Kebangkitan Milan dan Penantian Scudetto 11 Tahun yang Penuh Lika-liku

Ananda Bintang
Mahasiswa Sastra Indonesia Unpad
Konten dari Pengguna
31 Mei 2022 17:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ananda Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kebangkitan Milan dan Penantian Scudetto 11 Tahun yang Penuh Lika-liku. Foto: AC Milan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kebangkitan Milan dan Penantian Scudetto 11 Tahun yang Penuh Lika-liku. Foto: AC Milan

Setelah penantian selama 11 tahun, AC Milan akhirnya mengangkat trofi Serie-A ke-19 dengan lika-liku penuh drama. Hari yang tak pernah dibayangkan bagi Milanisti selama belasan tahun itu akhirnya terwujud.

ADVERTISEMENT
Semenjak era para legenda AC Milan pensiun dengan mempersembahkan Scudetto ke 18 pada musim 2010/2011, Milan terseok-seok dan bahkan tiba-tiba menjadi klub medioker yang selalu mengisi papan tengah Serie A. Dominasi Juventus dan bahkan klub-klub Serie A lain termasuk rival sekota, Inter Milan, seringkali mengalahkan Milan dengan begitu mudah.
ADVERTISEMENT
Sebelas tahun bukanlah waktu yang sebentar. Cacian dan makian tak bosan-bosan dilontarkan fans klub lain terhadap milanisti, termasuk saya. Namun, tak seperti kebanyakan fans sepak bola lain yang ngotot bahwa klubnya lebih baik dari klub mana pun meski sedang dalam performa yang buruk, saya akhirnya menerima cacian itu sebagai suatu kenyataan yang memang begitu adanya. Kalaupun ada, pada akhirnya yang bisa milanisti lakukan hanyalah berwisata masa lalu dengan romantisme gelar 7 Liga Champions tanpa pernah membanggakan kualitas yang pada kisaran tahun setelah tahun 2011-an, jelek saja belum.
Frustasi, luka, dan derita kepahitan yang terus menerus terjadi mencapai puncak ketika para Milanisti menaruh spanduk “Game Over, Insert Coin & #SaveACMilan” di San Siro, buntut prestasi yang mandek dan situasi keuangan pada tahun 2015 yang membuat Milan berada dalam era dark age.
ADVERTISEMENT
Selain pemasangan spanduk di San Siro, sejumlah Milanisti juga memboikot San Siro yang membuat stadion sepi penonton, buntut protes berkelanjutan terhadap pihak klub yang enggan berbenah. Era-era ini pun bagi saya cukup kelam, kesabaran saya habis dan akhirnya memutuskan diri untuk berhenti menonton dan mengikuti Milan, meski dukungan dan harapan tentang kebangkitan il diavolo rosso selalu berpendar.
Hingga pada tahun 2017, secercah harapan muncul. Seorang pengusaha dari China bernama Yonghong Li digadang-gadang mampu mengembalikan Milan ke masa kejayaan dengan mengakuisisi Milan dari Silvio Berlusconi melalui segolontor dana segar yang fantastis.
Perombakan dengan pembelian jor-joran akhirnya dilakukan dengan dana 240 Juta Euro untuk membeli sejumlah pemain-pemain bintang termasuk pemain rival dari Juventus, Leonardo Bonucci. Namun, kegagalan demi kegagalan justru kembali menimpa Milan. Puncaknya, Milan dilarang bermain di Europa League pada musim 2019/2020 akibat melanggar aturan Financial Fair Play pada masa kekuasaan Yonghong Li.
ADVERTISEMENT
Pengusaha itu pun akhirnya keluar dari kepemilikan Milan dan tidak bisa membayar hutang pada Elliott Management, ketika hendak membeli Milan yang dipinjamnya sebesar 303 Juta Euro. Akibatnya Milan beralih kepemilikan pada Elliott Management. Peralihan ini pula membuat Milan dipertemukan lagi dengan Maldini, sang legenda. Maldini ditunjuk oleh Elliot Management sebagai Direktur Teknik AC Milan untuk merombak kepengurusan Milan dari mulai kesehatan finansial, pelatih hingga strategi pembelian pemain.
