Squid Game dan Naluri 'Rekayasa' ala Penguasa

Ana Dwi Itsna Pebriana
Editor di Penerbit Mizan Pernah belajar di UI(N) Bandung
Konten dari Pengguna
8 Oktober 2021 16:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ana Dwi Itsna Pebriana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Poster Squid Game.
 Foto: IMDb
zoom-in-whitePerbesar
Poster Squid Game. Foto: IMDb
ADVERTISEMENT
Setelah cukup “gerah” melihat trending topic di Twitter dan postingan beberapa kawan, akhirnya saya pun ikut mengkhatamkan Squid Game, serial teranyar dari Netflix pertengahan September lalu. Spoiler pun bertebaran di berbagai lini masa media sosial.
ADVERTISEMENT
Selain menguji adrenalin, serial ini juga sarat akan nilai-nilai yang relate dengan kehidupan, terutama soal tingginya hasrat manusia dalam mempertahankan hidupnya. Seru sekaligus ngeri!
Dan, setidaknya ada lima hal, yang menurut saya, disinggung dalam serial ini.
Squid Game vs Pinjol
Squid Game ini bisa diibaratkan sebagai pinjol. Pinjol adalah penyelenggara game-nya, dan nasabahnya adalah para pemain yang terlibat di dalamnya. Keduanya sama-sama berpotensi untuk “membunuh” para pemainnya.
Dalam pinjol, jika si nasabahnya tidak bisa melunasi utang, dia berisiko diteror, dibocorkan data pribadinya, dan lain-lain. Sedangkan dalam Squid Game, jika tidak bisa melanjutkan permainan, betul-betul bisa “dibunuh” secara harfiah. Wafat di tempat dalam waktu yang amat singkat.
Patriarki dan Diskriminasi
ADVERTISEMENT
Dalam serial ini juga memperlihatkan dengan kontras praktik diskriminatif terhadap perempuan. Dalam salah satu game, para pemain diminta membentuk tim yang terdiri atas 10 orang. Dua karakter utama, Cho Sang Woo dan Seong Gi Hun berada di tim yang sama, dan mereka masih kurang 5 orang anggota lagi agar genap menjadi 10.
Ada dialog menarik berisi sindiran antara keduanya. Sang Woo meminta Gi Hun, agar dia mencari anggota lain dari kalangan laki-laki, karena di timnya sudah ada satu wanita dan orang tua. Gi Hun menjawab, “Kita belum tahu permainan apa yang akan dimainkan. Bisa saja permainan nanti adalah yang menuntut kelincahan. Dan wanita tentunya lebih baik dalam hal itu.” Sang Woo menjawab, “Tetap saja. Laki-laki akan jauh lebih baik dalam segala permainan.”
ADVERTISEMENT
Dalam keseharian para pemain pun diperlihatkan dengan jelas bahwa laki-lakilah seakan-akan yang paling berkuasa. Ini tergambar dalam karakter Deok Su, “pimpinan” gangster yang tak segan-segan membunuh siapa saja tanpa belas kasihan. Senggol dikit, bacok.
Stereotip terhadap Orang Cerdas
Orang cerdas kerap dipandang sebagai kalangan terhormat, terpelajar, yang hidupnya aman, damai, tenteram, dan tentunya tak akan pernah berurusan dengan utang piutang, apalagi jadi buronan.
Tapi nyatanya, karakter Cho Sang Woo yang digambarkan sebagai sosok genius, kuliah di universitas ternama, dan sudah cukup mapan, pada akhirnya justru terjebak dalam lingkaran setan yang membuatnya terpaksa menjadi bagian dari permainan mematikan, demi bisa melunasi utang.
Fenomena ini dipandang tabu bagi masyarakat umum. Karena, orang yang cerdas mestinya (lebih) tahu bagaimana seharusnya bertindak dan mengatur keuangannya.
ADVERTISEMENT
Pantang Kalah, Meski Salah
Dalam salah satu permainan lain, para pemain diminta berpasangan. Tentunya, dari setiap pasangan ini harus ada satu orang yang menang untuk lanjut ke babak berikutnya. Yang kalah? siap-siap “dijemput” oleh petugas ber-jumpsuit dengan membawa peti panjang menuju gerbang keabadian.
Kecurangan atau mungkin “trik cerdik” dari beberapa pemain pun menjadi sorotan. Antara dilema harus menipu atau tidak, jelas adalah pilihan yang sulit.
Salah satunya Cho Sang Woo. Merasa tidak mungkin dirinya bisa kalah, dengan sangat berat hati, Sang Woo mesti menipu kawan (kawan ya, bukan lawan, loh) mainnya, Ali, yang padahal sejak awal, Ali sudah menaruh kepercayaan besar terhadap Sang Woo. Naluri-naluri “jahat” yang digambarkan oleh setiap karakter ini seolah-olah dibentuk oleh sistem, bukan bersifat alamiah.
ADVERTISEMENT
Alegori Kapitalisme
Sudah jelas, ini menjadi isu utama yang diangkat dalam serial ini.
Saya tidak akan membahas secara mendalam terkait konsep dan praktik kapitalisme tersebut. Hanya saja, saya merasa perlu menyampaikan, atau lebih tepatnya sedikit menginformasikan ihwal ide “utama” yang diusung serial ini.
Menurut sutradaranya, Hwang Dong Hyuk, sebagaimana wawancaranya dengan American Variety (24/09/21), serial ini merupakan alegori dari “jahatnya” kehidupan di bawah tatanan sistem kapitalisme, khususnya di Korea Selatan. Di Squid Game, para peserta harus melalui permainan kejam demi mendapat kekayaan, sama seperti dunia nyata yang penuh kekejaman bagi mereka yang miskin. Begitu tuturnya.
Setidaknya, itulah komentar (agak) kritis terkait Squid Game dari sudut pandang saya sebagai penonton. Saya memang bukan penonton setia serial thriller, apalagi kritikus film. Saya hanya merasa perlu merekomendasikan Squid Game ini kepada siapa pun yang sepertinya butuh tontonan yang tidak hanya menegangkan, tapi juga memberi pelajaran.
ADVERTISEMENT
Serial ini menurut saya sangat menarik. Di samping jumlah episodenya yang tidak begitu banyak, hanya 9 episode, cerita yang disuguhkan juga amat realistis. Saran saya, jangan terburu-buru untuk menyelesaikan serial ini. Santai saja. Nikmati setiap cerita dan nostalgia “permainan” masa kecil yang ditampilkan.
Selamat menikmati suguhan brutal dari Korea Selatan!