Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pagi ke-465
15 Juli 2017 22:12 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Ananda Bayu Sakti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
“Tubuhmu laut, terbuka menerima segala cuaca”
Ini pagi keempat ratus enam puluh lima ketika Jamal mendengar tangis yang selalu membangunkan tidurnya yang lelap. Tangis yang sama setiap pagi, alih-alih mendengar suara kokok ayam atau nyalak anjing yang geram dengan orang-orang asing yang lalu-lalang dan masa bodoh apakah lima detik kemudian mereka akan ditabrak truk berisikan sayur dan buah-buahan atau tidak dari seberang jalan.
ADVERTISEMENT
Alarm yang Jamal pasang di sebelah kasur kalah cepat beradu berisik dengan isak tangis yang ia dengar dari kamar sebelah. Alarm merasa tak lagi berguna ketika suara tangis itu mulai tersedu dan membangunkan Jamal dengan muka seperti habis dilucuti di kantor polisi akibat mencuri sebuah apel.
Pagi-pagi selama empat ratus enam puluh lima hari ini rasanya menjadi begitu sialan bagi Jamal. Seharusnya orang-orang bangun pagi dan menjadi bersemangat. Kau mandi, minum kopi dan membakar sebatang rokok sebagai sarapan, atau memakan roti yang kau sisakan semalam, lalu pergi berangkat kerja dengan hati yang riang.
“Kalau pun hari-hari dalam hidup ini tak bisa diakhiri dengan bahagia, seharusnya aku bisa bangun dengan hati yang cukup tenang setiap pagi,” gerutu Jamal.
ADVERTISEMENT
Ingin sekali rasanya Jamal memprotes suara tangis dari kamar sebelah. Meminta agar seseorang di kamar sebelah berhenti menangis atau paling tidak, menangis setelah Jamal pergi menjalani rutinitasnya. Tapi Jamal merasa tak berhak protes. Siapa pula yang berhak melarang orang lain untuk berduka. Lagipula, menurut Jamal, tak ada orang di dunia ini yang tak berduka, bahkan dirinya sendiri. Karenanya, curang sekali jika ia protes akibat seseorang di sebelah kamarnya harus menangis setiap pagi.
Jamal lantas bangun, merapikan kasurnya, mengambil handuk yang ia taruh di bawah tempat tidur, dan segera beranjak menuju kamar mandi. Tapi ketukan dari depan kamar menghentikan langkahnya. Ketukan sebanyak tiga kali, dengan jeda tiga detik, dan diulang tiga kali.
ADVERTISEMENT
“Kau di dalam, Jamal?”
Jamal tahu itu suara tangis yang sama yang ia dengar setiap pagi selama empat ratus enam puluh lima hari ini. Suara tangis perempuan yang selalu membangunkan tidurnya yang lelap. Jamal tahu betul. Tapi entah mengapa Jamal merasa begitu ketakutan setelah mendengar perempuan itu memanggil namanya.
“Jamal?” tanya perempuan itu, lagi.
Jamal mencoba mengingat suara itu. Ia merasa mengenalnya. Tapi semakin ia mengingat suara itu, ia semakin ketakutan. Tubuhnya menggigil, seolah di depan pintu kamar ada tentara yang sedang mengancam akan menculiknya karena membuat berita-berita tak menyenangkan soal pemerintah.
Jamal mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu tak akan terjadi apa-apa walau ia membuka pintu kamarnya. Ia coba tidak berpikir macam-macam. Jamal mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
“Tunggu sebentar,” seru Jamal.
Ia pun melangkahkan kaki menuju pintu. Langkahnya begitu berat. Kenop dan lubang kunci di depan pintu seolah memintanya tak lebih dekat. Seumpama ada hal-hal yang tak pantas untuk diketahui di luar sana.
“Dengar, kau aman di dalam sini. Tak perlu mendekat,” ujar kenop dan lubang kunci dari dalam benak Jamal.
Tapi langkah Jamal sudah kepalang tanggung. Jaraknya hanya tinggal 50 centimeter, 30 centimeter, 10 centimeter. Ia begitu dekat sehingga tak ada lagi yang bisa menghalanginya membuka pintu. Dengan tangan kiri, Jamal masukkan kunci ke lubang, ia putar perlahan searah jarum jam bersamaan dengan pergelangan tangan kanannya membuka kenop pintu.
Kini di hadapan Jamal berdiri seorang perempuan muda. Usianya mungkin sekitar 23 tahun. Rambutnya ikal sebahu, berwarna hitam legam. Jamal tak bisa melihat muka perempuan itu dengan jelas karena ia menunduk. Tapi Jamal tahu betul siapa perempuan di hadapannya, perempuan yang terus menangis selama empat ratus enam puluh lima hari ke belakang.
ADVERTISEMENT
“Rainah?”
Jamal mengenal perempuan di hadapannya saat ini. Perempuan yang bahkan satu detik pun Jamal harap tak pernah bertemu lagi. Perempuan yang enggan ia ingat dalam-dalam.
