Setiap Saat Hewan yang Diternak Menghadapi Bahaya Disinfektan

Among Prakosa
Non-fiction writer
Konten dari Pengguna
11 Juni 2020 7:42 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Among Prakosa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
WNI disemprot cairan disinfektan saat tiba di Bandara Hang Nadim, Batam (2/2/2020). Sumber foto Kementerian Luar Negeri RI
zoom-in-whitePerbesar
WNI disemprot cairan disinfektan saat tiba di Bandara Hang Nadim, Batam (2/2/2020). Sumber foto Kementerian Luar Negeri RI
ADVERTISEMENT
Sebelum ribut-ribut penyemprotan disinfektan langsung ke manusia, di peternakan yang jauh dari perhatian masyarakat umum, hewan yang diternak sudah lama menghadapi risiko paparan disinfektan.
ADVERTISEMENT
Kita bisa melihat dari tayangan di YouTube, peternak menganjurkan berbagai jenis disinfektan, beberapa hasil percobaan sendiri dengan bahan kimia lain seperti pemutih pakaian untuk menghambat penyebaran wabah penyakit.
Tidak sedikit dari video itu menunjukkan penyemprotan langsung pada hewan. Saat wabah penyakit menyebar pada babi di Indonesia, dinas pertanian di Bali dan Sumatera Utara juga melakukan penyemprotan di kandang yang masih ada individu babi di dalamnya.
Pada manusia, praktik disinfeksi langsung ke tubuh manusia yang marak saat pandemi COVID-19 dikritik para ahli karena membahayakan kesehatan manusia.
Bermula awal Februari 2020, saat WNI dari Wuhan tiba di bandara Hang Nadim Batam, kita melihat dalam tayangan berita, petugas penjemputan yang mengenakan hazmat menyemprotkan cairan desinfektan ke tubuh setiap penumpang.
ADVERTISEMENT
Praktik ini sempat meluas ke kota-kota lain di Indonesia, mobil pemadam kebakaran dan kendaraan tempur polisi berkeliling menyemprotkan desinfektan dengan meriam air, orang-orang juga wajib menjalani disinfeksi dalam dalam bilik sterilisasi yang marak di bangun di gerbang pemukiman, pasar dan halaman perkantoran.
Hingga akhirnya Dr N. Paranietharan, perwakilan WHO untuk Indonesia pun buka suara dan memperingatkan pemerintah Indonesia, untuk menghentikan praktik ini karena berbahaya bagi kesehatan manusia.
Tak hanya menyebabkan iritasi jika terkena kulit atau mata, disinfektan juga bisa menyebabkan keracunan dan gangguan pernafasan. Disinfektan yang terhirup bahkan bisa mengakibatkan luka di paru-paru.
Apakah paparan desinfektan yang berbahaya bagi manusia aman jika disemprotkan langsung pada hewan?
Berbagai laporan ilmiah menunjukan desinfektan seperti Chloroxylenol terbukti menyebabkan gangguan reproduksi juga penurunan nafsu makan tikus, dan mematikan bagi ikan. Sementara Sodium hypochlorite atau natrium hipoklorit, bahan aktif pemutih pakaian, dilaporkan menyebabkan kelumpuhan, diare, hingga kematian pada tikus. Menimbulkan akumulasi gas yang kuat di lambung dan usus, pembengkakan hati, perdarahan gastritis dan enteritis pada hewan yang diteliti dalam laboratorium—praktik lain kekejaman manusia pada hewan.
ADVERTISEMENT
Di Cina sendiri, pada Februari lalu terjadi kematian massal hewan liar di kota Chongqing, barat daya Cina. Dari 135 sampel yang diuji, terbukti hewan-hewan liar tersebut mati akibat teracuni disinfektan yang digunakan untuk mengendalikan penyebaran COVID-19. Setidaknya 17 spesies hewan terdampak, termasuk babi hutan, musang, dan burung, menurut Biro Kehutanan Chongqing.
Mengapa sesuatu yang berbahaya pada manusia, dianggap berbahaya pada hewan liar maupun peliharaan, namun diterima sebagai kewajaran pada hewan yang diternak untuk konsumsi?
