Konten dari Pengguna

Menembus Kebisuan: Bagaimana Advokasi Global Mengangkat Isu Rohingya?

Amya Bunga Fathiyah
Mahasiswa Magister Psikologi Sosial Universitas Indonesia
25 Oktober 2024 18:28 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amya Bunga Fathiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi advokasi kelompok mayoritas untuk mendukung minoritas (sumber: www.freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi advokasi kelompok mayoritas untuk mendukung minoritas (sumber: www.freepik.com)
ADVERTISEMENT
Rohingya merupakan kelompok etnis minoritas yang sebagian besar beragama Islam dan telah mendiami Myanmar selama berabad-abad. Namun, mereka tidak diakui sebagai warga negara oleh pemerintah Myanmar. Status tanpa kewarganegaraan ini telah membuat mereka terpinggirkan, dengan akses yang terbatas terhadap pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya, Rohingya secara resmi diakui baik sebagai warga negara maupun kelompok etnis oleh tiga pemerintahan berturut-turut Myanmar setelah kemerdekaan. Namun pada tahun 1978, rezim militer sosialis di bawah Jenderal Ne Win memulai kampanye besar pertama terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine yang bertujuan untuk mengusir mereka secara masal dari wilayah barat Burma, kemudian secara resmi menghapus identitas Rohingya dan melegalkan penghancuran fisik mereka.
Kelompok-kelompok nasionalis Buddha, seperti MaBaTha dan gerakan anti-Muslim 969, secara rutin menyerukan boikot terhadap toko-toko milik Muslim, pengusiran umat Muslim dari Myanmar, serta melakukan serangan terhadap komunitas Muslim. Setelah dua gelombang kekerasan, balasan, dan kerusuhan, pada bulan Juni dan Oktober 2012, terjadilah konflik yang memperburuk masalah etnis Rohingya di negara mayoritas Buddha ini yang menghasilkan lebih dari 100 ribu Muslim Rohingya menjadi pengungsi internal dan ratusan orang tewas.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari UNHCR (2024), puncak konflik antara Buddhist dan Muslim ini terjadi saat kekerasan bersenjata dengan skala besar dan pelanggaran serius terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang memaksa lebih dari 742.000 orang Rohingya untuk meninggalkan rumah mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar pada tahun 2017. Hal ini terjadi karena Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang pos-pos militer dan polisi yang menewaskan lebih dari 70 orang, termasuk 12 anggota pasukan keamanan Myanmar.
Akibatnya, banyak dari muslim Rohingya menempuh perjalanan berhari-hari melalui hutan dan menghadapi laut berbahaya di Teluk Benggala untuk mencari perlindungan di Bangladesh guna menghindari penganiayaan yang didukung oleh pemerintah. Meskipun sebagai negara tujuan, Bangladesh merasakan dilema keamanan karena kewalahan menjalankan tanggungjawab untuk melindungi populasi sebesar Rohingya. Sebagian besar dari mereka tinggal di Cox's Bazar, yang merupakan kamp pengungsi terbesar di dunia. Selain Bangladesh, para muslim Rohingya juga mengungsi di negara tetangga, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Nepal.
ADVERTISEMENT
Aksi perlawanan dari kelompok minoritas ini dapat dijelaskan melalui konsep pengaruh sosial, salah satunya pengaruh minoritas yang dikembangkan oleh Moscovici (1976). Teori ini berargumen bahwa kelompok minoritas, kelompok kecil secara numerik yang mempertanyakan norma-norma sosial, dapat mempengaruhi mayoritas melalui konsistensi, komitmen, dan fleksibilitas dalam menyuarakan pandangan mereka. Untuk melawan marjinalisasi dan pengabaian, minoritas hanya memiliki satu alat, yaitu advokasi yang kuat terhadap posisi mereka. Rohingya berupaya menunjukkan komitmen mereka terhadap isu-isu tertentu, seperti hak kewarganegaraan, perlindungan hukum, dan akses terhadap layanan dasar, hingga puncak perlawanannya adalah penyerangan oleh ARSA tersebut demi mengadvokasikan keadilan bagi kelompok mereka.
