Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Memikul Salib Bersama Yesus
3 April 2021 21:44 WIB
Tulisan dari Anand Krishna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mudah sekali bagi kita untuk mengutip nama-nama besar dan menafsirkan apa yang mereka sampaikan sesuai pemahaman kita masing-masing.
ADVERTISEMENT
Mudah sekali bagi kita untuk mengutip Yesus, atau Muhammad, atau Siddhartha, atau Krishna, kemudian menjabarkan ajaran mereka sesuai dengan anggapan kita masing-masing.
Mudah sekali bagi kita untuk melakukan cut-and-paste dan meracik kembali sebuah tulisan, kemudian memberinya stempel nama kita.
Tidak demikian dengan seorang Yesus. Para ahli kitab menantangnya.. mereka bertanya apa yang menjadi “ajaran utama” – bukan ajaran-“nya” – tetapi “ajaran utama”, titik. Mereka ingin mendengar sesuatu yang bersifat generik, dan berlaku bagi semua.
Mereka mengharapkan Yesus mengutip dari salah satu kitab kuno, kitab-kitab yang mereka kuasai isinya. Mereka berharap bahwa dengan cara itu mereka dapat menjebak Yesus dan berdebat untuk membuktikan bila apa yang diajarkan oleh Yesus bukanlah sesuatu yang baru.
Atau, barangkali mereka berharap dapat membuktikan kedangkalan ajaran Yesus.
ADVERTISEMENT
Namun, apa yang terjadi sungguh di luar harapan-harapan mereka. Tanpa keraguan dan secara spontan, Yesus menjawab bila mencintai Tuhan dengan segenap hati, pikiran dan jiwa – adalah ajaran terutama. Dan, kedua adalah mencintai tetangga kita sebagaimana kita mencintai diri sendiri.
Yesus tidak mengutip kitab-kitab kuno. Ia tidak membaca pasal-pasal dari kitab suci mana pun untuk menyampaikan pendapatnya… untuk menjawab pertanyaan para ahli kitab.
Jawaban Yesus, pernyataan Yesus bukanlah pernyataan biasa. Pernyataan seperti ini, apalagi tanpa diperkuat oleh ayat-ayat suci mengandung risiko yang sangat tinggi. Pernyataan Yesus menuntut “komitmen penuh” tanpa embel-embel, tanpa syarat apa pun juga.
Menempatkan Tuhan di atas segalanya.
Dan, menempatkan tetangga sejajar dengan diri, dan keluarga sendiri.
ADVERTISEMENT
Mudah terucap, tetapi tidak mudah dalam laku.
Maka, para ahli kitab pun tercengang. Mereka tidak terbiasa memperoleh jawaban setegas dan sejelas itu.
Kebiasaan para ahli kitab adalah mengutip ayat-ayat suci. Mereka tidak berani berpendapat sendiri. Mereka tidak berani mengambil risiko.
Tidak demikian dengan Yesus. Ia berani mengambil risiko. Ia tidak membutuhkan dukungan kitab suci atau ayat-ayat suci untuk menyampaikan kebenaran. Inilah salib Yesus. Keberaniannya itulah yang menjadi salib yang masih juga dipikulnya hingga hari ini.
“Apa yang tidak kau hendaki bagi dirimu, janganlah kau lakukan terhadap sesama manusia – inilah inti ajaran Torah. Sisanya sekadar penjabaran dari inti ajaran itu,” Talmud juga menyampaikan hal yang sama.
Tetapi, siapa yang peduli? Siapa yang ingat? Para ahli kitab sibuk mengutip ayat-ayat suci, seorang Yesus sibuk melakoni ayat-ayat itu.
ADVERTISEMENT
Yesus adalah seorang pemberani, sekaligus pemberontak. Masih ingat apa yang dilakukannya di pelataran bait suci? Ia seorang diri. Para murid yang berjumlah sedikit pun memilih untuk meminggir. Para penonton bingung, karena apa yang mereka saksikan saat itu adalah sesuatu yang baru.
Yesus, seorang diri, mengobrak-abrik gubuk para pedagang dan para penukar uang yang menempatkan diri sebagai calo Tuhan.
Adakah keberanian seperti itu ada dalam diri kita?
Bila tidak, maka jadilah kita pemuja bangkai, gambar, patung, kitab dan tempat – yang semuanya kemudian tidak lebih dari berhala.
Bila kita tidak berani memikul salib kita masing-masing bersama Yesus, maka biarlah hati kita, nurani kita, jiwa kita menangisi kelemahan diri jelang perayaan Paskah ini. Untuk apa merayakan Paskah dengan menyalakan pelita dan lilin, karena hati yang lemah tidaklah menjadi kuat dengan cara itu… Kita tidak bisa menyaksikan kebangkitan Yesus di dalam diri… Kita tidak bisa menjadikan saksi bagi transformasinya sebagai Kristus.
