Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Mendidik Anak untuk Berpikir Kritis
6 Oktober 2020 16:45 WIB
Diperbarui 1 Januari 2021 11:44 WIB
Tulisan dari Anand Krishna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat Diwawancara oleh Deddy Corbuzier, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Bapak Nadiem Makarim, menyampaikan concern Beliau pada pentingnya anak-anak kita dididik untuk berpikir secara kritis, dan tidak menerima sesuatu begitu saja.
ADVERTISEMENT
Saya jadi teringat sebuah cerita populer yang ditulis oleh Bharatendu Harishchandra dalam bahasa Hindi, sekitar tahun 1880an - cerita yang masih populer hingga saat ini.
Judulnya: Andher Nagari, terjemahan bebasnya “Negeri yang Kacau”. Cerita ini ditulisnya sebagai sindirian terhadap Kerajaan Inggris yang menjajah Anak Benua India saat itu, sekaligus untuk mendorong anak-anak sekolah untuk berpikir secara kritis.
Kiranya dalam Rangka Berpikir secara Kritis itu pula, kita perlu membaca cerita ini. Pasalnya, selang beberapa hari setelah tayangan wawancara Mas Deddy dan Bapak Menteri, ada seorang tokoh yang menyampaikan: “Kalau anak-anak disuruh berpikir secara kritis, kacaulah semuanya. Mereka itu harus nurut.”
Nurut sih nurut, itu pun salah satu nilai yang saat ini terlupakan. Tapi, apakah nurut mesti secara membabi-buta? Soal pendidikan dan mata pelajaran, baik, memang mesti nurut. Tapi, apakah….?
ADVERTISEMENT
Ya sudah, kita baca sendiri cerita ini, yang diterjemahkan secara bebas dari aslinya. Pembaca yang budiman, saya mohon, menggunakan akal-sehatnya masih-masing untuk mengartikannya.
Lagi-lagi, ini Terkait dengan Pendidikan. Tidak ada urusan lain. Jangan dikaitkan dengan hal-hal lain. Bukan kritikan terhadap siapa-siapa. Ini adalah ajakan untuk melakukan introspeksi-diri, khususnya bagi para pengajar, pendidik, orangtua dan siswa.
Demikian ceritanya…
Dalam Perjalanan Menuju Suatu Tempat bersama muridnya, seorang Guru, dalam pengertian Pemandu Spiritual menemukan sebuah kota baru yang terasa aneh!
Matahari belum terbenam, namun semua toko tutup, tidak ada seorang pun di jalan yang cukup rapi dan bersih… Baru berpikir tentang keanehan itu, tiba-tiba, begitu matahari terbenam, semua toko buka secara serentak. Jalan yang tadinya sepi menjadi ramai dalam hitungan menit.
ADVERTISEMENT
Sang Guru terkejut dan bertanya kepada seorang pria mengapa demikian? Pria itu memberi tahu bahwa hal itu sesuai dengan perintah Raja mereka. "Oke, baik," pikir Sang Guru, “Ada yang bekerja di siang hari, ada yang di malam hari, aneh, tapi, ya sudah…"
Kemudian saat Guru dan Muridnya mendatangi sebuah warung makan, mereka lebih terkejut lagi! Mau makan apa saja, harganya sama. Hanya 1 takka (mata uang negara bagian Bengal).
Sang Guru memberi tahu muridnya bahwa tempat itu sangat berbahaya untuk ditinggali, dan mereka harus segera melanjutkan perjalanan mereka.
Tapi, lain cara berpikir Guru, lain cara berpikir murid. Sang murid malah menganggapnya tempat yang luar biasa untuk ditinggali. Bayangkan! Mau beli apa saja, harganya sama. Satu harga, hanya 1 takka.
ADVERTISEMENT
Tergiur oleh Keadaan itu, sang siswa memohon supaya diizinkan untuk tinggal di kota itu selama beberapa hari. Ia lupa tujuan. Mau kemana, tapi berhenti dimana.
Sang Guru mengulangi peringatannya sekali lagi, tetapi ketika dia menyadari bahwa murid yang keras kepala itu sudah memutuskan untuk tinggal di sana, maka ia melanjutkan perjalanannya sendirian.
