Konten dari Pengguna

Membicarakan HAM dalam Media Massa

Ananda Bayu Sakti
Hati-hati topan menerbangkanmu!
21 Januari 2017 16:18 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ananda Bayu Sakti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dengan pongah, isu HAM dianggap tak layak diberitakan...
Membicarakan HAM dalam Media Massa
zoom-in-whitePerbesar
Saya terhenyak ketika persoalan hak asasi manusia (HAM) dianggap sebagai isu murahan yang tak pantas diberitakan oleh media massa. Dalihnya, isu HAM tidak mendulang banyak klik dan page view dari pembaca. Hal itu lantaran isu HAM dianggapnya kurang seksi di mata khalayak. Selain itu, media massa juga secara repetitif melakukan pemberitaan mengenai masalah HAM, khususnya di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dongkol, tentu saja. Kasus pertama adalah mengenai isu HAM yang dikaitkan dengan komersialisasi industri media. Sebab tugas jurnalisme bukan hanya sebagai budak kapitalisasi. Bukan hanya perihal mendulang pundi-pundi dari pembaca –yang dialihkan dalam bentuk klik untuk ditawarkan ke pengiklan.
Dalam Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel –yang kerap menjadi panduan bagi jurnalis di Amerika Serikat dan Eropa- disebutkan bahwa jurnalisme memiliki peran penting sebagai pelayan publik. Media punya tugas dan tanggung jawab sosialnya kepada manusia, juga kepada kemanusiaan.
Konsepsi itu tak seperti sulap dibentuk. Awalnya, Kovach dan Rosenstiel memiliki kekhawatiran lantaran di era 1980-an, banyak wartawan Amerika berubah jadi orang bisnis. Mereka menghabiskan waktu kerjanya hanya untuk urusan manajemen dibanding jurnalisme. Seolah-olah urusan “uang” lebih penting ketimbang melayani masyarakat.
ADVERTISEMENT
Alasannya, media Amerika kala itu kerap mengaitkan besarnya bonus atau pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh korporasi. Melalui survei tercatat 71 persen redaktur Amerika menerapkan gaya manajemen yang biasa disebut management by objections.
Dalam gaya ini, redaktur diminta menentukan target beserta imbalan bila mereka berhasil mencapainya. Alhasil, mereka hanya mendorong berita-berita kuning dan sensasional yang mendulang klik tanpa melihat urgensi berita itu terhadap publik. Sayangnya, media semacam ini kalah bersaing dengan yang jelas mendahulukan kepentingan masyarakat. Andreas Harsono, seperti mengutip Kovach dan Rosenstiel, memberi dua contoh kesuksesan tersebut:
“Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved.”
ADVERTISEMENT
Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.”
Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan."
HAM memang isu yang mahal. Dia tak sesensasional isu-isu kuning nan kriminal. Namun, jangan abai bahwa isu HAM punya kepentingan, dampak, dan faktor kedekatan yang kuat terhadap masyarakat. Pasalnya, isu HAM punya irisan langsung dengan manusia, sebagai hak-hak dasarnya. Bukankah penting, dampak, dan kedekatan menjadi nilai berita yang selalu dapat mendulang pundi?
Setali tiga uang, memberitakan isu tersebut juga dapat mendorong penegakan HAM. Alhasil, tanggung jawab sosial media massa kepada publik juga ikut terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, memberitakan isu HAM juga dapat memenuhi tanggung jawab media sebagai pemantau kekuasaan, sebagai watchdog. Sekaligus, sebagai penyambung lidah mereka yang tertindas. Sebagai negara yang punya sejarah kelam tentang HAM, rasanya penting untuk kembali dan kembali mengingatkan rezim berkuasa menuntaskan masalah tersebut. Toh, ini dilakukan agar kerangka demokrasi Indonesia bisa lebih matang ke depan.
Sebagai negara yang punya sejarah kelam tentang HAM, rasanya penting untuk kembali dan kembali mengingatkan rezim berkuasa menuntaskan masalah tersebut. Toh, ini dilakukan agar kerangka demokrasi Indonesia bisa lebih matang ke depan.
Masih ngotot? Baiklah, kita bawa ini ke ranah komersialisasi. Mari melihat paparan Indicator Indonesia (I2) terkait pemberitaan mengenai isu HAM di Indonesia selama 2016.
ADVERTISEMENT
Menggunakan peranti lunak Artificial Intelligence, I2 mengemukakan bahwa pemberitaan isu HAM sepanjang 2016 di media massa mencapai 26.333 berita. Jika dipukul rata, berarti dalam seharinya, ada 74 pemberitaan di media massa nasional sepanjang 2016. Itu pun jika setiap hari ada saja pemberitaan mengenai isu HAM.
Total berita itu dibagi ke dalam beberapa kasus HAM yang kerap mencuat. Sebanyak 20 persen pemberitaan (5.122 berita) berisikan mengenai polemik hukuman mati di Indonesia. Sementara, kasus terorisme dan separatisme yang dikaitkan dengan pelanggaran HAM mendominasi pemberitaan mencapai 17 persen (4.448 berita).
Adapun kasus pelanggaran HAM masa lalu juga menjadi sorotan media pada 2016. Dua kasus pelanggaran HAM masa lalu yang paling banyak dibahas, yakni pembunuhan aktivis Munir dan kasus korban 1965.
ADVERTISEMENT
I2 memaparkan, kasus pembunuhan Munir mendapatkan sorotan sebesar 12 persen (3.604 berita). Kemudian, kasus korban 1965 diangkat media sebanyak 11 persen (3.022 berita).
Saya memang tak punya data terkait klik dalam pemberitaan isu HAM. Namun dengan ramainya pemberitaan itu, sulit mengatakan jika HAM merupakan isu murah yang tak bisa meraih klik pembaca. Tak mungkin media massa berani memberitakan isu itu tanpa berpikir adanya perolehan klik.
Jika sudah begitu, memberitakan isu HAM yang erat kaitannya dengan tanggung jawab sosial media kepada publik dapat disimpulkan juga mendulang pundi.
Syahdan, mengapa masih abai?