tidak akan menjalani pengadilan dan tidak memiliki akses pengacara, serta tidak memiliki hak untuk menggugat penahanan tersebut.
Orang-orang akan menderita berbulan-bulan di kamp-kamp penahanan karena hanya otoritas setempat yang berhak untuk menyatakan apakah seseorang telah “berubah” atau belum.
Keluarga tahanan bernama Bota asal Khazakhstan (Foto: istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Keluarga tahanan bernama Bota asal Khazakhstan (Foto: istimewa)
Seorang warga Uighur, Kairat Samarkan, dikirim ke kamp penahanan pada Oktober 2017, saat kembali ke XUAR setelah melakukan kunjungan singkat ke Kazakhstan. Polisi mengatakan kepada dia bahwa dirinya ditahan karena memiliki dua kewarganegaraan, dan hal tersebut dianggap sebagai pengkhianatan terhadap negara. Ia dibebaskan pada Februari 2018.
Kairat menceritakan kepada Amnesty bahwa tangan dan kakinya dibelenggu dan dipaksa untuk berdiri tegap. Ia tidak boleh bergerak selama 12 jam ketika pertama ditahan.
ADVERTISEMENT
Ada sekitar 6.000 orang di kamp yang sama, di mana mereka semua dipaksa untuk menyanyikan lagu-lagu politik dan mempelajari pidato-pidato Partai Komunis China. Mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara dan dipaksa menyanyikan “Hidup Xi Jinping” sebelum makan. Kiarat mengatakan, penyiksaan yang diderita mengakibatkan dirinya mencoba untuk bunuh diri sebelum akhirnya dibebaskan.
Mereka yang menolak atau gagal menunjukkan perkembangan, terancam hukuman mulai dari makian hingga tidak diberi makan. Mereka juga ditempatkan di ruang isolasi dan dipukuli. Banyak laporan terkait kematian di dalam tahanan, termasuk bunuh diri karena tidak sanggup menjalani proses tersebut.
Otoritas setempat menjustifikasi penggunaan tindakan ekstrim tersebut dengan dalih untuk melawan “terorisme” dan menjamin “keamanan nasional”. Bagaimanapun, tindakan untuk melindungi warga negara dari ancaman harus proporsional.
ADVERTISEMENT
“Kamp-kamp penahanan massal tersebut adalah tempat untuk mencuci otak dan menyiksa. Penahanan karena menghubungi keluarga di luar negeri menunjukkan betapa tindakan otoritas China sangat tidak dapat dibenarkan,” kata Nicholas Bequelin.
Mencerai-beraikan Keluarga
Keluarga tahanan bernama Bota asal Khazakhstan (Foto: istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Keluarga tahanan bernama Bota asal Khazakhstan (Foto: istimewa)
Selama berbulan-bulan, anggota keluarga dari korban yang ditahan di kamp penahanan hanya bisa menanggung penderitaan mereka sendirian. Mereka berharap, kehilangan kontak dengan orang yang mereka cintai hanya bersifat sementara. Mereka khawatir akan memperkeruh situasi jika mencoba mencari pertolongan dari luar. Dikarenakan, hingga saat ini belum ada kejelasan informasi, banyak dari mereka yang mulai secara publik berbicara.
Bota Kussaiyn, seorang mahasiswa yang berasal dari etnis Kazakh yang sedang belajar di Moscow State University, berbicara dengan ayahnya, Kussaiyn Sagymbai, melalui WeChat pada November 2017. Berasal dari XUAR, keluarga mereka pindah dan menetap di Kazakhstan pada 2013.
ADVERTISEMENT
Ayah Bota kembali ke China pada akhir 2017 untuk bertemu seorang dokter, tapi otoritas setempat menyita passport-nya setelah sampai di XUAR. Bota mengetahui dari anggota keluarganya bahwa ayahnya dikirim ke “kamp Pendidikan ulang”.
Kerabatnya di XUAR sangat mengkhawatirkan bahwa komunikasi lebih jauh akan membuat mereka dalam ancamanan. Mereka akhirnya menghentikan komunikasi dengan Bota.
Bota mengatakan kepada Amnesty: “Ayah saya adalah seorang warga negara biasa. Kami adalah keluarga yang bahagia sebelum dia ditahan. Kami tertawa bersama. Sekarang kami tidak bisa tertawa lagi dan tidak bisa tidur di malam hari. Kami hidup dalam ketakutan setiap hari. Kejadian ini meninggalkan trauma mendalam pada ibu saya. Kami tidak tahu di mana ayah kami sekarang. Kami bahkan tidak tahu apakah dia masih hidup. Aku ingin melihat ayahku lagi”.
Keluarga tahanan bernama Murat Harri Uyghur asal Finland (Foto: istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Keluarga tahanan bernama Murat Harri Uyghur asal Finland (Foto: istimewa)
Banyak anggota keluarga dan teman yang tinggal di luar negeri mengatakan, mereka merasa bersalah karena telah berkomunasi dengan kerabatnya di XUAR hingga membuat para kerabat di sana dalam bahaya. Otoritas setempat menuduh mereka memiliki hubungan dengan grup dari luar, dan pemerintah China menuduh mereka mempromosikan “ekstrimisme” agama atau membuat rencana “teror”.
ADVERTISEMENT
Untuk menghindari kecurigaan dari otoritas, warga etnis Uighur dan Kazakhs di XUAR, telah memutuskan hubungan dengan teman dan keluarga yang tinggal di luar China.
Mereka memberitahu teman untuk tidak menghubungi atau meminta menghapus kontak di aplikasi media sosial. Akibat para kerabat yang tinggal di luar negeri tidak mendapatkan informasi yang cukup, maka mereka hanya bisa menduga hal terburuk telah terjadi.
Ketika orang tua ditahan, maka anak-anaklah yang menderita karena banyak keluarga yang akan mengalami kesulitan ekonomi. Anak-anak yang lebih tua dikirim ke pusat-pusat pelatihan milik negara, sementara adik-adik mereka dikirim ke “pusat-pusat kesejahteraan” yang dibangun sejak 2017.
Pengintaian
Keluarga tahanan bernama Gulchechra Hoja asal USA (Foto: istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Keluarga tahanan bernama Gulchechra Hoja asal USA (Foto: istimewa)
Untuk menambah tekanan kepada kerabat yang tinggal di luar negeri, petugas keamanan China secara agresif berupaya merekrut mata-mata yang berasal dari komunitas-komunitas yang ada di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Mereka yang ditargetkan diancam bahwa keluarga mereka di XUAR akan ditahan jika mereka tidak kooperatif. Jika mereka koperatif, otoritas China menjanjikan anggota keluarga yang mereka cintai akan diperlakukan dengan baik.
Ketidaktahuan mengenai komunitas-komunitas mana saja di luar negeri yang menjadi pelapor kepada otoritas keamanan China, membuat kerabat hidup dalam kecurigaan, isolasi, dan ketakutan.
“Kampanye sistematis oleh otoritas China membawa konsekuensi yang buruk bagi kehidupan jutaan orang. Sekarang saatnya otoritas setempat untuk terbuka mengenai kamp-kamp tersebut, dan menyatukan mereka kepada keluarga mereka kembali,” kata Nicholas Bequelin.