Negeri itu diperintah oleh seorang raja yang aneh, rada eksentrik. Tujuannya mulia, yaitu kesetaraan sosial. Namun, ya begitulah…
“Takke Ser Bhaji, Takke Ser Khaja” - sayur apa saja, harganya hanya 1 takka untuk 1 kilo. Begitu pula manisan yang terbuat dari kacang mede dan kacang-kacangan lain seperti almond, pistachio dan sebagainya - semuanya dijual dengan harga yang sama. Hanya 1 takka.
ADVERTISEMENT
Supaya Tidak ada Seorang pun Warga yang mempertanyakan aturan-aturan eksentrik itu, maka pendidikan yang diberikan di sekolah berdasarkan nurut saja, "Ikuti apa kata Guru, tidak ada QnA, tidak ada tanya-jawab.”
Kebijakan macam itu juga diterapkan di bidang-bidang lain: Dagang, Industri, Hukum, Kepercayaan, semuanya tanpa kecuali.
Anehnya, dengan sistem, yang oleh si murid dianggap ideal dan luar biasa, tiada seorang pun pedagang besar yang mau membuka usaha di negeri itu. Kenapa? “Hssssh, jangan tanya, tidak ada tanya-jawab di negeri ini.”
Sang siswa berhenti bertanya, “Lagipula apa urusanku dengan sistem pendidikan, pemerintahan segala, aku masih punya cukup uang untuk makan, minum, tidur, bergembira-ria dan menikmati semua ini selama beberapa bulan,” demikian ia berpikir.
ADVERTISEMENT
Sementara Itu…
Suatu malam, empat bersaudara dengan profesi yang sama sebagai perampok, merencanakan perampokan dengan cara mendobrak tembok rumah seorang kaya. Celakanya, semua warga di negeri yang aneh itu sudah terlanjur menjadi malas karena peraturan-peraturan yang aneh dan tidak pernah dididik untuk menjadi kompeten dalam bidang apapun kecuali “nurut apa yang dikatakan”.
Sama juga dengan 4 bersaudara dalam kisah kita. Malas, bahkan tidak kompeten sebagai perampok. Mau mendobrak tembok pun asal main hantam. Temboknya runtuh, dan salah satu dari empat saudara itu terbunuh oleh batu-batu yang berjatuhan.
Mendengar Berita itu, ibu mereka marah besar. Ia mengajukan gugatan ke pengadilan untuk meminta kompensasi atas kematian anaknya. Dalilnya cukup meyakinkan pengadilan:
ADVERTISEMENT
“Anak-anak saya hanya menjalankan profesi mereka, usaha mereka. Ada orang punya toko, punya warung, anak-anak saya tidak punya semua itu, maka mereka menjadi pencuri, apa salah? Yang bersalah si kaya pemilik rumah itu. Bangun rumah mewah, pagarnya lemah. Mau dijebol malah runtuh. Salah besar pemilik rumah itu, sampai nyawa anak saya melayang.”
Kasusnya terang-benderang. Sang Hakim tidak membutuhkan waktu berhari-hari untuk menjatuhkan hukuman. Semua peraturan sudah jelas dalam kitab-kitab hukum. Maka, sesuai dengan peraturan pula, ia bertanya kepada pemilik rumah: “Katakan kalau ada satu pun alasan kenapa saya tidak mesti menjatuhkan hukuman mati kepada sampeyan? Anak orang mampus karena kelalaian Anda.”
Sang Pemilik Rumah agak paham soal hukum aneh di negeri aneh itu, “Bukan salah saya Pak Hakim. Yang salah tukang yang membangun tembok itu.”
ADVERTISEMENT
Maka, dipanggilah tukang yang membangun tembok. Ia pun melek hukum, “Saya cuma tukang, dibayar harian. Yang salah majikan saya.”
Majikan menuduh pemasok semen, dan pemasok semen menuduh karyawannya yang mengaduk semen, “Sungguh bukan salah saya, sudah dibayar 1 takka sesuai peraturan, I plead not guilty.”
Maka, pengaduk semen dipanggil, “Ternyata kaulah yang bertanggung jawab, rupanya adukanmu itu kelebihan air, maka temboknya bisa runtuh. Kau mesti dijatuhi hukuman mati.”
