Mungkinkah Indonesia Meruntuhkan Stigma Masalah Mental?

Amya Bunga Fathiyah
Mahasiswa Magister Psikologi Sosial Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
29 Maret 2024 8:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amya Bunga Fathiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi stigma masalah mental dapat menimbulkan prasangka dan diskriminasi yang membuat penderitanya enggan mengunjungi profesional kesehatan mental (sumber: www.freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi stigma masalah mental dapat menimbulkan prasangka dan diskriminasi yang membuat penderitanya enggan mengunjungi profesional kesehatan mental (sumber: www.freepik.com)
ADVERTISEMENT
Apakah Anda menyadari bahwa stigma seputar masalah mental masih menjadi tantangan besar di Indonesia? Stigma merupakan hal yang sangat penting bagi orang dengan gangguan jiwa dan keluarganya yang berdampak pada bagaimana mereka mengalami penyakit mereka dan mengakses layanan kesehatan yang tersedia (Subu et al., 2021).
ADVERTISEMENT
Krendl dan Pescosolido (2020) melakukan studi lintas budaya mengenai stigma masalah mental antara budaya Timur dan budaya Barat. Lebih spesifik, mereka mengkaji stigma (dua komponen: prasangka dan potensi diskriminasi) terhadap masalah mental, khususnya skizofrenia dan depresi.
Temuan menunjukkan bahwa individu di negara-negara Timur melaporkan tingkat stigma masalah mental yang lebih tinggi di semua komponen prasangka dan potensi diskriminasi dibandingkan dengan individu di negara-negara Barat.
Individu di negara Timur ini menekankan pada atribusi moral dalam menyetujui stigma masalah mental, sementara negara Barat lebih ke pada atribusi biologis. Dalam budaya Timur, terutama yang berakar kuat dalam tradisi dan agama seperti Indonesia, masalah mental sering dianggap sebagai aib, memalukan, dipandang rendah, dan penderitanya mengalami tekanan sosial yang besar.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, masalah mental seringkali dikaitkan dengan kutukan, gangguan roh, atau karma negatif. Salah satu faktor yang memengaruhi stigma ini adalah adanya tekanan untuk mencapai standar sosial dan ekspektasi yang tinggi dalam masyarakat negara Timur.
Dalam budaya seperti ini, masyarakat cenderung menilai individu berdasarkan prestasi mereka, baik dalam hal akademis, karir, atau kehidupan sosial. Kondisi seperti depresi atau kecemasan, yang dapat memengaruhi kinerja atau kesejahteraan seseorang, seringkali dianggap sebagai kelemahan atau kegagalan.
Kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan mental secara umum adalah salah satu penyebab utama stigma yang terkait dengan masalah mental ini. Alih-alih melihat masalah mental sebagai penyakit medis yang dapat disembuhkan, beberapa orang masih melihatnya sebagai tanda kelemahan atau ketidakmampuan.
ADVERTISEMENT
Orang dengan penyakit mental sering kali menjadi target prasangka dan diskriminasi yang terbuka dan terselubung. Sejalan dengan pendapat Sumarsih et al. (2021), masih terdapat kesadaran yang minim dalam menangani para penderita masalah mental di berbagai daerah di Indonesia, terutama terkait dengan perlakuan dan stigma yang tinggi dari masyarakat terhadap masalah mental yang terus berlanjut.
Stigma seputar masalah mental menimbulkan kesulitan bagi penderitanya yang justru seharusnya mendapatkan perlindungan. Akibatnya, orang-orang ini mungkin enggan untuk meminta bantuan atau berbicara dengan spesialis kesehatan jiwa karena khawatir akan stigma dan penghakiman yang akan mereka hadapi di masyarakat.
Hasil studi kualitatif Biladina (2021) melaporkan bahwa stigma masalah mental di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu stigma publik, stigma profesional, dan stigma diri sendiri. Stigma inilah yang menghalangi penderitanya untuk pergi ke tenaga kesehatan jiwa.
ADVERTISEMENT
Tetapi di negara Timur, khususnya Indonesia, tidak semua masyarakat memiliki stigma terhadap masalah mental, justru sebaliknya.