Berkaca pada transfer jor-joran era Yonghong Li yang membuat Milan diganjar Financial Fairplay, pada musim 2020/2021, Maldini akhirnya hanya menggelontorkan dana kurang dari 30 juta euro untuk membeli beberapa pemain. Ajaibnya, dengan budget minim tersebut, justru malah membuat Milan kembali ke UCL setelah 8 tahun tidak bermain di UCL dan akhirnya berbuah manis ketika Milan kembali merengkuh Scudetto pada musim 2021/2022 setelah menunggu selama 11 tahun lamanya.
ADVERTISEMENT
Milan sebenarnya bisa saja merengkuh Scudetto pada saat Maldini baru menjadi direktur Milan di tahun pertamanya menjadi Direktur Teknik pada musim 2020/2021. Namun pada paruh musim kedua, Milan terseok-seok dan akhirnya harus finish di posisi kedua, terpaut 12 poin dari rival sekotanya Inter Milan yang berhasil memutus dominasi Juventus menjuarai Serie A selama 9 tahun berturut-turut.
Selain Maldini, kunci kemenangan lain juga berada pada mentalitas fighting spirit pemain, ditambah kolaborasi pemain mental bangkotan macam Ibrahimovic bersama semangat pemain-pemain muda Milan yang menjadi salah satu skuad di Serie A dengan didominasi pemain muda terbanyak dengan rerata usia 24.5 tahun.
Dari segi strategi permainan juga tak kalah penting untuk dibicarakan. Strategi Stefano Pioli yang ditunjuk menjadi pelatih Milan pada tahun 2019, banyak menggunakan strategi sepakbola modern seperti penerapan inverted full back. Hasilnya terlihat ketika para full back seperti Calabria, Florenzi, hingga Theo Hernandez mampu mencetak gol. Selain itu, strategi yang diterapkan Pioli di Milan, membuat para pemain-pemain Milan lain memiliki keleluasaan bertukar posisi dengan cair sehingga membingungkan pemain lawan ketika mencoba melakukan man marking.
ADVERTISEMENT
Milan menjadi klub kolektif yang hampir seluruh pemainnya berhasil mencetak paling tidak satu goal. Meskipun peran Leao, Giroud, Tonali, Tomori, dan Maignan akhirnya menjadi pemain-pemain yang tak luput menjadi kunci Milan meraih scudetto.
Terlepas dari kekuatan, strategi dan kunci kesuksesan Milan lainnya, tentu saja kita tak bisa bohong bahwa Milan juga banyak mendapatkan keberuntungan. Dari mulai blunder Radu yang mengakibatkan Inter terperosok dan mengandaskan potensi Inter Milan untuk merengkuh Scudetto, ketidakstabilan tim-tim Serie A lainnya, hingga kemenangan-kemenangan dramatis tak terduga yang akhirnya dicapai Milan selama musim ini.
Musim ini dan musim-musim selanjutnya, Milan sepertinya akan terus bangkit. Jika skenario terburuk terjadi kembali seperti masa-masa dark age setelah scudetto tahun 2010/2011, agaknya milanisti sudah cukup kuat dan tabah melewati masa itu. Toh, penantian panjang penuh kesabaran itu akhirnya berbuah manis dan perayaan terhadap penantian tersebut benar-benar terasa lega dan membahagiakan.
ADVERTISEMENT
Tapi percayalah, raksasa Italia ini akan terus bangkit dan menemukan kejayaannya kembali dengan cara-cara yang tak pernah bisa terbayangkan sebelumnya. Seperti musim 2021/2022 yang terbilang ajaib bagi Milan dapat merengkuh scudetto dengan skuad minim yang tidak bermega bintang dan harga-harga pemain yang fantastis.