Si Pengaduk Semen Mengaku, “Ya, memang bisa terjadi kebanyakan air. Tapi bukan salah saya juga. Soalnya, waktu saya sedang mengaduk semen, ada seorang suci yang lewat, dan sesuai dengan pasal sekian undang-undang negeri ini, saya wajib menyalaminya. Barangkali saat itu saya kelebihan memasukkan air dalam adukan.”
ADVERTISEMENT
Sang Hakim puas, menurut undang-undang, peraturan dan lain sebagainya, maka orang suci yang lewat itulah yang salah, dan mesti dijatuhi hukuman mati.
Ketika orang suci itu dipanggil dan dibacakan keputusan hakim, dia pun bo-hwat, mau bilang apa. Habis peraturannya sudah jelas, dan tidak boleh dipertanyakan. Mau pedagang, mau pencuri, mau pemborong, mau pengaduk semen, mau orang suci - semuanya dari kecil sudah diajarkan untuk nurut. No critical thinking.
Nah, Seperti Halnya dengan peraturan-peraturan lain, “demi kesetaraan,” Sang Raja juga membuat satu peraturan yang sama dan seragam tentang ukuran jerat tali gantungan yang harus digunakan untuk menggantung siapa saja yang dijatuhi hukuman mati.
Ternyata ukuran leher dan kepala orang suci yang kurus kerempeng itu kecil dan jeratnya terlepas terus. Sementara, ukuran jerat gantungan tidak dapat diubah karena sudah ditetapkan oleh Sang Raja. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk menggantung orang suci itu dengan jerat gantungan yang telah ditentukan ukurannya.
ADVERTISEMENT
Si Hakim jadi jengkel, dia masih punya banyak urusan lain, maka: “Sesuai undang-undang negeri ini yang sudah jelas dan sudah hebat, karena mengurusi segala hal dalam hidup ini, maka tidak ada kepentingan untuk mengubahnya - sebab itu, demi penegakan keadilan…”
Ia Memerintahkan supaya Orang Pertama di luar pengadilan yang ukuran leher dan kepalanya sesuai dengan ukuran jerat gantungan digantung untuk menggantikan orang suci itu, “Sebab, bagaimanapun juga keadilan harus ditegakkan."
Celakanya sang murid yang sudah sejak beberapa hari menggemukkan diri dengan makanan dan minuman yang murah berada di luar pengadilan. Dan, ternyata… Ukuran leher dan kepalanya pas, cocok dengan jerat gantungan.
Maka, ditangkaplah dia dan dihadirkan di depan hakim yang sudah sibuk dengan perkara lain, “Menurut undang-undang, orang asing yang tertangkap di negeri ini mesti digantung di alun-alun, dan mesti ada pemberitahuan kepada warga sekota, supaya semua bisa hadir dan menyaksikan. Sekarang sudah terlambat, maka sesuai dengan undang-undang, dia ditahan dulu, besok pagi dibawa ke alun-alun dan dieksekusi.”
ADVERTISEMENT
Si Murid Mau Bilang Apapun tidak ada gunanya. Mau bilang apa lagi? Lha hukumnya sudah jelas, undang-undangnya sudah jelas.
Untungnya, dalam perjalanan pulang menuju padepokannya, Sang Guru melewati kota yang sama, dan mencari siswanya. Ketahuan, bahwa sang siswa akan digantung keesokan harinya.
Maka, pagi-pagi ia hadir di alun-alun, dan membuat keributan dengan bersikeras bahwa dialah yang mesti digantung, bukan muridnya.
Sang Hakim bingung. Bahkan, orang suci yang lolos dari nasib sial, yang kebetulan hadir juga, merasa bingung, “Wah, dari jubahnya, orang ini sepertinya seorang Guru atau Mistik. Dia pasti tahu sesuatu, maka rela digantung menggantikan orang lain.”
Ia mengharapkan Sang Hakim akan menanyakan alasannya, ternyata harapannya terpenuhi.
“Katakan, wahai Orang Asing, apa alasanmu, sehingga bersikeras mau menggantikan anak muda yang sama-sama asing juga, apa dia anak atau saudaramu?” tanya Sang Hakim.
ADVERTISEMENT
Sang Guru menjawab, “Tidak bisa, saya punya rahasia yang tidak bisa dibocorkan begitu saja.”