Akan tetapi hingga tulisan ini dibuat, mayoritas masyarakat dan pemerintah Myanmar saat ini masih menolak Rohingya sebagai warga negara dan terus mengusir mereka dari negaranya. Berdasarkan Objective-Concensus Approach (Mackie, 1987), orang-orang lebih mungkin untuk memproses pesan mayoritas daripada pesan minoritas karena orang percaya pandangan mayoritas itu valid dan mayoritas mematahkan ekspektasi konsensus. Mayoritas masyarakat Myanmar cenderung tidak memproses atau mempertimbangkan pesan dan perjuangan Rohingya, melainkan lebih berpegang pada keyakinan mayoritas yang dominan. Hal ini memperlihatkan bagaimana status minoritas Rohingya menghambat kemampuan mereka untuk mempengaruhi pandangan publik di Myanmar.
ADVERTISEMENT
Suara untuk Rohingya
Ketidakadilan yang dialami oleh kelompok Rohingya telah menarik perhatian internasional, yang kemudian memicu seruan untuk hak asasi manusia dan perlindungan bagi mereka. Berbagai aktor internasional, regional, dan nasional, baik dari pemerintah maupun organisasi non-pemerintah, telah berupaya untuk mendukung perjuangan pengungsi Rohingya. Advokasi untuk pengungsi Rohingya melibatkan berbagai upaya yang bertujuan untuk mempromosikan hak-hak mereka, memastikan keselamatan mereka, dan memfasilitasi solusi yang tahan lama untuk penderitaan mereka.
Sejalan dengan studi Allen dan Wilder (1980) mengenai pengaruh sosial, khususnya dalam konteks mayoritas, minoritas yang memiliki pendukung (supporter) akan cenderung mempertahankan posisinya. Dengan kata lain, kelompok mayoritas memang memiliki kekuatan untuk memengaruhi norma dan perilaku kelompok minoritas, namun situasi ini dapat berubah ketika kelompok minoritas memiliki pendukung.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga diperkuat oleh Social Support Analysis dari Deutsch dan Gerard (1955) yang menjelaskan bahwa jika minoritas tampil dengan keyakinan dan menyajikan argumen yang logis dan benar, ini dapat menggugah pikiran anggota kelompok lainnya untuk mempertimbangkan kembali pandangan mereka. Dalam situasi di mana Rohingya dianggap sebagai kelompok minoritas, kehadiran individu atau kelompok pendukung yang berani menyuarakan kebenaran tentang pelanggaran hak asasi manusia dapat secara dramatis mengurangi konformitas terhadap narasi mayoritas yang salah.
Misalnya, ketika aktivis hak asasi manusia, jurnalis, atau individu dari komunitas internasional menyuarakan fakta-fakta yang menunjukkan kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh Rohingya, mereka memberikan perspektif yang berbeda dari pandangan kebanyakan orang yang mereduksi atau menolak realitas tersebut. Di sisi lain, hal ini membuat individu yang sebelumnya tidak berpihak pada Rohingya, mengubah posisi mereka ke arah mayoritas yang mendukung Rohingya.
ADVERTISEMENT
Bahkan pemerintah Myanmar, meskipun mayoritas di dalam negeri, dapat dianggap sebagai minoritas jika dibandingkan dengan dukungan internasional yang diterima Rohingya. Secara numerik, jumlah negara, organisasi non-pemerintah, dan individu yang mendukung hak-hak Rohingya jauh lebih besar di panggung global. Mayoritas global yang mendukung Rohingya (pro Rohingya) ini berfungsi untuk mereduksi pengaruh mayoritas domestik, menunjukkan bahwa minoritas dengan dukungan yang cukup kuat di luar dapat membalikkan dinamika kekuasaan di tingkat internasional. Dukungan tersebut menciptakan lingkungan di mana suara Rohingya dapat diperdengarkan dan didengar secara global, mengurangi ketidakadilan yang mereka alami. Ini mencerminkan konsep bahwa minoritas yang memiliki dukungan dapat mempengaruhi persepsi dan kebijakan mayoritas.
