Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pengalaman Membaca Buku Bergambar: Dulu Takut, Sekarang Ketagihan
26 Januari 2023 9:35 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ana Dwi Itsna Pebriana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Bukan, bukan karena saya anak orang kaya. Sama sekali bukan. Itu karena saya dibesarkan di lingkungan pendidik, kedua orang tua saya guru—meskipun hanya guru honorer—dan saat itu kebetulan ada anggaran lebih untuk membeli buku.
Namun, sejak kecil saya paling tidak suka buku yang ada gambarnya, apalagi gambar orang. Saya cenderung lebih suka buku-buku yang hanya berisi teks keseluruhan, karena saya merasa bisa fokus pada apa yang saya baca. Gambar-gambar hanya menjadi distraksi yang mengganggu proses masuknya ilmu ke dalam kepala saya.
Pengalaman Masa Kecil dalam Membaca Buku Bergambar
Lalu ketika saya throwback, rasanya bukan hanya itu alasannya. Ungkapan “gambar makhluk bernyawa itu haram” cukup sering menemani masa kecil saya. Itu bukan datang dari keluarga, melainkan dari lingkungan saya: pengajian dan pertemanan. Masa kecil saya juga sangat akrab dengan “Jangan simpan boneka di kamar, nanti gak didatangi malaikat, loh!” atau “Jangan pasang gambar orang, takut jadi syirik”, dan ucapan-ucapan sejenisnya, yang tentu saja berpengaruh pada buku-buku yang saya baca.
ADVERTISEMENT
Dalil tentang hal ini memang ada dan sahih, bahkan banyak. Tapi, penafsiran ulama pun beragam akan hal ini. Saya cenderung pada pendapat, selama buku itu membawa manfaat dan maslahat, tidak apa-apa. Toh, nyatanya betulan memberi banyak manfaat untuk anak-anak khususnya, kan?
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau semua ulama punya penafsiran yang sama dan mengharamkan gambar makhluk bernyawa, termasuk dalam buku. Dunia anak-anak sepertinya akan sepi sekali; tidak berwarna; gersang. Imajinasi anak-anak pun akan sulit berkembang.
Dulu sebagai anak kecil yang polos dan belum kritis seperti sekarang, saya cenderung mengiyakan dan akhirnya menghindari apa pun yang bergambar orang atau makhluk bernyawa. Bahkan, ketika ada pelajaran menggambar di sekolah, saya lebih sering membuat pemandangan—dengan dua gunung mengapit matahari dan ada jalan setapak di depannya, dilengkapi juga dengan dua pohon kelapa di kedua sisinya—atau membuat kaligrafi lafaz Allah jika saya merasa bosan dengan gambar pemandangan itu. Memang dasarnya saya tidak jago menggambar, sih.
ADVERTISEMENT
Kehidupan Saya Sekarang dalam Membaca Buku Bergambar
Kebiasaan ini ternyata terbawa sampai saya dewasa dan melebar ke mana-mana. Saya terus-menerus menghindari buku-buku bergambar, sampai baca komik pun saya merasa kesulitan.
Betul, sampai saya duduk di bangku kuliah, saya tidak bisa baca komik. Lebih tepatnya bingung. Mana yang harus saya lihat terlebih dahulu, teks atau gambar? Rasanya, kok, ribet sekali, ya, mau menikmati bacaan hiburan, tuh.
Kemudian, semuanya berubah drastis, saat saya “terpaksa” harus mengikuti alur kehidupan yang berjalan: dunia kerja. Atau lebih tepatnya, sebuah keniscayaan. Bekerja di penerbitan buku, terlebih di bagian buku anak, menjadi semacam pecut bagi saya. Bagaimana tidak, saya yang tidak terbiasa dengan buku bergambar, harus berhadapan langsung dengan buku-buku yang dominan berisi gambar dan teksnya cenderung lebih sedikit.
ADVERTISEMENT
Awal-awal saya merasa masih kaget dan tidak sreg. Betul-betul ingin menghindari saja kalau bisa. Posisi saya saat itu terbilang masih bisa kalau mau berpindah divisi. Hingga pada satu waktu, saya betulan pindah, tapi hanya pindah posisi, bukan divisi. Saya tetap di bagian buku anak, dengan posisi yang cukup berbeda dibanding sebelumnya. Di posisi saya sekarang ini justru mengharuskan saya untuk betulan terjun mendalami dunia buku anak-anak, termasuk gambar atau ilustrasinya.
Lama-kelamaan saya mulai menikmati. Rasanya ternyata asyik sekali. Ilustrasi dalam buku anak sangat ceria, terlebih diperindah dengan warna-warna yang kaya. Deretan gambar dalam setiap halaman pun sangat menggemaskan dan bercerita. Agaknya tidak mungkin bila setelah melihat gambar makhluk bernyawa, lantas membuat saya langsung jadi melupakan Sang Pencipta.
ADVERTISEMENT
Andai ada sosok orang dewasa yang meluruskan dan memberi pemahaman saat itu, mungkin saya bisa jadi jago menggambar dan punya banyak koleksi buku bergambar. Mungkin saja. Atau, mungkin saya akan jadi punya banyak imajinasi yang bisa menemani masa kecil saya, biar hidup saya tidak serius-serius amat seperti sekarang. Lumayan terlambat memang ketika saya baru menyadari hal ini di usia dua puluhan.
Tapi, tidak apa-apa. Membaca buku-buku anak bergambar di usia sekarang, betul-betul menghibur masa dewasa saya. Salah besar bila ada yang mengatakan bahwa buku anak tidak memberi “ilmu” apa-apa pada orang dewasa. Saya merasakan betul manfaatnya. Ternyata banyak hal yang saya dapatkan dari buku anak dengan minim teks itu.
ADVERTISEMENT
Dan, jangan salah, pembuatan ilustrasi-ilustrasi dalam buku anak tentunya tidak asal jadi. Mesti melalui berbagai tahapan yang ketat ketika proses kurasi sehingga ketika anak-anak maupun orang dewasa membacanya, mereka tidak hanya mendapat cerita, tapi juga bisa mengenali ekspresi dan mengembangkan imajinasi.
Sekarang, di usia seperempat abad ini, ketika membaca buku—bukan buku anak sekalipun—saya akan mencari-cari apakah ada ilustrasi di dalamnya. Saya jadi merasa mudah jenuh bila tidak terpapar gambar-gambar yang mendukung konten dalam buku. Dan, dengan melihat gambar, meski hanya sekilas dengan proporsi yang minimalis, saya merasa bisa lebih mudah mendalami isi buku. Sungguh berkebalikan, bukan? Saya di masa lalu sepertinya akan menyesali ini. Sabar, ya, Aku.