Sang Hakim berang, “Hei, orang asing, kau tahu saya ini Hakim, kau tïdak boleh main-main, atau sekalian kupenggal kepalamu juga."
Sang Guru menjawab dengan tenang, rupanya ia sudah mempelajari sedikit tentang undang-undang aneh negeri yang aneh itu, “Hakim yang mulia, di kitab undang-undang yang sudah disahkan oleh Raja, tidak ada hukuman penggal, dan saya memang mau mati, tapi dengan cara digantung, silakan.”
Demikian yang Terjadi selama beberapa saat, well, yang terjadi untuk pertama kali di negeri itu, karena critical thinking, q&a dan sebagainya tidak ada tempat dalam hukum negeri itu. Akhirnya, Sang Guru berpura-pura mengalah, “Demikian Hakim yang mulia, hari ini hari yang sangat baik. Barangsiapa mati digantung hari ini, akan mendapatkan disposisi khusus dari Dewa Maut, langsung masuk surga, tidak ada pertanyaan dan perhitungan apapun. Bukan cuma itu, jatah ….. di surga pun akan ditambah menjadi dua kali lipat.”
ADVERTISEMENT
“Pantas, dari tadi kau bersikeras untuk digantung. Tidak, tidak bisa. Di sini yang berperan sebagai hakim adalah saya. Maka, saya perintahkan untuk diri saya digantung menggantikan anak muda itu.”
Orang Suci yang selama itu diam, ikut bicara: “Tidak bisa, semestinya aku yang digantung. Sebab hukuman itu dijatuhkan kepada saya.
Demikian, dalam hitungan berapa menit saja, terjadi keributan yang hebat. Pemilik rumah, pembangun rumah, tukang pengaduk semen - semuanya minta digantung, karena tergiur oleh pahala surgawi, khususnya tentang jatah…. dan bahwasanya tidak akan diminta pertanggungjawaban atas apapun semasa hidup.
Sampailah berita itu ke istana. Maka, Sang Raja pun bergegas mendatangi alun-alun, “Saya adalah raja dari negeri ini, orang yang paling berkuasa, maka saya boleh menggunakan kekuasaan saya untuk memberi perintah supaya saya yang digantung.” Dia pun tergiur oleh janji surga. Semua mata terpusatkan pada Raja. Si Hakim bingung tujuh keliling.
ADVERTISEMENT
Sang Guru Merasa Lega dengan perkembangan yang terjadi sesuai dengan harapannya. Ia memberi isyarat kepada muridnya untuk cepat-cepat meninggalkan alun-alun dan meninggakan negeri yang aneh itu.
“Berjanjilah, kau tidak akan pernah ke negeri ini lagi. Andher Nagari, Chopat Raja. Takke Ser Bhaji Takke Ser Khaja… Sayur biasa dan manisan yang mahal dihargai sama; negeri macam apakah ini?!”
Kesimpulannya: Janganlah tergiur oleh sesuatu yang tidak masuk akal. Gunakan akal sehat. Bersahabatlah dengan mereka yang berakal sehat. Hindari mereka yang tidak berakal.
Anak-anak Kita mesti Diajarkan untuk berpikir secara kritis, untuk memastikan tindakan mana yang tepat, dan mana yang tidak tepat.
Di tengah krisis, kita baru tahu bila pendidikan yang kita raih mempersiapkan kita untuk berpikir secara kritis atau tidak. Kita memiliki kompetensi untuk menghadapi keadaan atau tidak.
ADVERTISEMENT
Diberi hutang dengan bunga yang rendah, pikir dulu - perlu atau tidak? Dalam keadaan sakit, ditawari obat - cari tahu dulu obat apa, ada manfaatnya atau malah mencelakakan?
Kecerdasan ini mesti ditumbuhkembangkan saat anak-anak kita masih di sekolah dasar, bahkan sejak mereka ke sekolah, sejak playgroup, sejak taman kanak-kanak. Critical thinking, yes Pak Menteri, Mas Deddy, terima kasih telah mengingatkan.
Penulis : Anand Krishna *)
* Seorang Humanis Spiritual, Anand Krishna adalah penulis lebih dari 180 judul buku, pendiri Anand Ashram , One Earth School , dan menginspirasi banyak lembaga serta kegiatan lain di bidang sosial, kesehatan holistik pendidikan dan lain sebagainya