Sejarah dan Bahaya Mainan Slime yang Digandrungi Para Bocah

17 Mei 2017 10:07 WIB
ADVERTISEMENT

Slime (Foto: SoCassie/Youtube)
Slime (Foto: SoCassie/Youtube)

Slimers. Itulah sebutan bagi para penggemar slime yang videonya bertebaran di YouTube. Mainan dengan tekstur elastis yang berwarna-warni itu bisa membuat hati penyukanya senang, hanya dengan dipegang-pegang dan ditarik ulur.

ADVERTISEMENT

Secara ilmiah, Slime masuk kategori cairan non-Newtonian, dengan sifat cairan yang tidak mengikuti hukum Newton.

Hukum Newton menyatakan bahwa tingkat kekentalan cairan konstan dan tidak berubah, seperti air akan terus cair dan encer, mengikuti wadahnya dan menyesuaikan bentuk tak tergantung berapapun tekanan yang diciptakan pada air tersebut.

Nah, tapi tidak demikian dengan slime. Cairan ini tidak seperti air. Tingkat kekentalannya akan berbeda tergantung tekanan yang diberikan pada cairan ini, misal tekanannya rendah ia akan mengalir secara perlahan, tapi jika tekanannya tinggi (dibanting, dirobek) ia akan menjadi keras dan tidak cair.

Slime adalah mainan yang terbuat dari pencampuran lem (PVC dan PVA) dengan cairan boraks (zat yang terdapat pada detergen).

Slime pertama kali dipelajari awal abad 20 saat ilmu polimer sintetis ditetapkan. Penerapan polimer sintetis sendiri sudah sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, contohnya PVC (pipa paralon, lem), polietena (kantong plastik), polipropena (botol plastik), nilon (tekstil), teflon (wajan), poliester (ban mobil), dan sebagainya.

ADVERTISEMENT

Pada 1928, model molekul Staudinger dipelajari oleh dua ilmuwan, Meyer dan Mark. Akhirnya pada 1930-an, model molekul Staudinger diterima oleh masyarakat dan mulai diterapkan. Inilah masa penggunaan polimer sintetis dalam kehidupan sehari-hari.

Berangkat dari sana, banyak pabrik menjual mainan berbahan polimer seperti slime selama bertahun-tahun. Mainan tersebut tak hanya jadi hiburan bagi anak-anak dan orang dewasa, tapi juga disebut dapat membantu mengembangkan ketangkasan dan kreativitas.

Awalnya mainan ini hanya seperti tanah liat yang bisa dibentuk. Wujud dari mainan ini terus berubah dan dimodifikasi seiring berjalannya waktu, seperti penemuan Silly Putty pada tahun 1950-an.

Pada 1980-an, bermacam-macam mainan Slime mulai dipasarkan. Slime tersebut dibuat dari bahan-bahan polimer sintetis seperti polyvinyl alcohol (PVA, dapat ditemukan pada lem cair bening), guar gums (bubuk yang kaya akan serat), dan sebagainya.

ADVERTISEMENT

[Baca juga: 5 Mainan Penghilang Stres yang Viral di YouTube]

Membuat slime bersama anak. (Foto: The Prince Family/YouTube)

Akhir-akhir ini membuat Slime sendiri di rumah semakin populer, terlebih dengan mudahnya mengakses media online macam YouTube yang menyediakan beragam tutorial pembuatan slime.

Seperti disebut di atas, salah satu bahan untuk membuat slime adalah boraks. Tentu saja ini bukan bahan yang ramah anak, bahkan terhadap orang dewasa sekalipun.

Namun demikian, masih banyak yang seolah tak memedulikan bahaya yang mengacam dari penggunaan boraks. Oleh sebab itu sering terjadi luka bakar yang disebabkan kontak langsung antara tangan dan boraks.

Dikutip dari Livescience, ahli luka bakar Staten Island University Hospital di New York, Dr Michael Cooper menyebut sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan luka bakar. Pertama, lamanya kontak dengan bahan kimia atau sumber panas.

ADVERTISEMENT

Kedua adalah kekuatan dari sumber panas. “Terakhir, ketebalan kulit juga berperan, dan anak-anak punya kulit yang lebih tipis,” kata Cooper.

Menurut Cooper, boraks jarang menjadi pemicu luka bakar parah, mengingat bahan tersebut hanya dikategorikan sebagai iritan ringan. Namun untuk menghindari risiko yang tidak diinginkan, tidak ada salahnya membatasi kontak dengan boraks sebagai antisipasi, dan jangan lupa untuk selalu mencuci tangan sesudah memainkan slime.

Selain luka bakar, racun pada slime yang menggandung boraks bisa masuk ke tubuh lewat sistem pernapasan, pencernaan, dan kulit. Coba perhatikan, tak jarang anak kecil memasukkan slime ke dalam mulutnya, bahkan dikunyah dan dicoba dimakan.

Dapat dipastikan, racun-racun bisa masuk ke dalam sistem peredaran darah anak. Tak jarang pula perilaku anak yang kerap mencium mainan juga jadi pintu masuknya zat-zat berbahaya.

ADVERTISEMENT

Akibatnya, racun dapat menurunkan tekanan darah, menyebabkan gangguan otak, kerusakan ginjal, dan lain sebagainya.

Memang saat ini membuat slime tak harus menggunakan boraks sebagai bahan dasar. Berbagai macam bahan lain mulai dimodfiaksi untuk jadi bahan pembuatan slime yang lebih ramah anak dan aman digunakan.

Di sisi lain, slime memiliki beberapa manfaat bagi anak, seperti diungkapkan Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., Psi, seorang psikolog anak dan keluarga. Menurutnya, sebagai seorang psikolog dan orang tua, anak-anak boleh saja memainkan slime karena bisa melatih motorik halus mereka.

“Ada beberapa manfaat untuk anak-anak, salah satunya melatih motorik halus, mengurangi stres anak, dan melatih kreativitas dan imajinasi mereka,” kata Anna saat dihubungi kumparan, Selasa (16/5).

ADVERTISEMENT

[Baca juga Asal-usul Fidget Spinner: untuk Mencegah Bocah Palestina Lempar Batu?]

Orang tua sudah semestinya melakukan tindakan preventif agar anak terhindar dari efek negatif permainan ini. Menurut Anna, membuat slime sendiri jauh lebih aman ketimbang membeli.

Selain itu, jika memang didapati ada efek buruk dari permainan tersebut, sebaiknya orang tua tak hanya melarang penggunaannya, melainkan mencarikan alternatif permainan dan kegiatan lain untuk anak yang memiliki manfaat serupa.

“Tidak bijak juga terlalu steril. Jika anak tetap kekeh dengan permainan itu, bisa ajak anak diskusi atau menemani anak bermain dan memastikan semua aman baginya,” ujar Anna,

Jadi untuk para orang tua, mari bersikap bijak dalam menyikapi tren yang saat ini berkembang. Jadikan media permainan anak bisa bermanfaat sekaligus aman bagi mereka.

ADVERTISEMENT

Reporter: Aditia Rizki Nugraha