Dalam hal ini, aktor-aktor yang mendukung Rohingya, meskipun mungkin tidak memiliki kekuatan politik yang sama dengan pemerintah Myanmar, mampu membentuk opini publik dan meningkatkan tekanan terhadap pemerintah Myanmar untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia. Setelah pembahasan ini, penulis menggunakan istilah minoritas untuk Rohingya dan mayoritas untuk para pendukung Rohingya.
ADVERTISEMENT
Aksi Nyata untuk Rohingya
Seorang advokat yang aktif, dalam hal ini adalah pro Rohingya, didefinisikan sebagai advokat yang sadar akan tingkat dukungan terhadap posisinya, mengekspresikan posisinya secara terbuka, dan yang hasilnya dapat bergantung pada persetujuan/ketidaksetujuan orang lain (Kerr, 2002). Mayoritas pendukung Rohingya menyuarakan suara mereka ke berbagai cara, seperti membuat pameran berjudul “Time to Act: Rohingya Voices” untuk menyuarakan isu genosida terhadap kelompok Rohingya di Myanmar dan UNHCR mendesak negara di sekitar Laut Andaman untuk mengerahkan upaya mencarian dan penyelamatan kapal-kapal Rohingnya yang terombang-ambing di lautan.
Selain itu, dua negara mayoritas Muslim, Indonesia dan Malaysia, telah berada di garis depan aksi kemanusiaan, yang sering dimasukkan ke dalam retorika solidaritas Muslim. Solidaritas ini sejalan dengan perspektif Values-Pragmatic Analysis yang menjelaskan bahwa individu mengikuti mayoritas, tidak hanya fokus pada satu nilai tertentu, seperti kebenaran, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai sosial lain seperti solidaritas kelompok (Hodges & Geyer, 2006).
ADVERTISEMENT
Indonesia dan Malaysia mungkin menilai bahwa membantu Rohingya tidak hanya penting dari segi kebenaran dan moralitas global, tetapi juga karena aksi tersebut memperkuat solidaritas dalam komunitas Muslim global. Nilai solidaritas agama menjadi motivasi pragmatis yang melengkapi tindakan kemanusiaan mereka. Aksi mereka di garis depan juga mencerminkan bagaimana kombinasi nilai-nilai moral dan sosial dapat memperkuat respons terhadap krisis, menjadikan mereka aktor kunci dalam upaya penyelamatan Rohingya di tingkat regional. Pada saat yang sama, dukungan ini memperlihatkan bagaimana nilai-nilai kelompok dapat memperkuat tekanan internasional terhadap pemerintah Myanmar untuk mengakhiri diskriminasi terhadap Rohingya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa isu Rohingya merupakan salah satu contoh jelas di mana kelompok minoritas dengan dukungan kuat dari aktor-aktor internasional dan regional mampu memengaruhi narasi mayoritas. Melalui advokasi yang konsisten dan komitmen terhadap keadilan, suara Rohingya berhasil didengarkan di panggung global, meskipun pemerintah Myanmar berupaya menekan mereka.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Allen, V. L., & Wilder, D. A. (1980). Impact of group consensus and social support on stimulus meaning: Mediation of conformity by cognitive restructuring. Journal of Personality and Social Psychology, 39(6), 1116.
Deutsch, M., & Gerard, H. B. (1955). A study of normative and informational social influences upon individual judgment. Journal of Abnormal and Social Psychology, 51, 629–636.
Hodges, B. H., & Geyer, A. L. (2006). A nonconformist account of the Asch experiments: Values, pragmatics, and moral dilemmas. Personality and Social Psychology Review, 10(1), 2-19
Kerr, N. L. (2002). When is a minority a minority? Active versus passive minority advocacy and social influence. European Journal of Social Psychology, 32(4), 471-483.
ADVERTISEMENT
Mackie, D. M. (1987). Systematic and nonsystematic processing of majority and minority persuasive communications. Journal of Personality and Social Psychology, 53(1), 41.
Moscovici, S. (1976). Social influence and social change. London, UK: Academic Press