New Normal, adaptasi yang melupakan mitigasi

Among Prakosa
Non-fiction writer
Konten dari Pengguna
9 Juni 2020 7:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Among Prakosa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pengunjung memasuki sebuah toko di Padang, Sumatera Barat, Rabu (20/5/2020). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra, sumber indonesia.go.id
zoom-in-whitePerbesar
Pengunjung memasuki sebuah toko di Padang, Sumatera Barat, Rabu (20/5/2020). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra, sumber indonesia.go.id
ADVERTISEMENT
Seminggu setelah Lebaran, wacana New Normal banyak muncul di berbagai tingkat saluran komunikasi. Mulai dari berita resmi di media massa hingga grup whatsapp keluarga. New Normal ini disebut sebagai upaya Indonesia untuk “berdamai” dengan COVID-19, atau dalam kata lain adaptasi.
ADVERTISEMENT
Tips dan trik menjalani new normal juga banyak beredar di sosial media, pemerintah pun menerbitkan panduan melakukan adaptasi, seperti Keputusan Menteri Kesehatan HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.
Berbagai panduan ini, dalam versi panjang maupun ringkas cukup rinci memberikan petunjuk bagaimana hidup saat, atau, setelah pandemi. Membawa hand sanitizer, peralatan makan sendiri, memakai masker dan membawa masker cadangan, tidak berdesakan dan kewajiban mengukur suhu di pintu-pintu masuk pelayanan publik juga pusat perbelanjaan. Namun wacana new normal melupakan aspek penting lainnya; mencegah pandemi terjadi kembali.
Dari Wuhan hingga Washington
Coronavirus (COVID-19) pertama kali dideteksi di Kota Wuhan, Provinsi Hubei Cina. Dari pelacakan, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China (CDC) menyimpulkan infeksi virus dengan gejala seperti pneumonia pertama kali ditemukan pada manusia di Pasar Huanan. Huanan Seafood Market adalah pasar serba ada yang menjual apa saja, termasuk hewan hidup untuk konsumsi seperti ayam, anak anjing serigala, rubah, tikus, berbagai spesies reptil, kelelawar juga landak dan merak.
ADVERTISEMENT
Dari 33 sampel yang diambil dari area perdagangan satwa liar di Pasar Huanan, 31 sampel dinyatakan positif coronavirus, "Hasilnya menunjukkan bahwa wabah coronavirus baru sangat relevan untuk perdagangan hewan liar," seperti dilansir New York Post.
Sebelumnya di tahun 2007, kelompok ilmuwan di Hong Kong sudah memperingatkan adanya temuan tipe coronavirus baru. Dalam Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus as an Agent of Emerging and Reemerging Infection, para peneliti menyebutkan jumlah temuan tipe coronavirus pada hewan mamalia meningkat tiga kali lipat sejak kasus severe acute respiratory syndrome (SARS) coronavirus (SARS-CoV) pertama kali terjadi di tahun 2003.
Berkat pelacakan di spesies mamalia lain coronavirus juga ditemukan pada musang dan kelelawar. Dalam kurun waktu empat tahun, pemantauan coronavirus pada spesies yang lebih beragam berhasil mencatat 36 jenis coronavirus, dari sebelumnya 12 coronavirus yang diketahui di tahun 2003.
ADVERTISEMENT
Para peneliti juga menyoroti peningkatan permintaan pada protein hewani di Cina, seiring pertumbuhan ekonomi kawasan Cina Selatan, yang meningkatkan risiko transmisi coronavirus dari hewan ke manusia. Risiko transmisi virus terutama disebabkan oleh kepadatan populasi hewan dalam satu kandang. Kepadatan populasi menimbulkan stres pada hewan yang berdampak pada melemahnya sistem kekebalan tubuh.
Selama 12 tahun peringatan ini tidak dianggap serius, hingga COVID-19 muncul.
Di kalangan aktivis pelindung hewan, seruan untuk menghentikan praktik-praktik eksploitasi hewan untuk hiburan dan konsumsi manusia sudah berlangsung lama. Belakangan, merambahnya eksploitasi ini ke model produksi massal, dalam bentuk peternakan maupun tangkapan liar dari alam, meningkatkan desakan untuk mengakhiri eksploitasi ini.