ADVERTISEMENT
Setiap tahun, kita juga merayakan Natal, hari kelahiran Yesus. Adakah perayaan Natal kita lebih bermakna dari perayaan hari kelahiran saudara kita, pasangan kita, anak kita – lantas apa? Apa bedanya? Barangkali Natal lebih meriah, itu saja?
Setiap detik banyak orang yang lahir, banyak yang mati, dan banyak pula yang dijatuhi hukuman mati. Apa yang membedakan kelahiran dan kematian mereka dari kelahiran dan penyaliban Yesus?
Kelahiran Yesus tidak dapat dipisahkan dari kayu salib yang kelak dipikulnya. Kelahiran Yesus hanyalah menjadi bermakna bila saat menyalakan lilin untuk merayakannya, kita juga memungut kayu salib yang ada di atas altar, dan memikulnya. Pajangan itu mesti turun dari dinding dan berpindah tempat ke atas pundak kita.
Keberanian Yesus, kegigihanNya untuk menghadapi segala tantangan hidup – inilah kemuliaan dan keilahianNya. KematianNya di atas salib dan kebangkitanNya kembali mesti “terulangi” dalam hidup kita masing-masing.
ADVERTISEMENT
Adakah keberanian di dalam diri kita untuk terlebih dahulu menguburkan jiwa kita yang lemah, hati kita yang alot, dan pikiran kita yang kacau?
Biarlah keangkuhan, dan keserakahan kita mati di atas kayu salib. Biarlah jiwa kita yang tersentuh oleh kesadaran Kristus bangkit kembali untuk berkarya di tengah kegaduhan dan ketakwarasan dunia ini dengan tetap mempertahankan kewarasan diri. Barulah setelah itu, perayaan-perayaan yang terkait dengan kelahiran, penyaliban dan kebangkitan Yesus menjadi bermakna bagi kita.
Yesus tidak mengurusi kerajaan dunia, Ia mengurusi kerajaan Tuhan. Ya, betul, tetapi milik siapa pula kerajaan, bahkan dunia ini, alam ini? Bukankah semuanya milik Gusti? Bukankah kerajaan Tuhan berada di dalam diri kita masing-masing?
“Tidak mengurusi kerajaan dunia”, mesti dimaknai sebagai “tidak mengurusi apa pun juga karena keterikatan kita dengan dunia”.
ADVERTISEMENT
Urusilah keluarga, dan dunia, karena semuanya itu merupakan amanah Tuhan. Tugas yang diberikan kepada kita oleh Gusti Pangeran.
Jadikanlah perayaan Paskah tahun ini beda dari sebelumnya. Bersukacitalah kali ini bukan saja dengan lagu, dansa, pesta dan kebaktian, tetapi dengan pencerahan baru, dengan kesadaran baru.
Perayaan di tengah masa pandemi tahun ini mengingatkan kita bila Ia pun hadir di dalam keheningan diri kita masing-masing.
Yesus tidak ke mana-mana. Yesus ada di sini. Ia tidak pernah lahir, dan tidak pernah mati. Ia selalu ada. Kadang kita melihat-Nya dengan jelas, kadang tidak. Bukan karena Ia menghilang, tetapi mata batin kita berkabut. Kebangkitan-Nya yang sejati adalah ketika bangkit kesadaran dalam diri kita akan kehadirannya setiap saat dan di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Janganlah bertanya kepada tetanggamu, apa agama dan kepercayaannya sebelum melayani dia. Janganlah bersikap pilih kasih terhadap anak-anak yang sedang menempuh pendidikan di sekolah-sekolah kita.
Hargailah perbedaan dengan hati yang tulus. Tidak perlu mengkonversi orang lain atau merayunya untuk berpindah kepercayaan. Percayalah pada Kasih Yesus yang tidak membedakan satu golongan dari yang lain.
“Bu, bu,” saya pernah bertanya kepada ibu asuh saya asal Solo, “kenapa Yesus terlihat begitu sedih?” Dan, beliau menjawab, “Karena kita sering sedih, sering gelisah, sering sakit.”
Maka, saat itu aku pun berjanji, “Aku tak akan sedih lagi, tak akan gelisah dan sakit lagi, supaya Yesus tertawa!”
Jadikan Paskah tahun ini sebagai Paskah Kebangkitan Sukacita Sejati dalam Kasih Yesus. Mari kita membuat-Nya tertawa. Make our Lord happy, walk with Him with your Cross on your shoulder!
Penulis : Anand Krishna adalah seorang Humanis Spiritual dan penulis lebih dari 180 buku .
ADVERTISEMENT
Tulisan ini pernah diterbitkan dalam bahasa Inggris dalam rangka perayaan Natal. Terjemahan dalam bahasa Indonesia ini disesuaikan dengan Perayaan Paskah.