Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
TEORI SEJARAH MILITER: Kontrol Subjektif dan Kontrol Objektif
3 Maret 2022 12:38 WIB
Tulisan dari Anah Suhaenah Nurohmat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hubungan antara rezim Thailand dan Mesir membawa tanda tanya besar yang krusial mengenai hubungan antara pemerintahan sipil dan militer, menyebabkan Indonesia berkaca pada diri sendiri. Akar masalahnya, pemerintahan sipil yang seharusnya demokratis di antara semua lembaga tidak mampu menciptakan iklim baik antara sipil dan militer. Terdapat dua pandangan yaitu fakta bahwa kekuasaan militer yang tidak dapat dikontrol dan rendahnya legitimasi sipil baik di dalam kalangan militer dan ranah sipil menunjukkan kekisruhan seperti yang tampak pada Mesir dan Thailand.
ADVERTISEMENT
Huntington dalam karyanya berjudul The Soldier and the State menekankan pentingnya demarkasi antara sipil dan militer berdasarkan keahlian di bidangnya. Hal ini penting karena jika dua lembaga sudah berfokus pada bidang masing-masing, maka fungsi negara sebagai organisasi besar kesatuan masyarakat yang memiliki tujuan sama untuk hidup rukun dapat berjalan dengan stabil.
Selanjutnya, ketika dalam lembaga sipil dan militer terjadi sebuah konflik antara kedua belah pihak yang memang berseberangan, hal tersebut dapat memicu kontrol sipil terhadap militer dan bisa sebaliknya.
Contohnya adalah serbuan militer Thailand pada pemerintahannya dan Indonesia saat tahun 1966. Menurut Huntington, kontrol sipil terbentuk ketika militer sebagai pelaksana kebijaksanaan tunduk kepada otoritas sipil. Pada akhirnya hanya kontrol sipil yang efektif untuk dapat membentuk supremasi sipil dan militer yang demokratis dan harmonis.
ADVERTISEMENT
Ketidakseimbangan kontrol sipil dapat menimbulkan persoalan kehidupan bernegara. Jika dinamika politik dan hukum terganggu, maka masyarakat akan bisa langsung merasakannya. Militer sebagai lembaga negara dipandang mampu mempertanggungjawabkan keahlian dan keutuhan organisasinya lebih dari kalangan sipil.
Oleh karena itu, militer dianggap lebih mampu berdisiplin dan tenang terhadap gejolak negara, khususnya di bidang keamanan. Hal ini terlihat dan bisa dijelaskan dari model kategorisasi kontrol sipil subjektif dan kontrol sipil objektif.
Kontrol sipil subjektif menempatkan kedudukan sipil dan militer secara sejajar tanpa ada batasan yang jelas antara keduanya. Lebih lanjut, kelompok sipil dapat memanfaatkan militer untuk kepentingannya pribadi, bukan kepentingan bangsa.
Tidak adanya batas yang jelas memungkinkan militer dapat menjalankan fungsi dan peran di luar kewenangan yang berlaku, khususnya dalam bidang politik. Dalam posisi ini, terjadi proses meningkatkan kekuatan sipil untuk berhadapan dengan militer. Dalam konteks ini, kekuatan sipil terfragmentasi sehingga hanya akan muncul satu kekuatan sipil dominan.
ADVERTISEMENT
Kontrol sipil objektif menekankan pada pembagian otoritas dan dan keahlian yang jelas. Lebih jauh, model ini sangat aman menghindari konflik. Dalam hal ini militer akan berfokus pada bidang profesionalnya dan tidak mencampuri politik negara.
Contoh negara yang menjalankan kontrol sipil objektif adalah negara-negara maju yang menjunjung demokrasi. Sedangkan di negara berkembang yang mencoba menerapkan kontrol sipil objektif terkendala nilai-nilai pemerintahan demokratis yang ditetapkan.
Indonesia di era 1966-1998 adalah contoh di mana kontrol sipil subjektif berlaku. Rezim politik yang berdiri adalah oknum dan lembaga militer. Pada situasi tertentu, militer dapat menunjukkan ambisi kekuasaan institusional tanpa banyak dipengaruhi oleh kondisi struktural masyarakat. Intinya militer memiliki kekuatan penuh terhadap sipil.
Militer tidak akan campur tangan terhadap pemerintahan sipil jika pemerintahan dapat stabil dan berdiri normal, serta memiliki legitimasi kuat yang menundukkan militer dan masyarakat. Sebaliknya militer akan melakukan intervensi kepada pihak sipil jika pemerintah tidak mampu mencapai kestabilan sosial yang diinginkan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, melihat kasus yang terjadi antara Thailand dan Mesir, lalu berkaca pada situasi Indonesia, memang benar bahwa dalam kasus Indonesia, militer yaitu TNI harus dikembalikan kepada fungsi awalnya sebagai pertahanan dan keamanan negara di garis terdepan yang tidak perlu mencampuri ranah politik.
Militer sebagai garis pertahanan terluar Indonesia sudah seharusnya sibuk membenahi diri karena ranah politik adalah urusan pemerintahan untuk membenahi masyarakat sipil. Presiden Abdurrahman Wahid melakukan langkah tepat dengan memisahkan dwifungsi militer sesuai rahanya. TNI dalam bidang militer dan pemerintah berfokus pada sipil.