***
Jamal selalu tahu bagaimana cara mencari makna. Atau membunuh waktu kala senggang. Atau juga membunuh kehidupannya setiap waktu. Dia tak pernah mencintai kota: lampu-lampu merkuri yang terpasang atau terpasung di pinggir-pinggir jalan, suara nyaring dari mesin-mesin yang setiap hari memekik di jalan, orang-orang berdasi yang berjalan dengan nanar dan membuang kentut sembarangan lewat mulut dan pantat mereka. Sungguh kota yang penuh polusi dan tak pantas dihuni.
Syahdan Jamal akan melarikan diri ke bukit-bukit, ke gunung-gunung, menjadi burung kondor yang terbang mencari bangkai di kesunyian. Mencari batas langit yang tak karuan ujungnya. Menjelajah kabut dan berusaha bersembunyi -sebelum pikirannya yang buas melahap Jamal hidup-hidup. Jamal tahu harus pergi ke mana. Jamal tahu harus bagaimana.
ADVERTISEMENT
Jamal dulu tahu, jauh sebelum dia bertemu dengan perempuan itu. Perempuan yang mengubah haluannya. Rainah.
Jamal bertemu Rainah ketika ia tengah merantau seorang diri mencari sebuah kota yang asing, kota legenda yang ia baca dalam buku-buku kuno dari loteng rumahnya. Sebuah kota di mana orang-orang suku api hidup di antara pegunungan dan menyembunyikan diri dari kehidupan yang padat dan bising menuju tempat paling paripurna mendekati matahari -mendekati Surya, dewa mereka.
Jamal mendatangi kota yang asing dan kecewa dengan apa yang ia lihat. Kota itu tak lain hanyalah sebuah tempat di mana bukit dan gunung diratakan sebagai lahan apartemen dan hotel-hotel mewah. Kota wisata di mana turis berlenggang sambil menenteng berbagai barang belanjaan mereka, melihat berbagai wahana bentukan arsitek ternama, sambil melupakan wajah asli kota itu yang dibuang sebagai sampah ke sungai-sungai keruh. Kota yang mengada-ada. Sebuah metafora atas delusi dan kekonyolan primordialitas.
ADVERTISEMENT
Lantas di tengah kekecewaan itu Jamal bertemu Rainah, perempuan yang mencintai laut dan berharap menjadi laut itu sendiri. Ia tenang, sendu, dan misterius. Jamal tahu ada hal-hal yang tak bisa ia tebak dari Rainah, atau laut. Jamal yang tak pernah melihat laut pun terpesona dengan sosok Rainah. Jamal tak sadar rasa penasaran membawanya larut terlalu jauh menelisik sosok Rainah.
Ia kemudian semakin intens menemui Rainah, setiap bulan, setiap minggu, setiap hari, setiap waktu. Jamal semakin terobsesi dan tak sadar telah membusuk di kota yang asing. Jamal tak lagi membunuh hidupnya dengan melarikan diri ke puncak-puncak gunung atau mencari batas langit. Ia kini bisa duduk seharian di kedai kopi di kota yang asing menunggu Rainah mendatanginya. Jamal jadi lebih betah berada di ranjang setiap malam untuk bergumul dan mendesah lebih keras dari lengking klakson kendaraan.
ADVERTISEMENT
Jamal tahu ia semakin kehilangan makna, tapi ia tak peduli. Di hadapannya ada sesosok perempuan yang begitu Jamal cintai dan ia tak peduli dengan dunia yang kejam, dunia yang getir. Bagi Jamal, Rainah mungkin petunjuk masa depannya. Jamal ingin berada lebih lama, lebih lama lagi, lebih.
Tapi suatu saat, di suatu kala, Rainah menghilang dari hadapan Jamal. Jamal mencarinya, mengitari setiap sudut kota yang asing, kota yang tak pernah ramah padanya. Tapi Jamal tak pernah menemukannya, berapa kali pun ia menyusuri.
Maka Jamal pergi ke laut. Jamal pikir Rainah adalah lautan. Jamal sesegera mungkin mencari bahtera untuk berlayar. Ia tiba-tiba ingin sekali mencari amuk ombak, hampar pasir, kepak camar, juga matahari yang ditenggelamkan perlahan. Ia ingin mencari Rainah, atau setidaknya, mencari lautan.
ADVERTISEMENT
Tapi Jamal tak menemukan apa-apa. Di hadapannya hanya ada kosong. Sepenggal kesepian dengan biru yang janggal. Di mata Jamal tak ada lagi apa-apa, atau sesiapa. Ia tersesat.
Jamal benar-benar merasa kehilangan masa depan. Tanpa makna, tanpa apa-apa, tanpa sesiapa. Ia mendendam, dalam-dalam.
***
Rasanya empat ratus enam puluh lima hari tak juga cukup bagi Rainah untuk menangis. Di hadapannya kini berdiri seorang pria yang dulu menganggap hidup adalah sebuah kegetiran. Pria yang ia tolak mentah-mentah pemikirannya. Rainah membenci pria ini, juga pemikirannya, kendati ia sadar betul bagaimana hidup ini berjalan. Tapi ia tak ingin berlarut seperti Jamal, Rainah lantas menafikkan hidup ini dan berusaha bahagia.