Semakin berkembangnya teknologi, penyebaran informasi akan kesadaran kesehatan dan masalah mental semakin cepat. Hal ini membuat masyarakat Indonesia semakin hari semakin terbuka dan memahami kesehatan dan masalah mental sehingga berdampak pada hilangnya stigma terhadap penderita kesehatan mental, seperti skizofrenia dan depresi.
Walaupun stigma terhadap masalah mental masih menjadi masalah yang signifikan di Indonesia, hasil penelitian Putri et al. (2023) terhadap 406 partisipan menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan (95,3%) menganggap pentingnya kesehatan mental di kehidupan bermasyarakat, meskipun mereka merasa lingkungan sekitar mereka tidak demikian.
Ini menunjukkan adanya pergeseran budaya dan peningkatan kesadaran akan kesehatan mental di Indonesia. Masyarakat semakin menyadari pentingnya merawat kesehatan mental seperti halnya kesehatan fisik, dan hal ini tercermin dalam penurunan stigma terhadap masalah mental secara umum.
ADVERTISEMENT
Stigma masalah mental mungkin memang tidak sepenuhnya berkurang, tetapi fakta bahwa ada beberapa masyarakat yang sudah menyadari kesehatan mental bukanlah hal yang tidak bisa dianggap sebagai transformasi. Apalagi edukasi kesehatan mental terus dilakukan di berbagai media. Dian et al. (2023) melakukan studi kualitatif mengenai sebuah lagu karya Nadin Amizah yang berjudul “Rayuan Perempuan Gila”, di mana lagu tersebut memiliki interpretasi akan seseorang yang merasa tidak berharga. Temuan ini mengungkapkan bahwa bahkan sebuah lagu dapat membantu meningkatkan kesadaran mental seseorang, yang pada gilirannya dapat menurunkan stigma akan masalah mental (Lindow et al., 2020).
Selain melalui pemaknaan pesan moral yang terkandung dalam sebuah lagu, pengurangan stigma kesehatan mental ini juga dilakukan melalui gerakan preventif dalam kampanye pengetahuan dan kesadaran kesehatan mental. Komunitas Universitas Indonesia Sehat Mental menyelenggarakan kampanye bertajuk #BraveTogether untuk meneruskan perubahan stigma masalah mental di Indonesia (Fitria & Utari, 2024).
ADVERTISEMENT
Inisiatif-inisiatif semacam ini menawarkan sebuah forum untuk mengedukasi masyarakat mengenai isu-isu kesehatan mental, mendorong pemahaman yang lebih dalam mengenai penyakit-penyakit ini, dan mengubah sikap dan tindakan yang dapat berkontribusi terhadap stigma.
Dengan kata lain, penyebaran pengetahuan dan kesadaran ini menawarkan bantuan dan arahan kepada orang-orang yang mungkin berurusan dengan masalah kesehatan mental atau memiliki anggota keluarga yang terkena dampaknya. Melalui penyediaan alat dan informasi tentang layanan kesehatan mental, kampanye dapat membantu orang mendapatkan terapi dan bantuan yang mereka butuhkan tanpa merasa bersalah atau takut akan stigma.
Tidak hanya itu, komik edukasi juga membantu mengurangi stigma masalah mental sebagai media informasi dan komunikasi persuasif. Stevanya (2021) dalam penelitiannya menemukan bahwa webcomic sebagai media yang mudah dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia mampu mengurangi stigma masalah mental karena ada penyampaian informasi yang tepat mengenai penyebab, gejala, dan cara mencari bantuan terkait masalah mental melalui narasi dan gambar. Dengan beberapa faktor atau cara meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental tersebut menunjukkan bahwa ada tanda-tanda positif bahwa stigma masalah mental di Indonesia ini sudah mulai berkurang.
ADVERTISEMENT
Sebagai pembuktian argumentasi-argumentasi tersebut, hasil studi-studi di Indonesia yang telah ditunjukkan memiliki arah yang positif dalam mengurangi stigma melalui memperjuangkan pemahaman yang lebih baik dan pemberian dukungan yang lebih luas terhadap kesehatan mental.
Penting bagi pemerintah untuk menegakkan hukum yang melarang diskriminasi terhadap individu dengan masalah mental. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa transformasi kesadaran kesehatan mental telah membantu meruntuhkan stigma yang diasosiasikan kuat sebagai ciri masyarakat negara-negara Timur.