Terkait dengan COVID-19 dan pasar hewan hidup, sejumlah petisi telah diluncurkan sejak bulan Maret lalu. Menargetkan berbagai institusi seperti WHO, Pemerintah Cina, dan Pemerintah Federal Amerika.
ADVERTISEMENT
Kampanye lewat petisi ini berhasil, setidaknya pada Pemerintah Cina yang telah melarang konsumsi hewan liar. Kebijakan ini disusul dengan rencana Pemerintah Cina menetapkan anjing sebagai hewan bukan untuk konsumsi (non-livestock), setelah Shenzhen menjadi kota pertama di Cina yang menyusun aturan larangan konsumsi anjing dan kucing.
Bagaimana dengan Indonesia?
Lampung, Jakarta, Bandung hingga Tomohon
Sejauh ini wacana new normal dari pemerintah Indonesia masih belum menyentuh praktik konsumsi hewan liar dan kuliner eksotik sebagai langkah mitigasi. Meski di luar tembok pemerintahan sudah ada peringatan terhadap bahaya transportasi dan konsumsi hewan liar pada zoonosis—penyakit pada manusia akibat perpindahan virus atau bakteri dari hewan.
Di laman Center for Indonesia Veterinary Analytical Studies (CIVAS), Tri Satya Putri Naipospos, Ketua II Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) mengatakan dalam 20 tahun terakhir penyakit zoonosis baru bersumber dari satwa liar, seperti human immunodeficiency virus (HIV), Ebola, virus Nipah, severe acute respiratory syndrome (SARS) dan Middle East respiratory syndrome (MERS). Ia pun memastikan,
ADVERTISEMENT
Kenyataannya, kampanye kelompok pelindung hewan di Indonesia, yang mendesak penutupan pasar hewan hidup dan hewan liar, umumnya disebut pasar burung, sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu.
Maret 2018 Yayasan Scorpion Indonesia mempetisi Gubernur DKI Jakarta agar menutup Pasar Hewan Jatinegara yang menjual musang dan monyet ekor panjang. Petisi ini hanya mendapatkan kurang dari 250 dukungan, namun sepertinya bukan itu alasan Pemerintah DKI Jakarta bergeming.
Di tempat lain, awal tahun 2019, Koalisi DMFI mengajak Peter Egan berkunjung ke Pasar Beriman, pasar yang mendapat reputasi sebagai pasar ekstrim karena menjual berbagai macam jenis hewan liar, mamalia maupun reptil, untuk konsumsi. Tapi kampanye yang terhitung sukses dari segi pemberitaan media di dalam dan luar negeri ini seakan angin lalu. Pemerintah Kota Tomohon juga bergeming persis sikap Pemerintah DKI Jakarta pada kampanye Yayasan Scorpion tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Tahun 2020 ini, terbit dua petisi baru kepada pemerintah agar menutup pasar burung atau pasar hewan liar. Masing-masing dari Perkumpulan Pembela Satwa liar. Tak tanggung-tanggung Perkumpulan Pembela Satwa mempetisi 14 kepala daerah dari Lampung, DKI Jakarta, Bandung hingga Tomohon. Sementara petisi dari Koalisi DMFI yang sudah mengumpulkan 200 ribu lebih dukungan menyorot ancaman penyebaran virus seperti rabies dari pasar hewan hidup, juga pertunjukan kekejaman yang berlangsung yang dapat berdampak buruk kesehatan mental anak-anak.
Pandemi COVID-19 ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah pusat dan daerah yang selama ini terkesan membiarkan pasar burung dan hewan liar beroperasi tanpa pengawasan. Menilik ragam spesies yang dijajakan, jumlah individu hewan yang dijual baik terang-terangan maupun tersembunyi, pasar-pasar ini adalah titik panas pertumbuhan virus dan bakteri yang sewaktu-waktu bisa memantik wabah zoonosis berikutnya.
ADVERTISEMENT
Apakah Indonesia akan mengikuti jejak Cina, menutup pasar-pasar hewan hidup, melarang perdagangan anjing dan konsumsi hewan liar demi keamanan dan kesehatan publik? Sebaiknya begitu, karena terbukti nasi kucing tidak membuat Indonesia kebal dari virus COVID-19 dan kemampuan kita melakukan tes masih belum memadai untuk dapat memantau penyebaran virus dengan tepat.