Kau selalu tahu nasib akan memukulmu telak.
ADVERTISEMENT
Rainah ingin menangis sekali lagi. Ia, untuk kesekian kalinya, tak ingin percaya dengan Jamal. Ia masih ingin percaya dengan harapan. Tapi hidup membawa jalannya kepada gelap, kepada malam, kepada kesepian yang paling dalam.
Kau selalu tahu hari akan menghempaskanmu di kursi halte bus yang keras.
Rainah ingin teriak. Ia tak ingin berada di sini, di hadapan Jamal, terlebih dengan menangis. Ia ingin lekas pergi. Rainah ingin sesegera mungkin menghilang dan tak kembali. Kalau bisa selamanya. Tapi hanya peluk Jamal yang bisa menenangkannya. Hanya Jamal yang tahu betul bahwa hidup ini tak lebih dari penderitaan yang dirayakan baik-baik. Hanya Jamal yang tahu betul bagaimana getirnya hidup, terlebih ketika Rainah meninggalkannya.
Kau selalu tahu kota akan menghabisi hidup dan jerih payahmu selama ini.
ADVERTISEMENT
***
Kini di hadapan Jamal hadir seorang perempuan yang akan menjatuhkannya sekali lagi. Tapi Jamal tahu ia tak bisa berlari, atau menyembunyikan diri. Untuk kali ini saja, ia akan menghadapinya.
“Apa lagi yang mau kau ambil dariku?” tanya Jamal.
Rainah diam. Ia ingin menangis. Tapi ia tahan air mata itu mengalir. Ia sembunyikan semua bilur di sekujur tubuhnya. Ia sembunyikan hidupnya yang kelam.
“Kau masih juga mencari kebahagiaan?”
Rainah masih juga diam. Kini ia mulai gemetar. Ia hampir oleng sebab tak mampu menopang tubuhnya sendiri yang memendam luka.
“Kau masih juga menjadi laut?”
Rainah mulai membungkuk, lalu tubuhnya jatuh bertekuk lutut. Ia tak bisa menahan rasa sakit seraya pertanyaan-pertanyaan Jamal datang bertubi. Air mata itu seketika tak terbendung, ia tumpah membanjiri pelupuk dan pipinya yang merah.
ADVERTISEMENT
“Kau seharusnya sadar, tubuhmu laut, terbuka menerima segala cuaca. Kau seharusnya siap menerima hidup yang getir,”
Kalimat itu menjadi pukulan pamungkas. Rainah ingin memeluk Jamal, tapi ia tahu tak ada lagi yang bisa dilakukan saat ini. Rainah sudah payah. Kepalang payah. Ia hanya bisa menangis, dan menangis lagi, dan lagi. Tanpa suara. Hanya hening.
“Ku harap kau sadar apa yang selama ini ku katakan,” kata Jamal. “Bahwa harapan akan membunuhmu pelan-pelan.”
Rainah tahu betul kalimat itu yang terakhir kali diucapkan Jamal dan lantas membuat Rainah membencinya dan pergi meninggalkan, tanpa pesan. Rainah ingin sekali menafikkannya untuk sekali lagi, tapi ia tak kuasa. Ia tahu bagaimana nelangsa dirinya saat ini.
Rainah hanya bisa tersenyum. Senyum, yang sekali lagi ia gunakan untuk menyembunyikan hidupnya yang sakit.
ADVERTISEMENT
Rainah lantas mendongakkan kepalanya ke atas. Berharap ia akan bisa melihat wajah Jamal, setidaknya untuk sekali lagi. Agar ia tahu, bahwa hidup ini hanya penderitaan yang harus dirayakan baik-baik. Tapi Rainah tak menemukan sesiapa.
Rainah lantas bergegas memasuki kamar Jamal. Kamar yang terbuka setelah ia mengetuknya tiga kali, dengan jeda tiga detik, dan diulang tiga kali. Ia berharap menemukan Jamal. Rainah mencoba mencari Jamal di setiap ruang di kamar itu, di bilik-bilik yang barangkali tersembunyi. Ia obrak-abrik seluruh rongga-rongga yang kosong, di bawah meja, kolong tempat tidur, sudut kecil di belakang lemari, tapi Rainah tak juga menemukan Jamal.
Rainah hanya menemukan sebuah koran dari empat ratus enam puluh lima hari yang lalu, di atas tempat tidur Jamal, memberitakan seorang lelaki tenggelam di lautan, seorang diri. Pria itu tak pernah lagi ditemukan setelahnya.
ADVERTISEMENT
“Ini tidak mungkin,” ucap Rainah tak percaya. Ia pun berjanji kembali lagi esok hari. Ia akan kembali dengan harapan menemui Jamal, menemui laki-laki yang ia harap bisa membuatnya merayakan nelangsa.
Esok pagi, seperti pagi biasanya, seperti pagi-pagi yang selama ini ditemukan dalam wujud tak bernyawa, kau datang lagi dengan senyum tak biasa.