Animal Industrial Complex
Alasan dari penyemprotan langsung desinfektan pada hewan yang diternak bukan karena itu aman pada hewan. Namun karena kita, manusia, menerapkan standar kesehatan yang lebih rendah pada spesies lain, terutama pada hewan yang diternak untuk konsumsi. Meskipun berbahaya bagi kesehatan hewan, penyemprotan langsung disinfektan pada hewan kita anggap sebagai hal yang wajar, selama itu tidak merugikan, atau bahkan menguntungkan, secara ekonomi bagi manusia.
ADVERTISEMENT
Perlakuan berbeda ini merupakan wujud dari Animal Industrial Complex yang luas menjangkiti cara pikir manusia modern.
Melalui esainya yang terbit di The Scavenger, Richard Twine, sosiolog dan pengajar di Edge Hill University memberikan definisi Animal Industrial Complex, satu istilah yang pertama kali dikenalkan Barbara Noske dalam bukunya, Humans and Other Animals (1989).
Richard Twine menyebutkan, Animal Industrial Complex sebagai
Lebih jauh Twine mengungkapkan kesamaan antara Animal Industrial Complex dan Military Industrial Complex, bahwa keduanya, menggunakan istilah Michel Foucault, menggambarkan kekuasaan mutlak yang diterima. Seperti para raja dan ratu yang diasumsikan berhak atas kehidupan rakyat jelata, termasuk berhak membiarkan hidup atau mengambil nyawa seseorang. Keduanya, kata Twine, adalah mekanisme ekstraksi sejumlah besar modal melalui pembunuhan tubuh, membangkitkan dan menegaskan kembali simbolisme maskulinitas dan bangsa. Mengeksploitasi berdasarkan kelas dan etnis.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus penggunaan disinfektan pada hewan yang diternak, kita bisa melihat bagaimana kekuasaan manusia pada hewan diterima sebagai hal yang mutlak; petani menyemprotkan cairan pemutih pakaian ke tubuh ayam, petugas pemerintah menyemprotkan disinfektan langsung ke tubuh babi, sedang ia sendiri menggunakan baju hazmat.
Berikutnya, eksploitasi atau diskriminasi dilakukan berdasarkan kelas—hewan liar, hewan langka dilindungi, hewan eksotik, hewan konsumsi dan hewan peliharaan. Juga berdasarkan etnis—mamalia, unggas, atau ikan.
Animal industrial complex selanjutnya mengukur hak hidup satu spesies atau individu hewan berdasarkan nilai ekonominya, yang itu pun sering keliru kita ukur.
Kita melihat bagaimana Pemerintah Kota Solo memusnahkan kelelawar saat ada kasus pasien positif COVID-19. Tindakan ini dilakukan tanpa didahului uji laborat atau setidaknya berkonsultasi pada pakar penyakit hewan liar. Kelelawar, yang telah dipindahkan dari rumahnya di gua-gua gelap yang jauh dari manusia, dibawa ke pasar hewan untuk dijual sebagai makanan eksotik, lantas dibakar begitu saja ketika kita, manusia, merasa terancam dengan kehadiran mereka. Sedangkan di habitat aslinya, kelelawar memiliki peran besar untuk menyebarkan biji-bijian di hutan, satu manfaat yang lupa kita hitung nilai ekonominya.
ADVERTISEMENT
Beberapa minggu kemudian, Pemkot Solo menganggarkan bantuan 100 juta rupiah setiap bulan untuk membantu biaya pakan hewan di Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) yang harus tutup karena pandemi COVID-19. Sebanyak 400 hewan yang “langka dan dilindung” di TSTJ mendapatkan perlakuan lebih baik dibanding ratusan kelelawar, atau ribuan anjing, yang dijadikan sebagai hewan konsumsi di kota yang sama.
Adanya animal industrial complex ini digambarkan secara baik oleh dr. Rebriarina Hapsari, spesialis mikrobiologi klinik terkait penyemprotan disinfektan di masa pandemi COVID-19
Praktik-praktik diskriminatif yang masih berlangsung ini, dari sisi hewan yang menjadi korban namun tidak bisa membela dirinya sendiri, merupakan bentuk kekejaman manusia terhadap spesies hewan lain.
Sebagai mahluk yang mampu berempati, sudah saatnya kita mengakhiri diskriminasi dan memperjuangkan dunia yang aman untuk ditinggali semua spesies.
ADVERTISEMENT